“Kurang satu botol…” katanya, sambil memasukkan dan menyusun botol-botol ke dalam karung. “Saya tunggu, tapi cepat ya… sebentar lagi pikapnya datang,” ujar Pak Botol, pedagang botol dari kota yang seminggu sekali datang ke kampung kami, membawa mainan yang bisa ditukar dengan botol kosong.
Kami saling pandang. Ke mana lagi harus mencari botol? Rasanya seluruh sudut kampung, di mana kemungkinan kami menemukan botol sudah kami jelajahi.
“Aha! Coba kita ke rumah Amat Mabuk!” kataku.
Amat Mabuk tinggal di pojok kampung. Rumahnya selalu gelap. Amat Mabuk ini selalu mabuk. Ia dikucilkan orang sekampung. Ia kerja sebagai waker di kontraktor perusahaan minyak. Penjaga malam. Pulang subuh, lalu mabuk dan tidur. Malam hari ia berangkat kerja lagi. Begitulah selalu.
Rumahnya angker karena gelap. Menakutkan karena banyak semak dan bau bangkai hewan mati. Tapi banyak botol di sana. Botol bir.
Aku mengintip dari jendela berkaca nako. Memang banyak botol di ruang tamu rumahnya. Berserak di mana-mana. Kami seperti melihat harta karun.
Kalau kami bisa mengambil semua botol itu, kami bisa menukarnya dengan lima bola plastik, paling sedikit. Ah, itu kami pikirkan nanti saja. Sekarang kami hanya perlu satu botol.
Amin memikirkan bagaimana caranya mengambil salah satu dari botol itu. “Pakai pancing. Nilonnya tak usah panjang. Sejengkal saja. Bikin laso di ujungnya!”
Jenius! Amin selalu jenius.
Mail melesat mencari bambu cina. Ada rumpunnya di batas kebun kakeknya dan kakekku. Amat mabuk biasanya bangun pukul lima petang. Lalu berangkat kerja. Setengah jam lagi.
Unding datang, membawa pesan dari Pak Botol. “Kata Pak Botol cepat, mobil pikap sudah datang. Lima belas menit lagi dia berangkat. Kalau botol belum cukup dia kasih bolanya minggu depan…”
Aduuh! Aku berusaha mencongkel kaca nako. Besi tepi penyangga kacanya memang rapuh. Begitu juga penyangga besi-besinya. Satu kaca dan satu besi jeruji melintang sudah lepas. Tapi siapa yang harus masuk?
Kami mendengar suara dengkur Amat Mabuk. Sore kian gelap. Pohon mangga besar mempersuram suasana di sekitar rumah Amat Mabuk. Suasana itu menguntungkan. Aksi kami terlindungi.
“Kamu masuk, Dil…” kataku pada Aidil. Badannya kecil. Paling kecil di antara kami.
“Tapi? Aku kan…” Ya, ya… aku tahu. Dia lamban. Dia anak paling lamban di antara kami. Tak baik kalau misi penting harus diberikan pada dia.
Aku melihat Ipul. “Saya? Tapi… gimana caranya?”
“Masuk, ambil satu botol. Buka grendel dan kunci pintu depan, keluar pelan-pelan. Beres! “Apa kita tak menunggu Mail saja?” Kuperhitungkan Mail paling cepat akan datang 30 menit lagi. Tak cukup waktu.
“Tak sempat kalau menunggu Mail. Sudah, Ipul masuk.”
“Tapi, aku ikut main ya nanti? Kalau aku tak dimainkan…” Ipul ini memang pemain cadangan abadi. Jarang, mungkin tak pernah, kami turunkan.
“Ya, sudah, main…” kataku. Tiga menit pun sudah main juga namanya. Itu cukup buatnya. Napasnya tak akan kuat.
Ipul sudah masuk setengah badan. Sebelah kakinya sudah nyaris menyentuh lantai. Tiba-tiba terdengar jeritan perempuan dari kamar Amat Mabuk. Jeritan yang asing bagi kami. Seperti kesakitan. Tapi bukan… Ipul kaget. Tak bisa menjaga keseimbangan dan terjatuh ke dalam. Dia panik. Lekas menuju ke pintu, membuka kunci dan gerendel. Ia lupa mengambil botol. Tapi ia sudah berlari jauh.
Misinya gagal!
Tapi bersamaan dengan itu terdengar makian Amat Mabuk. Lalu teriakan perempuan. Kami mencari tempat sembunyi. Tapi masih bertahan di sekitar rumah itu untuk mencari kesempatan untuk mendapatkan satu botol.
Lalu Mail – Si Flash kami – datang dengan dengan joran bambu cina dan nilon yang sudah siap memancing leher botol. Karena tak melihat kami dia berteriak memanggil namaku. Aduh!
Amat Mabuk berteriak dari dalam rumah dengan suara menakutkan dan dengan nada marah. “Siapa itu?”
Mail terkejut ketakukan, dan berusaha bersembunyi juga. Tiba-tiba terdengar bunyi pecahan kaca dihantam sesuatu. Sebuah botol melayang. Diiringi suara makian perempuan.
Aha! Tuhan memang baik. Aku mengambil botol itu. Tapi, mulutnya sedikit pecah karena menghantam batu. Ah, cacat. Pak Botol tak akan mau menerima. Gagal lagi.
Amat Mabuk terdengar membalas makian si perempuan dan sebuah botol lagi menghantam kaca nako. Mail melemparkan joran. Lalu dengan cermat mengawasi arah botol itu. Ia bergerak ke sana. Lalu melompat sebelum botol itu menghantam tanah.
Kami tegang. Bisakah Si Flash dan kiper terbaik kami itu menangkap botol dan menyelamatkan kami?
Hop! Tangah kirinya mengulur ke arah leher botol yang melambung indah. Dapat! Tapi dia mendarat dengan punggung di tanah yang tertancap pecahan kaca nako!
Kami berteriak girang. Mail mengacungkan botol sambil meringis, menahan sakit.
2019-2023
***
Editor: Ghufroni An’ars