Arsip
kemasyhuran Tuhan
tidak terletak pada ayat-ayat
dan doa-doa tak bersuara
Ia terselip di kancing baju tapol,
di kerut kening dan sekitar bibir
seorang ibu
—yang meringis lemas
menahan arah
ketika putra-putri terbaiknya
terbunuh oleh istilah-istilah
yang isinya sudah tak ada
kapan terakhir kali
sekolah mengajarkan cerita
dengan tanpa kata?
tanpa garis dan huruf
sebelum tersidak rezim sopan santun
dan tata bahasa yang halus?
maka rahasia—sering kali
mengintip ragu
dari balik senyum cuaca
kikuk menyeka keringat
di sekujur tubuh sejarah
: gumpalan arsip yang
bersimbah ambisi, lelaki,
dan juga darah
(Yogya, September 2023)
_
Bumi Para Ibu
ketika ibu adalah bumi
udara hangat menjadi pelukan termanis
lubang lukanya menjadi ladang
tempat bagi mekarnya tunas-tunas kecil
yang punya sejuta nama
riap bencana menjelma ayunan timang
awan dan cuaca membungkuk
memayungi seminya kehidupan baru
pasir-pasir bersinar
melayang tegar di angkasa pun
ikut menyisip terenyuh
ketika melihat burung-burung gereja
khidmat menganyam guguran rumput
dan jerami tanggal
untuk memeluk
para bayi
calon penyanyi alam
(Wonocatur, September 2023)
–
Tak Ada Bapak di Puisiku
rumah pada mulanya
adalah suara
tapak kaki ibu yang
sedang menyapu
debu-debu
di ubin yang dingin
ada ingatan ikut terbawa
sapuannya yang lemas
menyelip bersama beling,
tangkai gelas, dan gedebuk yang redam
di malam hari
ketika tetangga berbisik
dengan sendok dan piring
bertemu suara televisi
rumah pada akhirnya
adalah getar batin
suasana yang hadir
menggeriap lembut
di sudut risau
ketika orang tak punya lagi tempat
untuk mengumpat
hanya, di belantara cerita
ada manusia yang hidup
dalam negara tanpa ibu
rezim bapak kadung mengakar
bukan saja 32 tahun
tapi memanjang lentur
hingga azan magrib petang kemarin
negara tanpa ibu
mendikte anak-anak
bagai kembang bonsai
dikawati simbol-simbol hantu
terpampang di segala penjuru
jika ada penghargaan yang pantas untuknya
buatlah kategori baru
: hadiah Nobel untuk kebodohan berulang
maka tak (perlu) ada bapak di puisiku
sebagaimana tak ada ingatan
masuk dalam radar AMDAL
sebagaimana tak ada manusia, satwa
dan kepedihan
di dalam peta
: hanya lekuk acak yang kadang bergeronjal
—sehingga dengan begitu mudahnya
diobral atau
dimusnahkan
(Yogya, 2023)
_
Manis
tak banyak orang tahu
apalagi mengalami
bahwa senyum termanis di muka bumi
adalah milik para pemurung
senyum mereka lebih ayu
ketimbang kaum peramah
dan yes-man penipu
mereka tersenyum dengan wajah
dan sekujur jiwanya
menggaris sebuah lengkung
yang rekah
dan karib dengan tanah
mesra dengan bumi
seperti kanak-kanak sejati
(Yogya, 2023)
_
Percakapan Benda-Benda
setelah bosan membolak-balik
bundelan sejarah
—yang terbentuk dari darah, keliru, dan ambisi lelaki
aku mengeja suara-suara
selain dari kaumku
alir bunyi itu bersumber dari hal-hal
di mana agama bukanlah sesuatu
dari Pasar Malam atau Jakarta Fair*
sehingga tak ada orang yang mengemis Tuhan
agar mau bermain sulapan
yang membuat manusia
enggan melayani rasa-ingin-tahunya
kujumpai stop-kontak ketumpahan kopi
merk Satu-Satu
berbicara dengan kucing dan kering tempe
kiriman ibu
di ujung meja
sewaktu galon kering dan kanebo berduli
sedang sebeku waktu
mengintimidasi lalat-lalat
yang ingin nemplok menyesap cangkir
berisi laut hitam
tiba kabel sobek menyela percakapan kosmis kecil itu
sambil menggerutu tentang
temannya sesama kabel
yang mekar oleh senar layangan
dan kapstok kawat
yang jadi antena
ingin kupinjam bahasa mereka
karena daya-ucapnya yang tak tepermanai
keheningan mereka
telah menjelma sebuah alat
di mana kebisuan berisi
sejuta kemungkinan
—cara yang mustahil dicapai
bahkan oleh kerinduan
percakapan benda-benda
membekaliku sehimpun jurus
agar menguasai suwung
ala Zhuangzi
: seni untuk menghargai segala
yang tak berguna
(Yogya, 2023)
*****
*Terinspirasi dari metafora M.A.W Brouwer, dalam esainya “Bayi Ajaib” di KOMPAS edisi 9-12-1970
Editor: Moch Aldy MA