Kuusap layar ponselku dari bawah ke atas dengan mengamati lekat-lekat deskripsi persyaratan kerja yang ditampilkan oleh beberapa perusahaan. Oh, tidak. Aku tidak dapat menemukan satupun posisi pekerjaan yang cocok denganku.
“Tidakkah kamu merasa kekurangan dengan upah yang kamu terima sebagai pegawai kontrak di sekolah itu?”
Pria itu benar-benar membuatku terusik. Pertanyaannya yang sangat pribadi itu membuat rahangku menjadi kaku. Mulutku tidak mampu mengucap satu patah kata selain memaksakan senyum kepadanya.
Agaknya aku menyesal sudah memutuskan tinggal di tempat kos yang kumuh ini. Hanya ada lima kamar di sini. Sebelum datangnya pria bergigi kuning ini, empat orang yang sama sialnya denganku untuk mendekam di kos-kosan ini sudah lulus dari kuliahnya. Sekarang hanya ada aku dan pria bergigi kuning yang setiap malam berjumpa di bawah pohon kersen yang kering, tepat di depan kamarku.
“Lihat, kamu hanya mengisap rokok yang tidak ada cukainya. Kamu juga harus berjalan kaki, atau jika kamu merasa punya sedikit uang lebih, digunakan untuk naik ojek.”
“Tidak perlu kamu perjelas. Justru orang-orang dari negara maju memilih untuk berjalan kaki atau naik kendaraan umum saat berangkat kerja.”
Tepat sebulan yang lalu, motorku harus diambil paksa oleh orang bertubuh tinggi besar. Aku tidak mampu melawannya karena utangku yang menunggak cukup lama untuk membiayai kredit motor itu. Motor sialan, pikirku. Biar saja. Toh, aku masih memiliki kaki yang kuat untuk berjalan menyusuri trotoar dari sekolah menuju indekos.
Meskipun lingkungan kosku yang berada di gang sempit ini termasuk kumuh, tapi kamarku rapi dan bersih. Aku menyusun buku-buku di rak sudut kanan yang menempel pada tembok. Di atas rak itu terdapat jam dinding berbentuk bulat dengan logo klub sepakbola di tengah-tengahnya. Di bawahnya ada sepasang meja dan kursi. Di samping tempat tidur ada lemari yang cukup untuk menaruh baju dan celanaku. Di atasnya ada cermin berbentuk persegi panjang dengan posisi vertikal yang cukup bersih. Tiap menatap wajahku di dalamnya, aku selalu fokus pada kerutan kecil di sudut mataku. Sial. Mungkin aku terlalu muak menghadapi para siswa nakal dan bodoh yang tidak pernah mendengarkanku ketika aku menjelaskan bagaimana manusia prasejarah memulai kehidupannya di goa yang gelap.
Ketika aku seumuran dengan mereka saat ini, aku berani menjamin bahwa diriku tahu banyak hal. Aku tahu penyebab terjadinya revolusi Prancis, atau bagaimana revolusi kognitif terjadi pada masa Renaisans. Aku jadi ingat bagaimana diriku menjadi mahasiswa yang kritis saat dosenku menjelaskan tentang materi sejarah. Ketika di luar kelas, aku selalu menjadi pribadi yang mampu membuat orang lain tertawa dengan komediku yang cerdas.
Tidak heran jika aku punya teman yang banyak saat itu. Pemikiranku yang kritis di kelas, tulisan-tulisanku yang berani, dan sifat sosialku yang mudah beradaptasi membuatku diterima oleh banyak orang. Aku tidak perlu khawatir untuk mengisi waktuku yang kosong, sebab, setiap hari selalu ada kegiatan yang kulakukan.
“Tolong berikan aku judul buku yang bisa membuatku menyukainya,” tanya salah seorang teman kuliahku suatu waktu.
“Percuma saja jika kamu hanya memulainya dengan membuka separuh halaman dan mengembalikannya ke rak bukumu yang berdebu itu.”
Kami tertawa.
Kupikir teman-temanku tidak punya kesukaan pada hal-hal yang berkaitan dengan buku. Bahkan sejak taman kanak-kanak, di mana saat itu aku sudah bisa baca-tulis berkat pendidikan dini yang cukup baik dari kedua orang tuaku, aku mendapati bahwa teman-temanku banyak yang belum bisa membaca. Apakah mereka memang setolol itu? Aku tidak berniat untuk merendahkan orang lain sejak dalam pikiran, tapi aku tidak bisa membohongi asumsiku bahwa orang tua mereka tidak cukup pintar untuk mendidik anaknya ketika masih kecil.
Aku tidak terlihat pintar seperti kebanyakan orang pintar. Aku bukanlah nerd dengan selera humor yang aneh. Aku juga bukan orang pintar yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sebagaimana gambaran manusia jenius yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam keterasingan. Aku dikenal sebagai orang yang pintar, kritis, suka membaca buku, memiliki selera humor yang baik, dan pandai menempatkan diri dalam situasi apapun.
Sayangnya, mungkin, tinggal aku saja yang masih berada di kota ini. Kebanyakan teman kuliahku sudah banyak yang kembali ke kampung halamannya, atau bahkan mendapatkan pekerjaan di ibukota. Aku memaklumi bahwa kehidupan manusia dewasa pasti melewati fase-fase seperti ini. Sebelum aku mengenang terlalu jauh ke belakang, aku tidak ingin bangun kesiangan dan berpapasan dengan pria bergigi kuning saat aku berangkat kerja.
Di sekolah aku tidak punya teman mengobrol. Bagiku, kebanyakan dari mereka hanyalah orang tua kolot yang mengajarkan materi pada siswa dengan pikiran yang dogmatis. Kalaupun ada guru muda, mereka tidak seasyik teman-temanku saat aku masih sekolah. Gaya bercanda mereka terkesan murahan, misalnya, mengomentari kebiasaan konyol siswa laki-laki, atau membicarakan siswi cantik yang ada di kelas. Tidak ada hal lain yang kulakukan selain memberikan kelas pada waktunya, makan soto ayam di kantin, dan mengisi kegiatan administratif di kantor. Kadang aku melakukan rapat yang tidak penting dengan para guru.
Setiap dilakukan evaluasi bulanan, kepala sekolah selalu memberiku teguran untuk memperbaiki metode pengajaranku yang, menurutnya, banyak dari siswa kami yang tidak mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran sejarah. Persetan pada tua bangka yang sok berkuasa itu. Apa salahnya aku mengajar sesuai dengan metodeku sendiri? Ya, kuakui aku memang banyak berkhotbah tentang cerita-cerita sejarah yang belum seharusnya dipelajari oleh para siswa karena materinya tidak muncul saat ujian akhir semester. Tapi jika dilihat dari besaran upahku ini, kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang aku sukai sebagai alasanku untuk bertahan di sekolah ini?
“Mengingat bahwa kamu adalah pekerja kontrak di sini, saya menegaskan bahwa metode pengajaranmu yang tidak sesuai dengan kurikulum itu harus segera diperbaiki.” ucapnya kepadaku secara pribadi setelah evaluasi.
“Maafkan saya, Pak. Tapi setidaknya saya perlu alasan yang baik untuk tetap tinggal di sekolah ini.” jawabku dengan tegas.
Dia tertawa.
“Apakah menurutmu caramu mengajar itu membuat siswa menjadi tertarik untuk belajar sejarah?”
Aku tidak peduli dengan ketertarikan para siswa bodoh itu. Aku hanya bekerja sesuai dengan besaran upah yang kuterima. Jika upah yang kuterima tidak layak, aku hanya mengajarkan materi sesuai dengan apa yang kusenangi. Bahkan ketika tiba-tiba terpikir tentang sejarah ilmu pengobatan di Yunani, aku akan menceritakannya kepada para siswa tanpa memaksa mereka untuk tertarik pada cerita itu. Sesederhana itu.
Saat perjalanan pulang, aku terlalu larut dalam pikiranku tentang perkataan kepala sekolah. Kupikir aku berhak mendapatkan gaji yang sesuai dengan kompetensiku. Hariku menjadi lebih buruk lagi ketika aku melihat pria bergigi kuning yang sedang duduk dengan satu kaki yang dinaikkan ke kursi sambil merokok dan meminum sebotol soda. Aku melongos saja begitu sampai di pelataran kos-kosan.
“Apakah kamu sedang dalam masalah?” tanyanya tiba-tiba ketika aku hendak memasuki kamar kos.
“Apakah kamu melihat kunci kamarku?”
“Bahkan kamu lupa mengunci kamarmu.”
Aku segera bergegas masuk dan memastikan bahwa tidak ada barang-barangku yang hilang. Kulihat buku-buku masih tertata. Tidak ada tanda-tanda pencurian barang. Tapi aku tetap menaruh curiga pada pria bergigi kuning.
“Kuharap kamu tidak pernah memasuki kamarku.” ucapku padanya ketika aku kembali keluar untuk memastikan ekspresinya. Barangkali dia menunjukkan wajah yang khawatir karena telah mengambil sesuatu.
Bukannya menunjukkan raut wajah yang khawatir, dia justru tersenyum seolah-olah tahu bahwa aku sedang memastikan kemungkinan ada pencurian atau tidak.
“Bahkan tidak ada satu barangmu yang menarik perhatianku. Jika kamu punya sepotong kue coklat atau pisang goreng, mungkin aku akan mengambilnya sedikit.” dia terkekeh menyebalkan.
Dia tidak mengambil sesuatu. Aku bisa tahu dari ekspresinya. Namun kejujurannya itu tidak lantas membuatku menyukai perangainya yang sedari awal sudah menggangguku itu.
“Kamu tidak ingin mencoba mencari pekerjaan lain yang lebih layak?”
Sekali lagi dia mengatakan tentang mencari pekerjaan yang layak, akan kutinju pucuk hidungnya itu hingga mengeluarkan darah.
“Kurasa dengan gaji ini aku sudah bisa hidup layak. Bagiku, uang bukan satu-satunya alasan untuk bisa menikmati hidup.”
Pria itu tertawa sinis. Udara di dalam tubuhku mengendap ke dadaku. Aku merasa tersinggung dengan tawanya yang canggung itu—seolah-olah dia berpikir bahwa kehidupannya lebih baik dariku.
“Aku pernah membaca kutipan dari seseorang. Katanya, orang yang berpikir bahwa dia bisa bahagia tanpa uang adalah contoh dari keangkuhan spiritual.”
“Ungkapan semacam itu tidak berlaku bagi orang-orang yang mempunyai prinsip.”
“Setahuku prinsipmu itu hanyalah alibi untuk membenarkan ketakutanmu untuk keluar dari kondisimu yang serba tanggung itu.”
“Kamu salah. Akulah yang menjalani kehidupan yang sudah kupilih. Kupikir kamu tidak berhak mengatur hidup orang lain.”
“Kamu bukan memilihnya, kamu terjebak.”
“Diam kamu, penganggur!” gertakku.
Sebetulnya aku tidak ingin membuat suasana menjadi serius. Tapi pria bergigi kuning inilah yang membuatku marah. Kupikir dia sedang ingin menunjukkan belas kasihan kepadaku yang bekerja sebagai pegawai kontrak di sekolah swasta. Dia mencoba untuk memberiku solusi, padahal hidupnya saja tidak jelas juntrungannya.
Tentu kemampuan pemerintah dalam memberikan regulasi yang ketat terkait masalah gaji dan perluasan lapangan pekerjaan yang sampai saat ini belum terjadi menjadi alasanku untuk bertahan di sekolah itu. Aku punya cukup potensi untuk berkembang, tapi kesialanku untuk lahir di negara ini membuat semuanya berantakan. Ditambah lagi, ada seorang penganggur yang hanya bisa berkomentar tanpa tahu bagaimana kondisiku saat ini.
Sebagai seorang anak tunggal, bisa dibilang bahwa prestasiku selama sekolah cukup memuaskan. Aku berhasil mendapatkan ranking tiga besar selama enam tahun saat sekolah dasar. Bahkan aku hanya mengenyam pendidikan menengah pertama selama dua tahun saja. Aku mendapatkan pendidikan yang ketat dari orang tuaku. Saat masih di tingkat sekolah dasar, aku merasa bahwa haram hukumnya bagiku mendapatkan nilai yang jelek. Aku tidak akan bisa mendapatkan makanan kesukaanku jika orang tuaku mendapati nilaiku di bawah angka delapan saat ujian.
Tentu saja, kata-katanya tadi membuatku terjaga pada malam hari. Aku jadi banyak merenungi kehidupan yang sebenarnya tidak pernah kubayangkan. Aku tidak pernah membayangkan diriku melakukan aktivitas mengajar di salah satu sekolah swasta kecil di kota ini. Dulu aku hanya membayangkan diriku melakukan riset dengan pergi ke tempat-tempat bersejarah dan mencatat penemuan-penemuan kuno. Jika tidak, aku membayangkan diriku menjadi penulis novel terkenal dengan tema-tema menyangkut sejarah dan misteri yang tidak pernah terungkap.
Rasanya aku jadi ingin pulang ke rumah. Sebenarnya banyak hal yang tidak sesuai harapanku. Aku tidak ingin pulang sebagai seorang guru kontrak dengan gaji yang hanya cukup untuk membeli rokok tanpa cukai, kopi kemasan, dan biaya makan sehari-hari. Sesekali aku membeli cemilan atau menyisihkan uang untuk membeli paket internet. Jika tahu keadaanku di sini, orang tua atau teman-temanku akan berpikir bahwa aku tidak cerdas seperti sebelumnya.
Bayangkan saja, seorang anak berbakat yang lahir dari keluarga cukup terdidik di kampung yang kebanyakan penduduknya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai tingkat menengah, pulang dengan dada yang mengendur tidak tegap. Apa jadinya nanti jika orang-orang di kampung tahu bahwa ternyata pendapatan yang mereka hasilkan dari menanam padi di bawah terik matahari jauh lebih besar dari gajiku sebagai guru kontrak di sekolah swasta di kota ini?
Tidak, aku tidak akan pulang. Bahkan ketika aku memerlukan waktu lebih lama untuk berada di sini, aku merelakan kerinduanku pada kampung halaman untuk mengakhiri kondisiku yang belum memungkinkan ini. Pekerjaan dan pendapatan menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Aku tidak ingin menjadi orang yang dipandang sebelah mata dengan statusku yang sekarang.
Menjadi seorang guru bukanlah pengabdian. Seseorang berhak untuk keluar dari pekerjaan ini jika suatu waktu mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar. Jika saja ada suatu momen di mana aku secara tidak sengaja bertemu dengan orang yang berpotensi membuka jalan karierku, akan kupastikan bahwa sekolah ini sudah kutinggalkan—bahkan tanpa perlu terharu untuk berpisah dengan para guru dan siswa yang kelak akan kulupakan begitu saja.
“Mengapa negara demokrasi menjadi standar ideal dari sebuah negara? Bukankah era kerajaan jauh lebih baik jika dipimpin oleh raja yang adil dan bijaksana?” seorang anak berambut keriting yang duduk di meja depan sebelah kiri itu tiba-tiba mengacungkan jarinya untuk bertanya.
Aku belum, atau bahkan tidak, memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya. Aku sedang menjelaskan dengan penuh konsentrasi tentang peristiwa-peristiwa penting yang memberikan dampak pada berbagai perubahan dalam sejarah dunia modern. Tapi pertanyaan dari anak keriting itu membuatku buyar.
“Demokrasi justru hadir untuk memberikan kita kesempatan yang sama untuk memilih pemimpin. Pertanyaanmu itu bagus, tapi lebih baik lagi jika kamu mau mendengarkan ceritaku dulu sampai selesai sebelum bertanya,”
Dia tersenyum canggung dan mengamati keadaan sekitar. Mungkin dia berpikir bahwa teman-temannya sedang memerhatikannya, padahal sama sekali tidak. Semua siswa yang ada di kelas ini tidak peduli dengan sejarah. Anak-anak zaman sekarang hanya peduli pada hiburan-hiburan di sosial media, atau menghabiskan waktunya untuk diam-diam menyukai siswa dari kelas lain.
Bel jam pertama berbunyi, menandakan bahwa kelasku tinggal tiga puluh menit lagi. Aku masih tetap bercerita tentang hal-hal yang perlu kusampaikan. Aku tidak memerlukan mereka untuk memerhatikan, penasaran, atau bahkan bertanya. Aku sudah muak dengan beban yang yang mengharuskanku untuk membuat mereka menjadi ingin tahu. Jika mereka sedikit saja mempunyai rasa penasaran—sama seperti diriku saat remaja—mungkin aku akan mendapatkan ancaman.
Ketika kuberi mereka tugas menulis esai untuk meringkas cerita yang kusampaikan, ada seorang anak laki-laki dengan rambut hitam tebal yang sedikit bergelombang sedang asyik mengganggu teman yang duduk di depannya. Anak itu berpipi tirus dengan kelopak mata yang sedikit sayu. Aku tahu bahwa dia adalah salah satu anak yang cukup bengal di kelas ini. Bahkan beberapa guru seakan tidak mau berurusan dengan anak itu. Apakah dia anak dari komite sekolah? Rasanya tidak penting untuk memedulikan itu sekarang.
Secara spontan, aku melempar sebuah penghapus papan tulis. Penghapus itu melayang secara pelan, seakan-akan aku sedang menonton tayangan lambat di sebuah film laga. Bagian ujung dari salah satu sisinya yang meruncing itu mengenai pelipis matanya sebelah kiri. Semua mata sontak tertuju pada bunyi yang dihasilkan dari benturan itu, kemudian semua mata itu beralih padaku.
Anak bermata sayu itu memegangi pelipisnya dengan tangan kanannya. Raut mukanya yang tengil berubah menjadi tegang. Ada kemarahan yang mengerut pada dahinya. Dia berdiri dan menghampiri meja guru dengan tergesa. Tangan kirinya mengepal seakan-akan bersiap untuk melayangkan pukulan sebagai pembalasan dendam karena dipermalukan.
Sebelum lengah, segera kupukul pipi anak itu dengan cukup keras. Kutendang pinggangnya hingga dia tersungkur di depan kelas. Ada bercak darah di sudut sebelah kanan mulutnya. Pelipisnya sedikit tergores dan kulit di bawah mata kirinya sedikit memerah akibat pukulan. Aku tertawa, melepaskan beban yang mengendap dan memberatkan pundakku. Aku merasa lega dan tegang di waktu yang bersamaan. Seisi kelas berteriak singkat, kemudian terdiam—saling bertukar pandang.
Tidak lama setelah peristiwa itu, aku melepaskan statusku sebagai pengajar. Bahkan peristiwa yang menjadi alasanku keluar dari sekolah itu akan menjadi penyebab yang jauh lebih keren daripada keluar atas inisiatif sendiri akibat upah yang tidak layak. Statusku sudah resmi menganggur setelah kepala sekolah memberiku arahan untuk meninggalkan sekolah sebelum kasusnya bocor. Jika tidak, mungkin aku akan mendapatkan masalah dengan pihak kepolisian akibat penganiayaan terhadap anak di bawah umur.
Sementara itu, aku bertahan dari sisa-sisa gaji yang kudapatkan selama mengajar. Aku menghabiskan waktuku untuk mencari informasi pekerjaan. Jika ada yang cocok denganku, terutama upahnya yang besar, aku akan melamarnya dengan percaya diri. Ada kebanggaan tersendiri ketika kulihat portofolioku yang dipenuhi dengan prestasi dan aktivitas yang bernilai. Kebanggaan itu hilang dengan segera setiap kulihat ada pria bergigi kuning yang mengganggu pemandangan di luar kamarku. Penganggur itu mungkin mempunyai keberuntungan untuk lahir dari keluarga yang kaya, sehingga dia bisa bersantai sambil menunggu warisan dari orang tuanya.
“Zaman sekarang mencari pekerjaan memang sedang sulit,” tiba-tiba dia bergumam sendirian saat aku sedang sibuk membaca lowongan-lowongan yang ada melalui ponselku. “Tidak ada salahnya kamu mencoba menghubungi temanmu, atau setidaknya orang-orang yang mengenalmu dengan baik, untuk mencari informasi pekerjaan…”
“Aku akan segera mendapatkan pekerjaan tanpa perlu bertanya pada teman-temanku.”
“Apakah kamu malu dengan kondisimu yang tanpa pekerjaan itu?”
Aku bukan malu. Aku hanya belum siap ketika orang lain tahu bahwa aku sudah keluar dari sekolah itu. Aku tidak ingin membuat mereka mengira bahwa aku semenyedihkan itu.
“Jika kamu merasa tidak ada kemajuan, mungkin kamu perlu cara yang baru untuk mencari pekerjaan,” lanjutnya.
“Aku hanya belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan diriku,”
“Kamu hanya takut pada pikiran orang lain tentang dirimu,”
“Tahu apa kamu?”
“Ya, kamu takut orang lain menyadari bahwa kamu tidak sehebat yang kamu bayangkan.”
Tentu saja dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu kenyataan bahwa aku memang memiliki keunggulan di bidang akademis. Keunggulanku bisa dilihat dari nilai-nilai yang kudapatkan, atau beberapa piagam dari lomba-lomba lokal. Aku menutup pintu kos-kosan untuk membuatnya berhenti berbicara.
Diriku merebah di ranjang sambil melihat langit-langit kamar. Di sana terlihat ada seekor cicak yang berlarian. Aku menatapnya dalam-dalam, dia terdiam. Setelah sepuluh detik tak bergerak, dia terjatuh. Aha! Aku sudah menduga bahwa perekat di kakinya itu tidak cukup mampu membuatnya terus menempel pada langit-langit kamarku. Aku tidak pernah berpikir macam-macam tentang mitos, kesialan, dan semacamnya.
Cicak yang terbanting di lantai kamarku itu kembali bergerak menuju cermin. Segera aku beranjak dan mengusirnya sebelum bekas kaki-kakinya itu menapak pada cerminku. Dia menjauh dan menenggelamkan dirinya di sudut sempit lemariku yang gelap. Kulihat diriku di dalam cermin. Aku melihat wajahku yang bisa dibilang rupawan dari orang kebanyakan. Aku membalikkan badan dengan mata yang tetap tertuju pada diriku di cermin itu. Ah, benar. Postur tubuh ini mendukungku untuk terlihat pantas mengenakan pakaian apa saja. Mulai dari batik, kemeja, hingga kaos oblong. Kudekatkan wajahku pada cermin itu. Sangat dekat, hingga bulu-bulu halus pada pipiku terlihat. Ya, tentu. Aku yakin bahwa aku dilahirkan untuk menjadi sesuatu—aku hanya perlu menunggu waktu.
Tiba-tiba saja aku terpikir tentang pria bergigi kuning. Sudah lebih dari satu setengah tahun ini, aku belum juga mengetahui namanya. Dia juga tidak pernah memberiku informasi tentang dirinya. Setelah kuingat-ingat, kami hanya sedikit membangun percakapan. Dia menjadi orang yang lebih banyak berkomentar dan bertanya tentang hidupku—terutama pekerjaanku. Aku kekurangan energi untuk menginginkan informasi yang tidak berguna tentang kehidupannya.
Untuk apa aku merasa ingin tahu tentang keberadaannya itu? Sedikitpun aku tidak sudi. Apalagi statusku sebagai penganggur belum juga berganti. Sedangkan tabunganku dari sisa-sisa gajiku mulai lenyap dimakan waktu. Menyadari keadaan ini, kupikir aku tidak akan bertahan selama lebih dari seminggu lagi. Pesan-pesan yang masuk dari pemilik kos juga membuatku frustrasi. Sudah hampir dua minggu aku melewatkan tenggat pembayaran kos-kosan.
Tidak ada rencana ke depan selain menaruh harapan pada keberuntungan jika aku dipanggil oleh perusahaan untuk melakukan wawancara. Di tengah kebosanan ini, aku merasa perlu untuk keluar dan menghirup aroma segar. Namun udara perkotaan yang pekat akibat asap kendaraan dan tekanan tak kasat mata dari pemilik kos-kosan membuatku tak segan-segan untuk meminta rokok dari pria bergigi kuning yang sedang melakukan aktivitas hariannya yang membosankan itu.
“Apakah kamu sudah tidak punya uang lagi?”
Aku terdiam. Aku tidak dapat menahan perasaanku yang ingin merokok, tetapi kenyataan bahwa aku tidak lagi memiliki cukup uang untuk membeli rokok justru membuat perasaanku semakin kacau dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak diharapkan dari pria bergigi kuning.
“Belum adakah yang mau menerimamu?” lanjutnya datar, tanpa penekanan pada suaranya.
“Kupikir mereka melihatku sebagai orang yang punya kualifikasi melebihi dari apa yang mereka butuhkan.”
Dia menyesap kopi yang tinggal ampasnya itu. Helaan napasnya itu seakan-akan mencelaku. Aku tidak ingin menjadi tidak berdaya dalam situasi ini.
“Aku merasa bahwa kamu dikekang oleh perasaanmu sendiri,”
“Maksudmu?”
“Kamu terjebak dalam dirimu di masa lalu.”
“Apa maksudmu bahwa diriku terjebak dalam diriku di masa lalu?”
“Seperti yang sudah pernah kukatakan, kamu takut menghadapi kenyataan bahwa kamu hanyalah orang biasa, rata-rata, dan bukan siapa-siapa.”
Ada tekanan di dadaku. Kepalaku semakin memanas, mulutku terbungkam. Belum sempat aku memberinya tanggapan, dia kembali meneruskan ucapannya yang membuat dadaku semakin terasa sesak.
“Kamu harus melepaskan beban masa lalu itu sekarang jika kamu tidak ingin selamanya merasakan kesulitan.”
Aku melemas. Ucapannya itu membuatku tidak berkutik. Aku pamit undur diri. Aku tidak ingin meminta rokok kepadanya lagi—tentunya tidak ingin melihatnya lagi.
Kupandangi lagi wajahku pada cermin. Erat-erat. Kurasakan leher bagian belakangku menjadi berat. Punggungku juga terasa sakit. Segera kumatikan lampu kamar dan kubuang tubuh ini ke kasur berwarna merah ini. Benar saja, perkataan pria bergigi kuning itu tetap ampuh untuk membuatku terjaga. Kurasa keadaan menjadi tidak adil bagiku. Bagaimana bisa keuletanku untuk belajar, prestasi-prestasi yang kuraih, dan penghargaan lokal tidak membuatku mudah mendapatkan pekerjaan?
Sudah pasti salah pemerintah. Bukan, bukan hanya itu. Bahkan Tuhan tidak memberiku keadilan untuk mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Bukankah aku berhak mendapatkan sesuatu yang sudah kuperjuangkan? Jika tidak, kupastikan aku menyesali jerih payahku untuk belajar giat dan mendapatkan penghargaan atas berbagai prestasi jika pada akhirnya hanya menjadi memori yang mengerak di kepalaku.
Tidak ingin dipecundangi oleh pilihan-pilihan yang kubuat, aku merasa perlu melawan perasaan ini. Aku harus kembali mendapatkan kepercayaan diriku seperti di masa lalu. Banyaknya pikiran saat ini mungkin disebabkan karena celotehan kosong dari pria bergigi kuning. Pesan-pesan dari pemilik kos yang terus mengisi notifikasiku juga tidak memberiku kesempatan untuk menenangkan diri.
“Enyahlah kamu!” kubalas pesannya itu dengan berani.
Segera kumatikan ponselku dan membuangnya ke sudut kasur. Rasanya semua tampak menggelikan, lucu, dan mengesalkan. Aku menertawakan mereka semua. Seisi kamarku penuh dengan tawa dan imaji. Apa yang kuperlukan? Haruskah aku mengusirnya? Rasanya itu cukup memalukan.
Aku memerlukan sebuah benda, pikirku, yang bisa menancap ke kulit seseorang. Kunyalakan lampu kamarku kembali. Menerka-nerka benda apa yang bisa menggerakan tanganku untuk mengambilnya. Aku melihat ada bekas pembuka kaleng tidak terpakai dengan ujungnya yang runcing memantulkan sedikit cahaya lampu. Mungkin benda itu cukup untuk membuatnya kesakitan dan memberikan ekspresi yang menyenangkan. Aku tidak memerlukan gunting atau pisau dapur. Benda itu terlalu biasa bagiku.
Aku mengamati jam kamarku yang menunjukkan pukul setengah empat pagi. Suasana di luar kamar tampak sepi. Hanya ada suara rintik air yang turun dari langit membasahi bumi. Rasanya cukup dramatis. Aku keluar kamar dengan kaki yang menjinjit. Suasana ini sangat menegangkan, lucu, sekaligus ragu. Aku merasakan diriku bagai aktor yang disinari oleh lampu sorot yang mengikuti ke manapun aku melangkah pergi. Kuintip kamar pria bergigi kuning melalui celah jendelanya yang sedikit terbuka. Tampak gelap. Tidak ada lampu kecil yang menyala untuk menjaga redup malam.
Kubuka pintunya perlahan. Benar saja, tidak dikunci! Aku merasakan kemenangan sebelum memasuki kamarnya. Ingin rasanya tertawa, tetapi bibirku menempel erat untuk menghindari timbulnya suara. Terukir garis cahaya dari lampu luar yang menyeruak masuk setelah pintunya setengah terbuka. Tampak ada barisan buku-buku yang menempel di tembok. Secara samar-samar, terlihat dua kakinya yang lemas. Ketika aku masuk, tampak semakin jelas wajahnya dalam remang-remang kamarnya akibat cahaya dari luar. Pintunya sedikit kubuka lebih lebar lagi untuk membiarkan cahaya lampu dari luar sedikit memperjelas wajahnya. Bibirnya mengatup, dan matanya rapat tertutup.
Kepalanya melemas ke sebelah kiri dengan posisi tubuh yang telentang menghadap ke langit-langit kamarnya. Napasnya cenderung tenang. Dadanya terlihat mengembang, mengempis, mengembang, dan mengempis secara beraturan. Dalam sekejap, kuluncurkan ujung pembuka kaleng itu ke lehernya sebelah kanan dan berharap mengenai urat nadi yang mengalirkan darahnya ke otak. Badanku menjadi gemetar, napasku memburu. Aku tegang. Rasanya seperti ada binatang kecil yang menyengatku. Dia tidak tampak bergerak sedikitpun. Justru aku yang merasa gelisah dan kelimpungan seperti kehilangan sesuatu, tetapi tidak tahu apa itu. Ingin rasanya segera menghambur keluar, tapi keinginanku yang kuat untuk memastikan ekspresinya itu menghentikan langkahku. Apakah dia sudah mati dengan begitu tenang?
Sebelum keluar, aku melihat wajahku sekilas di cermin yang ada di atas lemarinya yang setinggi dadaku. Remang kamarnya itu mengaburkan pandanganku di cermin. Hanya tampak bayangan diriku yang menghitam karena tubuhku menghalangi garis cahaya yang masuk dari luar. Aku memegangi leherku dengan telapak tangan. Aku segera berlari keluar gang dengan perasaan yang bingung. Dadaku terasa sesak seakan ditekan oleh sesuatu yang tidak tampak.
Aku berlarian tanpa mengenakan alas kaki. Diriku merasa ditelanjangi oleh sorot mata dari beberapa orang yang memikul jualan di pasar raya pagi itu. Pandanganku mulai buram. Napasku yang tersengal-sengal dan kepalaku yang pening memintaku untuk berakhir di ujung gang masuk pasar raya kota setelah tidak punya cukup napas lagi untuk melanjutkan pelarian. Cahaya pagi yang cukup redup itu membiarkan lampu sorot jalanan menghakimiku. Kulihat ada bercak darah di telapak tanganku secara samar. Mataku semakin larut, kelopak mataku yang berat perlahan-lahan menutup. Menyisakan sedikit remang-remang jalanan, sebelum semuanya benar-benar menghilang.
*****
Editor: Moch Aldy MA