Superhero telah menjadi bagian dari kita sebagai masyarakat modern dan individu-individu yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan di berbagai lini kehidupan. Kemampuan super ini muncul dari karakter-karakter fiksi sejak zaman awal sejarah, sejak ditemukannya lukisan-lukisan manusia melawan hewan besar atau makhluk mitologi di dinding-dinding gua (Horsman, 1981). Menurut pendapat Mike Benton dalam Superhero Comics of the Golden Age: The Illustrated History (1992), istilah superhero mulai dikenal awal tahun 1917 untuk menyebut public figure yang terkenal karena kemampuannya, bakat, atau prestasi yang menonjol dibanding orang lainnya. Sementara, tahun 1940-an istilah superhero lebih ditujukan kepada figur imajinatif dengan kekuatan super, mengenakan pakaian ketat, dan muncul di budaya populer Amerika.
Lee Falk menciptakan karakter The Phantom, superhero dengan pakaian ketat yang muncul di komik strip pada Februari, 1936. Karakter yang terinspirasi dari Robin Hood ini kemudian dirilis ulang di akhir tahun yang sama oleh Nostalgia Press (NP), Pacific Comics Club (PCC) dan Comics Revue (CR) sebanyak 16 seri. Phantom juga sempat difilmkan tahun 1996, dengan sutradara Simon Wincer. The Phantom adalah satu dari sekian banyak superhero yang tidak memiliki kekuatan super, ia mengandalkan kecerdasan dan kekuatan fisik, serta mitos hidup abadinya untuk melawan kejahatan.
Jerry Siegel dan Joe Shuster yang juga merupakan pencipta superhero generasi pertama dengan karya mereka bernama Superman, muncul di komik strip pada surat kabar yang tidak terlalu mendapat sambutan antusias dari pembacanya. Baru ketika DC Comics memutuskan untuk merilisnya dalam bentuk buku komik bernama Action Comics #1 (Juni, 1938), nama Superman mulai dilirik. Berturut-turut kemudian, DC merilis Crimson Avenger di komik Detective #20 (Oktober, 1938), The Sandman di New York World’s Fair Comics #1 (April, 1939), dan Batman di Detective #27 (Mei,1939). Amerika Serikat yang sedang mengalami fase Great Depression menyambutnya dengan baik, bahkan menjadi fenomenal, seolah membutuhkan pahlawan super untuk membuat mereka lepas dari belenggu keterpurukan ekonomi dan beratnya kehidupan sehari-hari.
Ras, kelas, dan seksualitas adalah bagian dari identitas yang terus menerus diartikulasi dalam kisah superhero. Kebanyakan superhero muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat, berkulit putih dan memiliki lawan dengan warna kulit non-putih dengan pakaian non-barat dan seringkali memiliki nama dan logat yang juga asing dan memberi kesan ‘bukan orang baik’. Kanimer (2016) mencatat tentang Kal-El yang hadir ibarat Musa yang dihanyutkan ke sungai agar suatu saat memiliki peluang untuk hidup. Sebelum Planet Krypton hancur karena ledakan besar, Jor-El meletakkan Kal-El di pesawat autopilot tanpa tujuan yang jelas dan akhirnya sampai di bumi dan diselamatkan oleh Martha Kent. Kal-El lalu diberi nama Clark. Bayi Clark kemudian tumbuh sebagai manusia bumi biasa yang memiliki pakaian dan gaya pergaulan “senormalnya” manusia. Identitasnya sebagai alien hilang sementara. Seiring bertambahnya usia, masalah, dan karakter antagonis baru, pencarian akan kemurnian identitas menjadi suguhan utama yang terus dipermasalahkan oleh Clark Kent.
Berbeda dibanding Clark Kent yang terbuang, Bruce Wayne alias Batman, lahir dari keluarga milyuner dan tidak merasa kekurangan apapun kecuali kehadiran orangtuanya. Dengan uang, kemampuan, dan kekuasaannya, Bruce kemudian membangun citra dirinya yang lain sebagai superhero, pahlawan dengan kekuatan super buatan yang memiliki alat-alat canggih yang sejatinya kita juga tidak tahu bagaimana itu bisa hadir sempurna. Bruce yang berasal dari kelas elit berusaha hadir untuk membela kaum rendahan yang tidak punya harapan akan keadilan. Tetapi justru inilah yang digugat oleh deretan antagonisnya seperti Joker dan Riddler.
Jika Clark dan Bruce lahir dari DC universe yang membuat ruang kotanya sendiri, maka Marvel hadir dan memilih ruang yang lebih nyata, ruang kota yang sudah eksis di Amerika Serikat. Musuh-musuh dari hampir semua superhero di jagat Marvel juga secara langsung menampilkan musuh Amerika Serikat secara denotatif, seperti Captain America dengan musuh utama Red Skull dan Nazi dengan kelompok elit Hydra-nya yang muncul di komik tahun 1953, Hulk dengan salah satu musuhnya dari KGB Rusia bernama Gargoyle yang muncul di tahun 1962, hingga Maverick dengan musuh utamanya Red Guardian (versi sebelumnya menjadi musuh The Avengers) yang muncul di komik tahun 1988. Menariknya, ketika Marvel berani menampilkan sosok Vladimir Lenin, dari sisi DC Comics juga tidak tanggung-tanggung, nama Pol Pot, Khmer Rouge dan Nikita Kruschev juga muncul sebagai penjahat di komik DC.
Perang Dunia Kedua dan Perang Dingin memang menjadi inspirasi bagi banyak cerita fiksi, baik di dunia sastra dan komik. Nazi Jerman dan KGB Russia adalah yang paling banyak disebut-sebut sebagai tokoh jahat dari DC dan Marvel, begitu pula dengan Archie Comics dan Image Comics. Jangan lupakan juga peran penting The Comics Code Authority dalam perkembangan dan kontrol komik di Amerika Serikat, baik secara teks maupun konteks.
Bagaimana dengan negara lain? Walaupun ada beberapa karakter superhero dalam X-Men (Marvel) yang berasal dari banyak negara lain seperti Wolverine (Kanada), Storm (Kenya), Colossus (Rusia), dan Nightcrawler (Jerman), tetapi semuanya berada dalam satu kultur yang sama… kultur Amerika. Kemunculan superhero di negara-negara lain seperti Jepang (Megaloman, Ultraman, Kamen Rider), India (Shakitmaan), Malaysia (Cicakman), Filipina (Darna), hingga Indonesia (Godam, Gundala, Sri Asih) kabarnya juga tidak muncul dari cerita intelektual lokal begitu saja, melainkan karena terpengaruh dari kehadiran superhero Amerika (kecuali mungkin Ōgon Bat dari Jepang yang konon merupakan superhero pertama). Sebutan third class superhero , mixed race superhero, local superhero sepertinya memang muncul dari fandom untuk “melindungi” superhero Amerika pujaan mereka.
Karakter-karakter superhero terus bermunculan, bahkan hingga kini masing-masing berkelindan dan direlasikan secara kreatif dalam kesatuan universe tertentu. Superhero banyak yang berasal dari negara-negara baru dengan ras, kelas, dan kultur yang sangat beragam, seolah tidak lagi sekadar representasi superioritas kulit putih dan dunia barat. Tetapi, saya ingin iseng bertanya, seperti bagaimana kemudian “respons” superhero Amerika terkait dengan hadirnya superhero-superhero negara lain itu? Apakah Anda masih melihat adanya ketimpangan representasi atau justru sudah benar-benar melebur? Bagaimana ketakutan-ketakutan superhero pada umumnya ditampilkan dalam komik dan film, seperti kekuatan super yang tidak lagi permanen atau tekanan dari kehidupan sosialnya?
***
Depok, 14 November 2021