Malaikat Muda
Pastor kesepian berdiri di ujung malam,
berteriak:
“Medan-Jakarta,
ganja dan tujuh nada—jalan setapak menuju Tuhan!”
Kelelawar berubah menjadi truk molen,
istana negara remuk dalam anyaman laba-laba.
Malam ini, segala sesuatu suci,
tapi jauh lebih membingungkan:
Meteor musim hujan menghujam birahi kamar negara.
Aku bertemu malaikat muda,
penuh polos bernama kebenaran,
dan liar bernama cinta.
Aku telanjang, dan kau berbicara:
“Danau Toba, es krim leleh,
nyinyiran roh pirang berdesir di tirai—
kamarku, sayang…
nafsu adalah suci, tak terbantahkan.
Namun pisau cinta mencabik, membunuh,
dan negara,
tersengal, menderita serangan jantung, pecah—berhamburan darah korupsi!”
Aku bercerita soal Tuhan dan bunuh diri,
berulang kali,
mengelana di malam jiwaku,
di dada kumuh tanpa bintang,
di mana nyanyian adalah racun tertinggi,
dan sakit hati menjerit dari dinding kota.
Pastor melolong—
awan berubah menjadi jeruk persik masak.
Jakarta dan Medan, rumah kita,
di mana kita mabuk di balik jeruji,
tenggelam dalam nafsu,
dan ganja alamiah semesta.
(2024)
–
Sayang
Lalat-lalat purba menari di atas kota
dan tikus-tikus berbusa mantra.
Tubuh perempuan memuai di musim korupsi,
melahirkan metana di jantung yang mati.
Aku pulang ke Barat, menyeberangi batas,
meninggalkan berhala di sisi gelap,
membiarkan rahimmu kosong, sunyi,
dan doa-doa terperangkap dalam birahi.
Kita akan berjalan ke labirin Istana Negara
dan binatang buas berperang melawan pagi.
Kita akan melihat gereja menggigil di jalan,
mengunyah dosa seperti biskuit di tangan.
Keringat mengalir—
Rambut kuning terbakar,
langit berbisik.
Di kamar mandi,
aku melototi wajahku:
lubang ungu memakan siang.
Kau masuk, telanjang,
membawa angin penjajahan
dan melumat cermin.
Nyamuk-nyamuk berbicara,
menanam telur di kulitku,
dan Tuhan tetap diam,
menikmati aroma darah yang asin.
Bangunlah, gadis mabuk ekstasi,
kitab sucimu telah dikunyah tikus.
Revolusi hanyalah mesin tua
di tangan anak presiden yang tidur nyenyak.
Kita menembus jalan kecil ini,
mengubur nama Tuhan di punggung kita.
Jangan ada revolusi, jangan bermimpi,
jangan sekali-kali lari di dunia ini.
Malam seperti racun di arteri kita.
Matilah di mimpiku,
dan esok kita bisa melompat ke pulau
yang tak pernah ada.
Bayangan menari—
Angin dari surga palsu,
bulan berkarat.
Aku turun melalui jalan raya
dan surga yang retak.
Kau turun dari air terjun neraka
dengan sayap patah.
Di sini, di dunia tanpa nama,
aku memberitahumu jebakan revolusi.
Kita adalah api yang terbakar di bawah lautan.
Matilah seka-
rang, sayang,
dan lahir kembali sebagai keberuntungan.
(2024)
–
Sayang I
Kita bertukar pandang mata iblis,
di meja Tuhan, dosa digiris.
Hidangan dingin menguap tanpa doa,
anggur mengental jadi darah tua.
Syal hitam menjerat tubuh selada,
piring menggigil meminta suara.
Kucing merah mencakar luka mimpi,
tulangnya menguap di kuburan tragedi
Asap merapi merayap di kaca,
bukit ungu berlari ke lorong fana.
Camar abu-abu menggambar gelap,
di dinding Tuhan yang mulai retak.
Bukit ungu runtuh,
kado untuk mimpi mati—
camar abu-abu.
Bangunlah, terbangun dengan rambut berdebu,
lutut mengingat meja, udara pilu.
Sepotong daging hijau menguap pelan,
mangkuk salad titanium jadi saksi kesedihan.
Apa yang tersisa, selain udara berhala?
Kita bertukar birahi, gairah yang fana.
Di festival, birahi menangis di kora-kora,
mata merah menyala di pinggang serigala.
Perahu kita terombang ragu di air mati,
ombak kecil menyentuh ego yang tak pasti.
Aku tak mencintaimu, bisik bayanganku,
dan aku berkeliaran seperti teknologi kelabu.
Lalat-lalat suci,
terilhami puing dunia—
kekosongan jiwa.
Kita bertukar pandang mata serigala,
dalam rumah Tuhan, neraka menyala.
Tubuh abadi dalam puisi kebencian,
hati yang berdarah, cinta dan penyangkalan.
Aku berjalan, teknologi yang terbuang,
membaca lalat-lalat ilahi yang bimbang.
Di meja Tuhan, neraka tetap bercahaya,
cinta terlipat, tersisa kehampaan saja.
(2024)
–
Dipengaruhi Wiji Thukul
: For Ayu, Cintaku
Seumpama negara,
kita adalah ranjang reyot di pinggir kota,
berderit ketika menyebut nama penguasa.
Seumpama Indonesia,
kita adalah lekuk tubuh yang dilarang
bertemu dengan ciuman.
Kamu lebih suka menanggalkan pakaian moralitas,
menghamili malam dengan ketelanjangan doa.
Kamu lebih suka melawan kuasa:
melahirkan cinta yang tak mengenal perintah.
Waspadalah!
Jika kita berbaring,
ketika gairah mendidih,
dan keringat melukis tubuh kita,
kita harus sadar.
Mungkin ini pemberontakan
dalam wujud terindahnya.
Waspadalah!
Bila tubuhmu menjerit dalam ciuman
dan tangismu berubah menjadi nyanyian,
itu tanda-tanda revolusi.
Jika kita mendengar rintihan
dan melarangnya berbicara,
kebenaran pasti terselip di balik lipatan kulit
yang tak pernah disentuh.
Aturan menekan selangkangan kita,
birahi dipenjarakan dalam kitab undang-undang,
ciuman dicabut dari bibir-bibir liar,
dan mereka memahat patung moralitas
dari orgasme yang tercekik dosa.
Namun, tubuh kita adalah manifesto:
lidah ini pedang,
cinta ini api yang membakar tahta.
Jika sentuhan menjadi revolusi,
maka biarlah peluh kita membasuh wajah para tiran.
Seumpama Adam dan Hawa,
kita berdosa dalam dekapan paling murni.
Seumpama bumi dan langit,
kita adalah ketelanjangan yang melawan surga.
Waspadalah!
Tubuh adalah medan perang yang bebas.
Birahi adalah anarki yang merdeka.
Waspadalah!
Kita adalah hasrat yang memerdekakan,
tubuh yang menolak tunduk,
dan peluk yang akan selalu melawan.
(2024)
–
Manusia Indonesia
Negara akan dilebur dalam tiga jam,
dinding-dinding gemetar seperti tangan pecandu,
katedral kekuasaan mencair jadi perunggu basah,
penguasa selatan berdiri, suaranya seperti lonceng patah:
“Manusia tanpa kedudukan adalah sampah!
Bakar mereka ke dalam nyala—jadikan debu
yang angin tak mau bawa!”
Manusia antre ke peleburan,
wajah-wajah kusam mengelupas seperti kulit ular,
langkah-langkah mereka bergema di ruang penuh suara,
sungai keringat mengalir ke lantai beton,
bau daging hangus dan karat merasuki udara.
Tempat peleburan itu berbicara dengan suara mekanis,
dan ketika ruangan dipenuhi jeritan,
penguasa itu berdiri lagi, tangannya mencengkram udara,
“Lima jam berlalu, dan kalian tetap sama!
Kamu dilebur berkali-kali,
dilahirkan dari rahim api,
tapi tetap tak bisa menjadi manusia.
Kenapa? Apakah nyala ini tak cukup
untuk membakar dosa kalian hingga jadi jiwa?
Kamu gagal, gagal, gagal—
dan aku muak dengan kelahiran ulangmu yang sia-sia!”
Negara akan dilebur,
dan manusia lainnya diusir dari rahim beton ini,
terlempar ke jalanan tanpa bayangan.
Manusia Indonesia saling bertatapan,
mata-mata mereka penuh serpihan kaca,
beberapa dada meledak dalam diam,
kemarahan terbungkus plastik tipis.
“Tolong jangan berisik!”
teriak sang penguasa, mulutnya penuh darah logam.
“Negara harus tenang!
Diam! Bawalah kelaparanmu ke sini,
biarkan kami menyantap kemiskinanmu!
Cepat makan, cepat selesai,
negara ini tidak punya waktu untukmu yang lambat!”
Negara akan dilebur dalam tiga jam,
tapi waktu itu melar,
suara-suara dinding emas mencair,
menjadi anggur murahan,
tumpah ke tenggorokan mereka yang mabuk kekuasaan.
Dan di tengah ruangan, tongkat kendali itu terbakar,
penguasa tertawa,
sementara manusia Indonesia
menyusun wajah mereka kembali dari abu.
(2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA