“Pada hari suram tanggal 7 Desember 1918, sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil, mengantarkan jenazahnya ke peristirahatannya terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada yang memberitakan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tidak begitu panjang,”.
Ini bukan kata-kata dalam sebuah adegan film. Inilah akhir hidup RM. Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan secara dramatis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Sang Pemula. Jauh sebelum ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional tahun 1973, Tirto AS memang mengalami jalan hidup yang berliku hingga mati kesepian bersama idealismenya. Namanya sengaja disembunyikan dalam gelombang sejarah Indonesia, padahal ia berada dalam barisan terdepan dalam mempelopori gerakan nasional. Beruntung, Pramoedya menggali dalam-dalam peran Tirto AS.
Awal Siklus
Tak ada kisah menarik dari masa kecil Tirto AS kecuali ia lahir sebagai kepompong dari ulat sutra pilihan di daerah Hutan Jati Blora. Tirto AS terlahir dari keluarga priyayi. Ayahnya, Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro merupakan anak pegawai pajak, dan kakeknya R.M.T Tirtonoto, bupati Bojonegoro yang sebelum 1827 bernama Rajegwesi.
Layaknya kaum priyayi, Tirto AS mendapat kesempatan yang tak didapat para pribumi lain yakni sekolah. Dia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar paling elit saat itu yang dikhususkan untuk Belanda. Tirto AS kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah dokter STOVIA di Batavia. Lantaran keistimewaan ini, Tirto AS jauh dari dunia luar. Ia tak kenal dengan Samin – gerakan pembangkangan sosial yang membara saat Tirto AS beranjak remaja.
Tirto AS mulai menjadi ulat yang membuat gatal Belanda saat ia keluar dari STOVIA dan diangkat menjadi redaktur Pembrita Betawi tahun 1902. Ia yang terpengaruh dengan Multatuli menulis tentang skandal jual beli jabatan yang melibatkan Residen Madiun, JJ Donner. Berbekal hubungannya dengan keluarga priyayi, Tirto AS mendapat data yang lengkap untuk menyerat Donner ke pengadilan hingga membuangnya ke Padang.
Tulisan Tirto AS tentang skandal Donner telah melampaui zaman di saat pers kulit putih hanya menjadi corong kolonial. Tanpa disadari, Tirto AS telah menjadi bapak pers pertama.
Baca juga:
Seiring dengan tulisan tersebut pula, Tirto AS masuk dalam catatan Belanda. Penasehat Belanda saat itu, Snouck Hurgronje menulis bahwa Tirto AS merupakan penghasut dan putus hubungan dengan abangnya yang menjabat bupati Blora, RM Said.
Alih-alih kapok, Tirto AS malah kian bersemangat menulis hingga menerbitkan surat kabar Soenda Berita. Namun surat kabar tersebut hanya bertahan 9 bulan setelah Tirto AS terdampar di Maluku.
Sekembalinya dari Maluku, Tirto AS mendirikan Medan Prijaji tahun 1907. Disini, Tirto AS kembali membongkar skandal pemerintah kolonial. Termasuk jual beli jabatan yang melibatkan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Meski sempat mengalami seret keuangan, Tirto AS tak putus-putusnya menulis hingga dibuang ke Lampung. Pada titik inilah, Tirto AS kembali diawasi ketat oleh Belanda, kali ini penerus Horgronje, D.A. Rinkes.
Sesudah pulang dari pembuangan, Tirto AS membenahi manajemen Medan Prijaji. Dia menggaet beberapa saudagar dari Bandung dan melebarkan sayap Medan Prijaji ke Bogor dan Semarang. Nama Medan Prijaji kian dikenal dan Tirto AS mulai menjadi kupu-kupu yang indah bagi pribumi.
Membangun Organisasi
Dari Medan Prijaji juga, Tirto AS bertaut dengan saudagar yang pro republik. Tirto AS kemudian menginisiasi pembentukan Sarekat Priyayi dan Budi Utomo. Mula-mula, Tirto AS bersemangat mendirikan gerakan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, petinggi-petinggi organisasi itu mulai elitis dan jauh dari apa yang diinginkan Tirto AS. Dia lalu keluar dan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909.
SDI kian melambungkan nama Tirto AS dan Medan Prijaji. D.A. Rinkes pun makin menaruh sentimen terhadap Tirto AS. Dalam surat-surat rahasia terhadap Gubernur Jenderal, D.A. Rinkes meminta pemerintah meninabobokkan Sarekat Dagang Islam (SDI). Dus, SDI pun mati suri.
Baca juga:
Seolah kian mengepakkan sayapnya, Tirto AS kemudian mendirikan organisasi baru yang tak jauh dari semangat SDI, pun dengan namanya. Organisasi tersebut dinamai Sarekat Islam (SI). Organisasi progresif ini kelak menjadi embrio partai-partai besar di Indonesia. D.A. Rinkes makin kebakaran jenggot dan memanipulasi nama Tirto AS agar tak tercatat dalam SI. Manipulasi sejarah ala D.A. Rinkes ini berlangsung selama bertahun-tahun berikutnya hingga Pramoedya kembali menemukan sepak terjang Tirto AS tahun 1956.
Tak cukup memanipulasi peran Tirto AS, D.A. Rinkes juga menggembosi Medan Prijaji hingga membuat Tirto AS ditahan selama 6 bulan. Sesudah bebas, Tirto AS harus menerima keadaan bahwa Medan Prijaji bangkrut hingga menjual aset-asetnya. Ia kemudian menghabiskan masa-masa sulit sebagai penulis yang kesepian. Tirto AS—si kupu-kupu yang malang itu— meninggal di usia 38 tahun. (*)
Editor: Kukuh Basuki