Dia memilih Raden DM sebagai nama penanya. Dengan bantuan ayahnya, profesor ilmu kesehatan (patologi dan epidemologi) terkemuka yang sepanjang hidupnya menulis banyak jurnal ilmiah dan sering bepergian — apalagi di masa pandemi seperti sekarang, Raden DM yang bernama asli Darwin Mukidin Bambang Purnomo itu menerbitkan enam novel dan sebuah buku puisi secara independen, dan semuanya — tanpa terkecuali — tidak laku.
Kadang, dia meminjam uang adiknya juga, seorang dokter yang gemar berolahraga. Tentu, dia pernah mengirim karya kepada penerbit besar, tapi ditolak, sebab dia samasekali tidak melampirkan sinopsis di dalam naskahnya. Di mata penerbit, sinopsis — semakin singkat semakin baik — lebih penting daripada naskah itu sendiri. Novel haruslah perumitan dari yang sederhana — sesuatu yang mestinya bisa diselesaikan dalam satu kalimat, tapi dikembangkan jadi 300 halaman.
Raden DM berambisi membuat buku tak terhingga yang setiap babnya bercecabang, dan setiap cabang adalah benar sekalipun tidak berhubungan. Terkadang bab satu berasal dari cabang yang satu, dan bab dua berasal dari cabang yang lain, dan bab tiga samasekali berbeda dari bab-bab sebelum atau sesudahnya. Para pembaca yang nekat membacanya — dan bersabar hingga selesai — menyatakan dengan tegas bahwa karyanya hanya kumpulan coretan kasar yang tidak beraturan dan kacau dan mendekati kegilaan — atau melampaui itu semua, tidak masuk akal. Adakalanya dia membunuh tokohnya di bab tiga, lalu pada bab empat dia hidup — maksud saya, bukan “hidup kembali” atau “dihidupkan kembali”, melainkan “hidup” seolah tidak pernah mati dan tokoh-tokoh lainnya tidak sekali pun heran dengan anomali itu. Kemudian, di bab lima, tokoh yang mati sekaligus hidup itu berganti kelamin, atau pekerjaan, atau tempat tinggal, atau status sosial, atau bahkan menjadi tidak pernah ada, samasekali tidak ada di seluruh jagat dalam bab tersebut, lalu kembali ada di bab selanjutnya. Meski begitu, anehnya, novelnya mempunyai kronologis yang runut dan jelas. Alurnya linear. Bahwa setelah Senin pasti Selasa, setelah pagi pasti siang, setelah siang pasti petang, setelah petang akan datang malam, setelah Januari pasti Februari, dan setelah 1984 akan datang 1985.
Bukan hanya ceritanya yang membuat orang-orang kebingungan setengah mati, cara berceritanya juga. Kalimatnya panjang-panjang. Sangat panjang. Jika ditulis dalam satu garis lurus dengan teks ukuran standar, panjangnya bisa mencapai empat atau lima meter. Kau akan sangat merindukan titik ketika membaca buku-bukunya yang tebalnya antara 500-700 halaman itu. Dan, setelah penderitaan tidak terkira sepanjang 750 halaman — atau setelah tenggelam dalam penggambaran bagaimana tokohnya berguling ke sana kemari di tempat tidur sepanjang lima puluh halaman — kau tidak dapat menemukan petunjuk apa pun mengenai maksud semua itu. Meski demikian, Raden DM tidak pernah berhenti bereksperimen.
Pada buku kelimanya, terinspirasi Gao Xingjian, dia menulis novel setebal hampir seribu halaman tanpa alur dan tokoh. Lalu pada novel keenam, dia meniru William Faulkner yang menulis tanpa tanda baca. Dan tampaknya saya tidak perlu mengatakan apa-apa tentang kegandrungannya terhadap adikarya Marcel Proust, In Search of Lost Time.
Buku puisinya juga sama anehnya. Judulnya Sebuah Dunia Tanpa Kata Benda. Seperti judulnya, dalam buku itu, dia mengganti semua kata benda dengan kata kerja. Contohnya:
sebuah perahu terjebak sendirian
di tengah laut yang diterangi rembulan
digubahnya menjadi,
yang mengambang menunggal
di tengah yang pasang dan surut
naik di belakangnya nampaklah membulan
Untuk mengubah kata benda jadi kata kerja, adakalanya dia hanya memberi imbuhan kata kerja aktif, seperti “membulan” untuk kata “bulan”.
Buku puisinya tidak terlalu sulit dipahami sebab sejak lama dimaklumi, penyair punya kecenderungan untuk mendandani kata tanpa memedulikan yang terpenting — yakni esensi dari puisi itu sendiri. Banyak penyair yang sengaja dan penuh kesadaran memenjarakan diri di perangkap ungkapan, sebab mereka yakin, semakin sulit diksi yang dipilih, semakin besarlah nilainya di kalangan kritikus, dan semakin besar pulalah namanya akan menjadi. Ungkapkanlah hal sederhana, lalu tambahkan istilah rumit biologi, maka viola! — terciptalah sebuah sajak magnum opus. Puisi harus tak terpahami, harus serba samar-samar, harus elitis, harus penuh pengandaian bagaikan seperti umpama seandainya agar otak kesulitan membayangkan dua atau tiga hal sekaligus, sehingga makna yang seharusnya jelas jadi penuh kabut merabunkan pandangan.
Namun, tentu saja Raden DM punya alasan — yang sungguh sangat mendasar — kenapa dia menulis seperti itu (maksud saya, menulis tanpa kata benda). Dia meyakini dengan ketegasan yang memprihatinkan (sebab dalam hal lain, dia selalu penuh keraguan) bahwa kata benda, pada dasarnya, adalah metafora. Dan metafora, jika tidak mengacaukannya, hanya menyamarkan makna.
Metafora adalah telunjuk, bukan bulan. Begitulah yang tertulis di halaman depan buku puisi Dunia Tanpa Kata Benda — yang secara ironis mengandung kata benda pada judulnya. Untuk memahami korelasi antara telunjuk dan bulan, tersebutlah sebuah cerita klasik.
Pada suatu ketika, seorang murid datang kepada gurunya dengan membawa kitab berisi ajaran.
“Guru, aku tidak paham maksud bagian ini.”
“Bacakanlah, mana yang Anak tidak paham.”
“Bagian ini, Guru.”
“Bacakanlah, Nak. Gurumu ini tak bisa baca-tulis.”
“Hah? Guru tak bisa? Kalau begitu, selama ini aku berguru kepada orang bodoh! Sia-sialah upayaku!”
“Muridku, tenanglah. Kau tahu apa ini?” Sang Guru mengangkat telunjuknya.
“Itu jari telunjuk, Guru.”
Lalu dengan jarinya, Sang Guru menunjuk rembulan. “Kalau itu apa?”
“Itu adalah rembulan.”
“Kalau aku tidak menunjuknya dengan jariku, dapatkah kau melihat rembulan itu?”
Sang Murid terpana.
“Telunjuk, Anak, adalah seluruh kitab dan ajaran di dunia. Rembulan adalah kebenaran. Anakku, aku sudah bisa melihat rembulan tanpa jari telunjuk, bagaimana denganmu?”
Sepanjang hidup, Raden DM menyimpan hasrat mendalam terhadap sahabat masa kecilnya, putri dari pembantu di rumahnya, yang secara ironis bernama sama dengan perempuan pertama di dunia, Hawa. Rasa cintanya terhadap Hawa begitu menyakitkan, sebab dia menganggapnya sebagai kesalahan (dia merasa dirinya tidak pantas dicintai atau mencintai), dan itu dituangkannya dalam novel-novelnya yang panjang — buah karya yang dipetik dari malam-malam insomnia yang hampa. Paru-paru Raden DM begitu lemah dan itu membuatnya lebih sering menghabiskan hari di ranjang daripada beraktivitas di luar. Namun, bahkan selama hari-hari sakitnya, Raden DM tetap menyempatkan diri berjalan tertatih ke meja tulis, dan mencicil novelnya setiap hari, pada jam yang sama. Dan dengan kesetiakawanan yang — perlukah dikatakan? — penuh kesabaran, nyaris mendekati kehambaan, Hawa selalu ada untuknya. Raden mengoreksi novelnya berkali-kali — dan salah satu yang tertebal dikoreksinya hingga, semoga saya tidak salah ingat, 120 kali. Dan dia selalu meminta bantuan Hawa untuk menulisnya kembali — untuk kemudian dikoreksi lagi dan lagi dan lagi. Raden senantiasa jeli menimbang kata yang akan digunakannya. Dan dia hanya percaya kepada Hawa untuk menjadi pembaca pertamanya. Raden bahkan mengizinkan Hawa mengemukakan pendapat terhadap apa yang ditulisnya.
Pada suatu ketika, pada malam yang panas dan lembap, pada akhir Juli, Hawa yang selama berjam-jam menyalin novel Raden, mendapati majikannya gelisah dalam tidur. Dia menghentikan pekerjaannya sebentar, lalu menengok kondisi Raden. Awalnya, dia hanya ingin mengelap keringat di kening lelaki itu. Namun, perasaan kasih sayang yang lembut membasahi kemaluannya. Dan tanpa disadari, Hawa telah menciumnya. Saat merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya, Raden membuka mata. Dia mendapati wajah Hawa yang cantik, dengan tahilalat kecil di bagian kanan hidungnya, sangat dekat dengan wajahnya. Dia bahkan bisa mencium napas Hawa yang berbau Listerine. Raden membalas ciuman Hawa dengan menjulurkan lidahnya, pelan-pelan, takut-takut, dan penuh nafsu-nafsi. Hawa menyambutnya.
Di luar jendela, hujan tiba-tiba menderas tanpa didahului gerimis. Lidah mereka bertaut ganas, bertukar tangkap dengan lepas. Tangan Raden meraba kaus Hawa dan memburu apa yang ada di balik bra. Dia memainkan puting Hawa yang sudah mengencang, lalu mengisapnya lembut. Ketika lidah Raden meraih bagian bawah perutnya, Hawa merintih dan menggelinjang. Dua tangannya memegang bagian bawah ranjang dan pinggulnya menantang. Tanpa ragu, Raden menghunjamkan dirinya dalam-dalam ke dalam diri Hawa. Mereka pun bersatu mengejar orgasme. Setengah jam kemudian, Raden memuntahkan spermanya banyak-banyak di dalam liang senggama Hawa — empat, lima, enam, tujuh — lalu menjatuhkan diri di atas payudaranya yang mengendur.
Keesokan harinya, Darwin membakar semua bukunya yang tertimbun nelangsa di sudut kamar, termasuk manuskrip novel ketujuhnya yang seharusnya selesai sebentar lagi, beserta ratusan revisinya sekalian. Dia mulai menulis roman picisan yang halamannya tidak lebih dari 250 dan mengganti nama penanya jadi Yeli Rete. Dia mengirimkan naskahnya kepada penerbit besar berinisial G dan, karena mudah saja menulis sinopsisnya — sebab roman-romannya bisa disingkat jadi 100 kata saja — naskahnya berhasil tembus. Buku-bukunya laku keras dan menjadi best seller nasional. Dalam setahun, dia bisa merilis lima atau enam novel sekaligus. Bahkan seri fantasinya yang berjudul Terra, dan dilanjut Luna, kemudian Apollo — yang kini sudah mencapai jilid kelima belas — ditanggapi positif oleh pembaca dan menjadi perbincangan hangat di komunitas literasi Twitter yang beranggotakan sastrawan-sastrawati papan atas dan pembaca kritis yang mempunyai standar baca yang luar biasa tinggi. Jika sudah dipuji — bahkan dijadikan kanon — oleh basis literasi tersebut, sudah dapat dipastikan, karya Yeli Rete memang layak diapresiasi.
Yeli Rete, tak dapat dipungkiri, telah berkembang dari penulis tanpa nama menjadi salah satu penulis tersukses di dunia. Dia bahkan mendaftarkan seluruh kalimat pada novel-novelnya yang berpotensi dikutip ke HAKI. Jadi, siapa pun yang menge-quote novelnya, harus membayar copyright, dan itu menambah besar kekayaannya sehingga dia bisa membeli tanah seluas 500 meter persegi di Yogyakarta hanya dengan royalti satu quote saja. Ayahnya tentu saja puas melihat kesuksesan anak sulungnya dan terus membanggakannya di depan kolega-koleganya yang sesama dokter.
“Siapa sangka, ternyata bukan hanya ilmu kedokteran yang bisa menyelamatkan nyawa. Anakku, Darwin, Darwin yang penulis itu, bisa berbuat banyak dengan bukunya sama seperti yang kita lakukan bagi mereka yang sakit.” Kelak, puja-puji itu direvisi menjadi, “siapa sangka, ternyata bukan hanya dokter yang bisa hidup makmur. Anakku, Darwin, Darwin yang penulis itu, bisa mendapat banyak dengan bukunya sama seperti yang kita dapatkan dari mereka yang sakit.”
Satu-satunya yang tidak bahagia terhadap perubahan Darwin — yang kini bernama pena Yeli Rete — adalah orang yang justru paling diharapkan kebahagiaannya: Hawa. Hawa, bagaimanapun, adalah pembaca Raden DM yang paling setia, dan novel-novelnya yang sarat eksperimen itu meluluhkan hatinya. Dia menyukai labirin yang dibangun Raden, yang sering kali tanpa pintu, kelokan, atau bahkan dinding. Baginya, novel-novel Raden adalah gurun pasir mahabesar yang hanya berisi misteri, dan—oleh sebab itu—kudus dan—oleh sebab itu—indah. Hawa selalu berusaha untuk tersesat di dalamnya, bahkan—kalau bisa—mati kehausan di dalamnya sekalian. Baginya, misteri yang terpahami justru jadi kurang mengesankan dibandingkan misteri itu sendiri. Namun, dewasa ini, Darwin hanya menulis buku yang isinya terlalu terang benderang, yang tidak menyisakan misteri sedikit pun, yang dapat kautebak keseluruhan isinya tanpa ragu sejak halaman pertama. Tidak, Raden DM sudah mati, dibunuh seorang pria berwajah buruk bernama Yeli Rete yang kini mengelus perut buncitnya dengan perasaan yang terlalu puas diri. Kau harus membalaskan dendam Raden, Hawa. Kau harus membunuh Yeli Rete. Ambil pisau ikan itu, lalu tancapkan tepat ke jantungnya, kemudian putar gagangnya agar jantungnya sekalian remuk berantakan. Dia telah membunuh Raden DM — membunuh pria yang kaucintai sepenuh hati, pria yang rela kauikuti ke mana pun pergi. Akulah yang rela terjaga sepanjang malam tanpa lelap demi menyalin novel-novelmu. Ya benar tiada lain kecuali kau. KAU. Akulah yang menghabiskan hari-hari dengan menulis ulang revisimu yang ratusan itu ya benar kaulah itu, dan semua itu aku lakukan dengan rela. Ya benar itu. Dan semuanya itu — semua jerih payahmu selama empat belas tahun — dibakar Yeli Rete tanpa belas kasihan. Ya kau benar kau benar. Aku masih menangisimu sepanjang malam, merindukanmu sepanjang hari, dan mencintaimu sepanjang hidup. Ya ya ya lain tidak. Yeli Rete harus mati. Ya dia harus.
Dia tidak pantas hidup. Ya dia tidak pantas.
Tidak pantas. Ya kau benar, kau selalu benar, selalu.
Itu keinginanmu juga bukan, Radenku sayang? Kau pasti cemburu melihatku tidur dengannya, melihat penisnya memasuki vaginaku, dan memuntahkan spermanya di rahimku, tapi ini aku lakukan untukmu, Sayang. Sudah lama aku ingin membalaskan dendammu. Radenku, oh Radenku. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Dan malam inilah saatnya. Malam inilah. Tidak ada malam lain atau kehidupan lain, atau bahkan cabang lain. Tidak ada. Ya tidak ada.
Ya
tidak ada
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
tidakadatidakadatidakadatidakada
takadatakadatakadatakadatak!
Jleb!
“Sayang!” Kau terjaga dari lelap dengan mata membelalak. Kau mendapati dadamu telah sesak oleh darah. Terlambat. Pisau itu sudah menancap terlalu dalam di jantungmu. Tapi kau menikmatinya, apalagi ketika Hawa yang manis memutar gagangnya seolah memutar kelaminmu yang kini sekeras kayu. Kaurasakan darahmu terkoyak, tubuhmu hancur, dan jiwamu terenggut. Tapi, — ah, ah, ah, tidak pernah aku merasakan sesuatu seenak ini sebelumnya! — dan kau orgasme berkali-kali, berpuluh kali, seolah hendak mengeluarkan semua persediaan sperma dari kantung zakarmu. Sebelum mati, hal terakhir yang kaulihat adalah tahilalat di hidung kekasihmu. Hawa tersenyum puas memandang matamu — dapat kaulihat bara rindu di situ. Dia memelukmu dan kaurasakan payudaranya yang telanjang menyentuh dadamu. Kau tegang lagi.
“Aku—aku berhasil membunuh Yeli Rete dan membawamu pulang, Raden! Radenku!”
“Ya, kau benar, kau benar. Ah, kau benar, cantikku. Kau cantik sekali malam ini.”
Dan begitulah akhir riwayat Raden DM.
Kamis, 1 Desember 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars