Lahir di Malang, belajar di Surabaya dan Glasgow. Saat ini bekerja untuk pemerintah di Jakarta.

Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan, Mengapa Negara Diam?

Shafira Yasmine

3 min read

1 Oktober 2022. Hari itu adalah jadwal penerbangan saya kembali ke Jakarta setelah menghabiskan akhir pekan di Malang, kampung halaman saya. Sepanjang perjalanan dari rumah saya menuju Bandara Abdul Rachman Saleh, saya melihat setidaknya 3 rumah dengan bendera kuning yang dikerumuni orang-orang berkaus Arema. Suara sirine ambulans lalu-lalang tak terhitung jumlahnya. Kota ini sedang berduka. 

Satu tahun berlalu, spanduk-spanduk yang menyuarakan pentingnya mengusut kasus Kanjuruhan hingga tuntas masih bertebaran di penjuru kota. Namun, iktikad negara untuk mengusut tuntas kasus Kanjuruhan tidak jelas hingga hari ini. Tragedi Kanjuruhan tidak diusut secara tuntas, cenderung ditutup-tutupi, bahkan diabaikan.

Upaya merawat ingatan tentang Kanjuruhan justru banyak dilakukan aktor non pemerintah. Banyak forum diskusi telah dilakukan kelompok non pemerintah dan akademisi untuk meninjau dampak Tragedi Kanjuruhan dari berbagai dimensi.

Kisah Pak Midun yang bersepeda dari Malang hingga Jakarta mengingatkan kita bahwa korban Tragedi Kanjuruhan belum mendapatkan keadilan. Aksi Pak Midun yang menyinggahi berbagai stadion untuk mengumpulkan suporter berbagai klub dalam perjalanannya merupakan salah satu bentuk aktivisme sipil sebagai upaya memengaruhi kebijakan penyelesaian Tragedi Kanjuruhan. Namun, dengan kewenangan yang rendah, orang-orang seperti Pak Midun hanya dapat bergerak di jalur civic movement yang pengaruhnya lemah dalam penyelesaian tragedi.

Lantas, bagaimana dengan aktor negara yang memiliki kewenangan sebagaimana disebutkan dalam temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan (TGIPF)? Sudahkah mereka menggunakan kuasanya untuk membantu kemajuan pengusutan Tragedi Kanjuruhan? Siapakah yang seharusnya bertanggung jawab memenuhi hak-hak korban?

Baca juga:

Jika merujuk pada Pasal 1 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja sehingga mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Lebih lanjut, Pasal 8 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (P4 HAM) adalah tanggung jawab pemerintah.

Komnas HAM sudah menyatakan bahwa terdapat pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan akibat tata kelola penyelenggaraan pertandingan yang tidak menjalankan, menghormati, maupun memastikan prinsip dan norma keselamatan dan keamanan. Ada tujuh pelanggaran HAM dalam kejadian ini yang meliputi penggunaan kekuatan yang berlebihan, pelanggaran atas hak memperoleh keadilan, pelanggaran hak untuk hidup bagi 135 orang yang tewas akibat penggunaan gas air mata, pelanggaran hak atas kesehatan, pelanggaran terhadap rasa aman, serta bisnis yang mengabaikan hak asasi manusia.

Menurut Komnas HAM, Tragedi Kanjuruhan tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena tidak memenuhi unsur “bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang … ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”. Status ini berimbas pada hak pemulihan yang dapat diterima oleh korban Tragedi Kanjuruhan.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, hanya korban dari pelanggaran HAM berat yang memiliki hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Walaupun TGIPF memberi rekomendasi bagi Polri, TNI, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Sosial, rekomendasi mereka tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, pemenuhan hak korban Tragedi kanjuruhan hanya dijamin oleh pasal yang normatif pada UU HAM bahwa seluruh warga negara memiliki hak atas keadilan dan pemerintah adalah pelaksana P4 HAM. Namun, tidak pernah ada yang benar-benar meminta maaf dan bertanggung jawab atas tragedi yang seharusnya dapat dihindari ini. Lebih lanjut, vonis ringan bagi para pelaku dan renovasi Stadion Kanjuruhan saat proses hukum sepenuhnya selesai menunjukkan rendahnya iktikad negara untuk memastikan terpenuhinya hak atas keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan.

Jika melihat rekam jejak bagaimana negara ini menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, terutama ketika aparat negara terindikasi sebagai pelaku, perkembangan penyelesaian Tragedi Kanjuruhan sebenarnya cukup terprediksi. State negligence atau pengabaian menjadi exit way yang dipilih pemerintah seperti yang terjadi pada berbagai kasus pelanggaran HAM biasa maupun berat sebelumnya.

Untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat (PHB) yang sudah lama berlalu, mulai dari Peristiwa ‘65, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Rumah Geudong dan Pos Sattis 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi 1998-1999, dan berbagai PHB yang sudah puluhan tahun berlalu saja, penyelesaian yang diberikan pemerintah hanya ada pada tataran non yudisial. Sejarah belum pernah mencatat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dengan indikasi keterlibatan aktor negara diselesaikan melalui mekanisme yudisial hingga benar-benar tuntas. Namun, setidaknya, Laporan Umum Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah “mengakui” bahwa pelanggaran HAM berat terjadi karena tindakan aktif aktor negara, tindakan pengabaian aktor negara, dan saling pengaruh antara keduanya.

Dalam kasus Kanjuruhan yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM biasa, polisi menjadi suspect utama yang menciptakan stampede dengan menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Ahli keamanan kerumunan, Alison Hutton, menyatakan bahwa tragedi Kanjuruhan ini sangat dapat dihindari dengan tata kelola kerumunan yang baik tanpa perlu mempersenjatai polisi.

Sayangnya, tragedi ini terjadi ketika rezim kita sedang menunjukkan kecenderungan impunitas bagi aparat keamanan. Kita dapat melihat berbagai justifikasi yang diberikan ketika penembakan gas air mata dilakukan, mulai dari suporter yang merangsek masuk terlebih dahulu dan penembakan gas air mata yang sudah sesuai prosedur. Pada akhirnya, hanya dua orang polisi yang dijatuhi hukuman berupa penjara selama 2 hingga 2,5 tahun, yang tentunya tidak memenuhi rasa keadilan ketika dibandingkan dengan kerugian yang dialami para korban.

Lebih dari itu, untuk tragedi dengan skala sebesar Kanjuruhan, tentu kita mengharapkan adanya pertanggungjawaban aktor di level yang lebih tinggi. Penyelesaiannya tidak sebanding dengan hanya menuntut satu hingga lima orang dengan hukuman pidana ringan ketika yang terjadi adalah pelanggaran HAM pada tataran yang masif. Pertanyaannya, apakah negara ini memiliki mekanisme itu?

Sebuah mekanisme hak asasi manusia yang berhasil tentunya perlu dilandasi sistem yang akuntabel. Persoalan utama terletak pada ketiadaan pendekatan yang konkret tentang bagaimana meminta tanggung jawab negara ketika sebuah kasus pelanggaran HAM terjadi. Ketika kita hanya berbicara pada tataran undang-undang, tidak ada mekanisme turunan yang bisa diakses masyarakat untuk memenuhi hak mereka atas keadilan. Adanya gap antara undang-undang yang mengatur peran pemerintah dalam P4 HAM dan praktik di lapangan menjadi celah yang membuat negara bisa saja memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Toh, menurut Thomas Dye, diamnya pemerintah pun merupakan sebuah kebijakan.

Saya rasa, pemerintah tidak perlu berada di Malang pada tanggal 1 Oktober 2022 untuk melihat duka di Kota Malang. Aparat penegak hukum juga tidak perlu sesulit itu menyalahkan angin ketika memberi vonis bebas bagi tersangka Kanjuruhan. Media telah merangkum kronologi, dampak, dan harapan korban dengan sangat apik. Tugas pemerintah harusnya semudah mengingat kembali mandatnya sebagai penjamin HAM warganya, meskipun pelanggar HAMnya adalah aktor negara juga.

Jangan sampai kita harus menunggu sekian dekade sampai korban Kanjuruhan mendapat pemulihan HAM yang sifatnya seremonial semata seperti yang sudah-sudah.

 

Editor: Emma Amelia

Shafira Yasmine
Shafira Yasmine Lahir di Malang, belajar di Surabaya dan Glasgow. Saat ini bekerja untuk pemerintah di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email