Seribu Laut Hampa dan Puisi Lainnya

Ilham Nuryadi Akbar

1 min read

Seribu Laut Hampa

Adakah angka-angka dapat menghitung
pisau yang menujah purba perjalanan kita?

Kala itu,
perahuku adalah kayu-kayu hutan yang kau beri mantra
dan aku menjelajahi lautan tempat kau menenggalamkan maaf
namun tiada jangkar, yang mampu menggapai
dasar senyumanmu.

Bila dingin menampar tubuhku
aku mengingat amarahmu yang serupa gemuruh langit
membuka baju di antara pecah ombak
dan menunggu petir yang aku pikir
mampu menyelimuti
malam penuh gigil.

Barangkali setelah kita usai
aku adalah nakhoda
sibuk berlayar mencari benda
atau berlabuh pada pulau
yang sebenarnya tak pernah ada.

Pematangsiantar, 10 Juli 2024

Merapal Mantra Sumbang

Benarkah sebab kedalaman matamu
laut mengutuk tubuhnya sendiri
dan ikan-ikan tak dapat berenang
selain menghidu bau bangkai
dari tubuhku
membusuk di dasarnya.

Benarkah di alam seberang
kepalamu adalah lima iblis yang tertawa sepanjang malam
merayuku murtad pada Tuhan
untuk dapat berkelindan.

Dari ketiadaanmu
aku menjelma pertapa yang merapal syair sumbang
separuh mulutku menyimpan liur manismu
sedang separuhnya lagi kubiarkan menganga
aku hanya ingin,
kau seorang yang memenuhinya.

Pematangsiantar, 10 Juli 2024

Curah dari Pelupuk Matamu

Dari cawan ini, Nona
aku ingin mencumbuimu seribu kali
berdansa dan menghitung nikmat dosa
yang sungguh kusengaja.

Di malam segala rindu, Nona
aku mengutukmu sampai lampus
menjadi ratu di bukit-bukit merah
tabah merebah menungguku
menyisir mahkotamu
sebelum kita anu.

Mekar mawar itu, Nona
mengharamkan air dari tangismu
maka tertawalah dari seluruh kata-kataku
sebab aku takut
di tanah mati ini
tiada satu pun benda
yang mampu menampung
curah dari pelupuk matamu.

Pematangsiantar, 10 Juli 2024

Kufur dan Kafir

Angin kali ini berbeda
dibawanya mendung pada lorong mataku
membasahi tanah yang dahulu
basah oleh bibirmu.

Kemarau yang ini tetap sama
dikeringkannya langit-langit mulutku
tempat paling lembab
liur bagi lidahmu.

Iblis darimu begitu kufur
menggoda imanku untuk kafir
mengingat perempuan
namun alpa pada Tuhan.

Pematangsiantar, 10 Juli 2024

Perempuan yang Memberi Celaka

Tanpa sehelai benang perasaanmu
hatiku hanyalah bayi yang telanjang
menangis di tengah bara api.
Sedang tanganku adalah kekosongan yang enggan menimang
ihwal tubuhmu, perlahan lungkah jadi abu.

Tanpa sungai-sungai dari lorong mataku
puisimu hanyalah bebatuan kasam di tanah kering
neraka bagi ikan-ikan yang gemar menari
murung bagi kepiting yang muskil berjalan miring.
Dan lihatlah sepasang kerbau
memilih utasan tali
ketimbang tanduk tubuhnya yang dibasahi
lalu takzim atas perasaanku
kerap celaka dari cintamu.

Pematangsiantar, 10 Juli 2024

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ilham Nuryadi Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email