Professional Google Map Reader

Seks di Persimpangan Jalan

Agus Ghulam Ahmad

2 min read

Manusia tidak bisa hidup tanpa makan, itu yang saya yakini. Selama bisa makan, walau tanpa apa pun selainnya, manusia masih bisa setengah hidup. Tak heran bila ada ungkapan, “Air mata jatuh ke bawah, sendok tetap ke atas.” Mau bagaimanapun keadaannya, kalau lapar tetap harus makan; jangan sampai mati dengan perut kosong.

Seks termasuk perkara selain makan yang manusia masih bisa setengah hidup tanpanya. Tanpa seks, saya rasa manusia masih bisa hidup, tapi mungkin hidupnya terasa agak hampa. Sebab, selain sarana reproduksi, seks pun sarana rekreasi, menghibur diri. Walau hiburan tak selamanya berarti seks, tapi apa, sih, yang bisa menggantikan sensasi ejakulasi? Mungkin karena itu manusia selalu mengait-ngaitkan seks dengan kebutuhan hidup.

Baca juga: 

Seks bisa jadi begitu populer mungkin juga karena terbuka untuk siapa pun, tak pandang kelas sosial. Semua orang bisa menikmati seks, punya uang atau tidak. Yang membedakan paling latarnya saja. Orang-orang borjuis bisa melakukannya di kamar hotel sambil membakar lilin aroma terapi atau di atas jok mobil ditutupi kaca film 3M dengan kadar gelap 40%. Sementara itu, masyarakat papa terbatas di kamar sempit yang murung. Kalau ingin lebih bervariasi, ya, pergi ke kebon, di bawah pohon mana pun. Namun, abaikan semua itu, toh, saat mata terpejam, orang bisa mengimajinasikan apa saja.

Dalam satu adegan film Shoplifters, sepasang kekasih yang miskin harus curi-curi waktu untuk berhubungan seks saat anak-anak mereka sedang bermain di luar dan harus buru-buru menyudahinya saat mereka tiba-tiba pulang. Seks yang bergegas itu takkan terjadi apabila mereka punya kamar pribadi dan tak harus bergumul di ruang tengah tanpa privasi.

Seiring seks dianggap sebagai kebutuhan, wajar bila kemudian seks dijadikan sebagai profesi—bukan hanya pekerjaan senang-senang dan cuma-cuma. Bisnis seks menjelma jadi salah satu yang paling purba dalam sejarah manusia; lagian seks tak butuh teknologi macam-macam. Seks modern dan seks zaman purba saya yakin begitu-begitu saja, tak banyak bertransformasi, hanya istilah-istilahnya saja yang kian beragam.

Kalaupun ada yang berubah sejak kedatangan teknologi mutakhir adalah industri pornografi. Selebihnya, transaksi seks offline masih masif dan mengakar di masyarakat. Aktivitas seksual boleh jadi tak memandang kelas, tetapi ketika itu menjadi bisnis, para pekerjanya lantas terbagi.

Di zaman Yunani Kuno, pekerja seks komersial sudah terkelompokkan menjadi kelas atas dan bawah. Para pekerja di rumah bordil berada di tangga paling bawah hierarki pekerja seks. Mereka ini disebut pornai; pornoi untuk laki-laki. Dari kata itu pula istilah pornography diambil. Pekerja seks kelas atas dipanggil hetaira (atau hetairoi untuk maskulin); dari kata Latin hetaera yang berarti pasangan. Tak seperti pornai yang melayani pelanggan siapa pun, hetaira hanya menjalin kontrak seks dengan beberapa pria dalam satu waktu. Mereka sering digolongkan sebagai wanita rupawan dan terpelajar.

Baik pornai ataupun hetaira rasa-rasanya masih eksis di sekitar kita, tentu dengan istilah lain. Pornai dapat kita temukan di rumah-rumah bordil dengan nama pelacur, di panti pijat plus-plus dengan nama terapis, di ruang-ruang karaoke dengan nama pemandu lagu, atau red-light district mana pun. Padanan hetaira sekarang adalah sugar baby; anak-anak kuliahan yang dibayari segala kebutuhan kampus dan belanjanya oleh om-om beranak tiga yang bininya sedang hamil tua.

Segala laku bisnis seks berasal dari fungsinya sebagai sarana rekreasi. Ketika kontrak seks diteken dengan tujuan rekreasi sekaligus reproduksi, kita biasa menyebutnya pernikahan. Pernikahan adalah salah satu bentuk pelembagaan seks, baik secara agama maupun negara. Ketika cinta masih jadi sesuatu yang absurd, hanya seks yang bisa dijelaskan dengan gamblang. Sering kita dengar ungkapan orang-orang menikah untuk menghalalkan atau dihalalkan. Halal yang dimaksud di sini seks, bukan?

Seks punya fungsi reproduksi. Ini yang membedakannya dari alat rekreasi lain. Misalnya, kita pergi ke taman bermain, naik bianglala, makan kembang gula, sepuas apa pun kita bersenang-senang di sana, tak akan menghasilkan anak. Hubungan seks (dalam artian penetrasi) bukan seperti itu. Seks menjadi pekerjaan yang melahirkan kehidupan.

Tergantung dari sudut mana kita lihat; sementara fungsi rekreasi menghasilkan kepuasan, fungsi reproduksi bisa jadi beban seksual. Yang dibutuhkan untuk mencapai kepuasan mungkin hal-hal yang bersifat teknis, tapi untuk menanggung beban dibutuhkan komitmen dan kesiapan.

Ketika dihadapkan pada pilihan antara berhubungan seks atau tidak, lalu kita memilih yang pertama, maka kita akan berdiri di persimpangan jalan: rekreasi atau reproduksi. Saya jadi ingat ucapan seorang teman yang saya kenal saat bertugas musiman haji tahun 2017, “Istri boleh di mana-mana, anak jangan sampai.” Secara gamblang maksudnya begini, “Terserah mau berhubungan seks dengan siapa saja, asal jangan sampai menghamili.”

Baca juga:

Namun, semaksimal apa pun kita menekan kemungkinan terjadinya pembuahan, itu takkan pernah mencapai nol persen. Dengan pertimbangan selalu ada kemungkinan menghasilkan anak, berhubungan seks seharusnya tidak segampang itu dilakukan walau atas dasar suka sama suka, apalagi kalau tanpa consent dari salah satunya.

Saat hendak berhubungan seks, mestinya kita selalu berpikir bahwa kita bisa jadi seorang ayah atau ibu kapan saja dan melahirkan kehidupan sama juga mengantarkannya kepada kematian. Namun, Zulaikha pun merobek baju Yusuf saat sedang berduaan. Lantas, alasan apa lagi yang bisa menahan seseorang melewati batasnya? Mari kita bertanya pada kasur yang bergoyang.

 

Editor: Emma Amelia

Agus Ghulam Ahmad
Agus Ghulam Ahmad Professional Google Map Reader

One Reply to “Seks di Persimpangan Jalan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email