Sebagai arek Malang yang lahir tahun 2000-an, saya sempat menjadi pengagum Arema di era Robert Alberts. Ketika umur saya 10 tahun, ada pemain asal Singapura bernomor punggung 6 yang sangat saya idolakan: Muh. Ridhuan.
Ridhuan adalah pemain sayap yang ketika berlari rambutnya seolah ikut terbang. Masih jelas di ingatan saya ketika dia memberikan assist berupa sundulan yang kemudian disambut tendangan salto rekannya, Alam Shah. Tendangan akrobatik tersebut berbuah gol di gawang Persema. Di musim itu pula saya merengek minta dibelikan jersey Arema yang dulu merupakan barang berharga yang diimpikan anak seusia saya.
Setelah Arema menjadi juara ISL pada tahun tersebut, saya justru menyaksikan beberapa kali konflik dan ketidakjelasan pihak federasi dan klub. Hal ini membentuk pandangan saya bahwa sepak bola di Indonesia tidak jelas. Saya tidak lagi mengikuti liga sepak bola Indonesia, lebih baik menonton Manchester United dengan pemain barunya, Robin van Persie.
Kemudian, terjadilah tragedi Kanjuruhan. Meski sudah didahului dengan tragedi-tragedi gila terkait suporter yang meninggal dunia, pengaturan skor, mafia bola, dan sikap federasi yang menjijikkan, tragedi Kanjuruhanlah yang membuat saya bertambah yakin bahwa sepak bola di tanah air benar-benar tidak layak untuk diteruskan. Anehnya, klub yang pernah sangat saya sayangi ini masih ngeyel untuk lanjut menyelesaikan liga. Logo yang dirusak disusul dengan logo yang dibela lebih dari nyawa—dualisme yang kembali mencuat sampai dengan proses hukum yang masih belum jelas.
Semenjak tragedi tersebut, hampir seluruh tempat di Malang Raya—Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang—terdapat poster, bendera, dan berbagai media yang menuntut keadilan. Tagar #UsutTuntas! #Gasairmata bertebaran. Di sepanjang jalan, tidak ada tempat untuk tidak menemukan tuntutan tersebut. Semua ruang seolah berisi perlawanan, memberikan pengingat bahwa jangan sampai ada yang melupakan dan meremehkan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 tersebut.
Akan tetapi, di samping riuhnya poster tuntutan tersebut, ada benda-benda yang tidak diundang dan menodai medium-medium perlawanan. Mereka tak lain adalah atribut partai.
Punya hati, nggak, sih?
Saya nggak habis pikir dengan orang-orang di partai politik yang bisa-bisanya memasang bendera dan baliho beserta gambar kadernya di samping, bahkan beberapa menutupi, poster-poster terkait tragedi Kanjuruhan. Awalnya, hanya ada satu-dua partai. Namun, beberapa waktu terakhir, bermunculan bendera partai dengan berbagai warna, mulai dari hijau, merah, putih, biru—seolah ingin mengalahkan suara-suara yang menuntut keadilan. Sama seperti poster tuntutan keadilan tadi, hampir tidak ada tempat untuk tidak menemukan atribut partai.
Apakah agenda politik 2024 sebegitu penting sehingga partai-partai sampai hati menyerobot ruang untuk tragedi Kanjuruhan? Sejak tragedi tersebut terjadi, banyak orang yang seharusnya bertanggung jawab malah menghindar. Tidak banyak politisi dan partai politik yang benar-benar peduli dan turun tangan menegakkan keadilan atas tragedi tersebut. Maka dari itu, menggelikan sekali melihat mereka berkali-kali menjilat rakyat untuk memilih, tapi ketika ada 135 nyawa melayang yang membutuhkan keadilan, mereka senyap. Gak mashok, bos!
Baca juga:
Duhai kader-kader partai yang atributnya mejeng di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Raya Lawang, Tugu UKS, coba raba hati kalian. Coba cari saja secercah empati untuk tragedi Kanjuruhan. Atribut berwarna dan berwajah kader kalian tidak memberikan apa pun selain rasa risih dan geli bagi kami.
Gelap yang sudah menyelimuti Malang sejak Oktober lalu seolah sekadar gelap yang mampu kalian beri warna hijau, biru, putih, merah, dan lainnya hanya dengan menancapkan atribut partai. Kalian semakin memvalidasi dugaan orang-orang bahwa kalian bukan wakil rakyat. Kalian hanya seonggok wakil dari partai masing-masing yang memiliki kepentingan sendiri, tapi pura-pura mengatasnamakan rakyat.
Editor: Emma Amelia