Peraih Nobel Perdamaian 1996, José Manuel Ramos Horta, mencalonkan dua organisasi muslim terbesar Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian tahun 2022.
Alasan pencalonan dua organisasi Muslim ini, karena memiliki kiprah yang luar biasa dalam aspek pendidikan, kesehatan, toleransi, perlindungan minoritas dan terus menjaga serta mempertahankan perdamaian di Indonesia dan dunia.
Editorial: Nobel for Indonesia
José Ramos Horta telah sukses mencalonkan beberapa kandidat peraih Nobel Perdamaian, diantaranya Muhammad Yunus, pakar ekonomi dan pendiri Bank Grameen dari Bangladesh (2006), mantan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung (2000), termasuk Presiden Amerika Serikat ke-39 James Earl Carter, Jr (Jimmy Carter) yang terus menerus dicalonkan selama 20 tahun, tetapi gagal. Baru ketika dicalonkan José Ramos Horta, Jimmy Carter sukses mendapatkan Nobel Perdamaian pada 2002. Horta juga sukses mencalonkan Uni Eropa (UE) pada tahun 2012.
Berikut wawancara eksklusif Capriano Colo dari Hatutan.com (Hc) dengan José Ramos Horta (JRH), pekan lalu, di ruang kerjanya yang sekaligus juga sebagai museum José Ramos Horta, Faról, Díli. Wawancara ini diterbitkan ulang oleh Omong-Omong Media atas izin Jose Ramos Horta.
Hc: Mengapa anda mencalonkan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk Nobel Perdamaian?
JRH: Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, tetapi sekaligus negara moderat. Situasi yang terjadi di dunia, peperangan di Irak, Afghanistan, masalah kekerasan dan hak asasi manusia di Palestina, menyebabkan radikalisme bertambah di dunia. Demikian pun juga di Indonesia seperti kejadian Bom Bali, Bom Jakarta. Ketika itu terjadi, banyak orang menyangka, Indonesia juga sudah terjerumus dalam radikalisme muslim. Tapi ternyata kasus bom Bali dan Jakarta, bisa dikategorikan sporadis, tidak sistematis dan tidak meluas. Itu terjadi, karena karakter masyarakat muslim Indonesia yang moderat yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Hc: Radikalisme di Indonesia hanya sporadis?
JRH: Ya, sporadis karena selain karena masyarakat Indonesia yang moderat, juga kepolisian Indonesia memang bekerja dengan baik. Mereka bisa mengidentifikasai dengan cepat dan membongkar jaringan para pelaku. Kedua, peranan media di Indonesia memang juga sangat signifikan. Mereka memiliki lebih dari seratus stasiun televisi. Majalah dan radio, lebih dari 30 ribu. Belum lagi kita bicara soal media sosial. Jadi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang juga melek informasi. Mereka tau dan mengerti informasi tentang masyarakatnya juga tentang dunia.
Masyarakat Indonesia tau berbagai macam masalah yang dilakukan oleh para estremis di Syria, Irak dan di beberapa negara di Eropa. Karena masyarakat Indonesia melek informasi, mereka menjadi toleran dan tidak fanatik. Sampai sekarang, Indonesia tetap menjadi negara maioritas muslim yang toleran.
Hc: Mengapa Anda sangat positif tentang Indonesia dan terus berkampanye soal perdamaian?
JRH: Dalam beberapa aktivitas internasional, hampir setiap hari saya adakan pertemuan melalui zoom dengan berbagai kalangan dari belahan dunia. Konferensi paling akhir, saya adakan minggu lalu bersama sejumlah peserta dari 106 negara. Ada sekitar 10 ribu orang lebih berpartisipasi, saya sebagai pembicara utama, dan ada juga beberapa peraih Nobel Perdamaian yang menghadiri pertemuan zoom ini.
Saya berbicara mengenai Timor-Leste sebagai contoh sukses rekonsiliasi, walaupun belum sukses dalam bidang ekonomi. Tetapi dalam bidang politik, toleransi, etnik, agama, selama sepuluh tahun ini, tidak pernah ada kekerasan politik. Selama lebih dari 10 tahun, zero kekerasan polítik.
Hc: Bagaimana awal mulanya muncul ide Nobel Perdamaian buat NU dan Muhammadiyah?
JRH: Tiga tahun lalu, saya berbicara terbuka kepada ahli hukum hak asasi manusia, aktivis Indonesia sekaligus diplomat, Todung Mulya Lubis, yang berkunjung ke Díli. Kami berbicara mengenai NU dan Muhammadiyah. Dari sanalah saya mendapatkan informasi yang lebih lengkap guna mencalonkan NU dan Muhammadiyah untuk nobel perdamian. Dua organisasi ini, layak dan berhak mendapatkan Nobel Perdamaian.
Sejak lama, saya sudah memikirkan ini, tetapi saya belum mengambil inisiatif karena belum ada data pendukung yang memadai. Untuk mencalonkan seseorang atau sebuah lembaga mendapatkan Nobel Perdamaian, harus betul-betul didukung dengan data yang kuat.
Jauh sebelumnya, beberapa tahun lalu, usulan saya untuk hadiah nobel perdamaian ini, cukup sukses. Muhammad Yunus, pakar ekonomi dan pendiri Bank Grameen dari Bangladesh (2006). Saya juga yang mencalonkan mantan President Korea Selatan Kim Dae-jung (2000). Demikian pun dengan James Earl Carter, Jr (Jimmy Carter), Presiden Amerika Serikat ke-39. Selama 20 tahun, banyak orang mencalonkannya, tapi tidak berhasil. Suatu kali, salah satu anggota dari Komite Nobel di Oslo menghubungi saya, “mengapa anda tidak mencalonkan Jimmy Carter?” Saya pun melakukan pencalonannya, sukses. Ia mendapatkan Nobel Perdamaian pada tahun 2002.
Hc: Sepertinya Anda selalu berhasil mencalonkan pemenang Nobel Perdamaian. Apa rahasianya?
JRH: Harus diakui memang tidak mudah, juga harus hati-hati. Seperti yang saya lakukan untuk Uni Eropa (UE) pada tahun 2012. Sangat sukses. Ini datang dari ide saya, tidak ada orang lain. Ketika Uni Eropa dapat Nobel Perdamaian , banyak orang terkejut.
Memang bisa dikatakan hampir semua kandidat saya untuk Nobel Perdamaian, selalu menang. Contoh seperti, mantan Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung. Bertahun-tahun sebelumnya, ada beberapa orang yang sudah mencalonkannya, tetapi tidak berhasil. Saya mencobanya. Suatu waktu, saya duduk di sebuah ruangan di sebuah hotel di Seoul bersama penasehat utamanya, Kim Dae-jung, Professor Ha Jun Kim, sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi untuk Hubungan Internasional, Parlemen Korea. Dia membriefing dan menyerahkan dokumen pendukung. Berdasarkan itu, saya tulis untuk Komite Nobel. Berhasil.
Kini, saya coba hal yang sama. Melalui duta besar sekaligus aktivis hak azasi manusia, Todung Mulya Lubis, saya banyak mendapatkan informasi pendukung untuk pencalonan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. Dalam suatu konferensi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia, tahun 2019, di mana hadir para pemimpin dari NU dan Muhammadiyah, duta besar Indonesia untuk Timor Leste yang mendampingi saya, saya berbicara secara umum saja. Tidak menyinggung secara spesifik untuk mencalonkan dua organisasi ini. Karena ada aturan espesifik dari Komite Nobel, yang tidak mendorong para pengusul kandidat Nobel Perdamaian untuk berbicara mengenai kandidatnya.
Hc: Mengapa anda tidak mengumumkannya secara terbuka?
JRH: Karena itu sudah dikategorikan lobi. Saya sudah berbicara banyak kali, tidak perlu melibatkan banyak tandatangan dari orang-orang yang mencalonkan kandidat pemenang Nobel Perdamaian. Beberapa tahun lalu, saya membaca di majalah, ada seorang misionaris dari negara Swiss, dia pergi ke Oslo membawa satu petisi dengan sejuta tandatangan untuk mendukung seorang uskup dari wilayah Chiapas, Meksiko, guna mendapatkan Nobel Perdamaian. Chiapas wilayah yang sedang dalam konflik besar. Untuk lobi seperti ini, saya bilang lupakan saja.
Komite Nobel tidak berfungsi seperti itu. Kalau berfungsi dengan basis petisi publik, maka Komite Nobel akan kehilangan independensinya. Karena mereka tidak menginginkan tekanan. Meskipun demikian, mereka yang mendapatkan pencalonan, entah baru sekali atau sudah berkali-kali, tiga atau sepuluh kali, banyak yang menelpon saya guna mendukung pencalonannya…
Hc: Pengalaman anda sendiri ketika dapat Nobel Perdamaian bersama uskup Belo…
JRH: Saya juga dulu tidak pernah bermimpi dicalonkan sebagai pemenang Nobel Perdamaian. Sering sekali saya pergi ke Oslo, tetapi tidak berpikir untuk diri saya. Saya memang berangan-angan, kalau Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB bisa mendapatkannya. Tetapi, akhirnya saya juga mendapatkannya.
Suatu ketika saya berkunjung ke Oslo. Saya menginap di sebuah hotel sederhana, tapi tetap saja mahal. Saya ingin mengunjungi Uskup Dr. Gunnar Stalsett. Ia seorang pemikir hebat, filsuf, rektor salah satu universitas di Oslo. Ia juga salah seorang penting di Komite Nobel, sudah 30 tahun sebagai anggota Komite Nobel.
Ia menemui saya di hotel saya yang sederhana itu. Saya bertemu dengan dia dalam kapasitas sebagai seorang umat menemui uskup. Kami berbicara mengenai banyak hal, juga tentang Nobel Perdamaian. Saya hanya bercerita tentang gereja di Timor-Leste. Tidak menyinggung sama sekali tentang Uskup Belo. Karena saya khawatir, dia akan mencurigai saya sedang melobi Nobel Perdamian untuk Uskup Belo. Akhirnya, dia sendiri yang bertanya mengenai Uskup Belo dan situasi Gereja Timor Leste pada waktu itu.
Dari situ, baru saya menyebut nama Uskup Belo. Tentu saja, ini membuat saya sangat gembira, karena bisa menyampaikan informasi lebih detil tentang uskup Belo. Dalam dunia diplomasi, harus hati-hati dalam berbicara. Tapi pengalaman tersebut membuat saya lebih memahami bagaimana proses pencalonan kandidat peraih Nobel Perdamaian.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya optimis, NU dan Muhammadiyah dalam konteks ke-Indonesia-an, sangat pantas dan layak, untuk mendapatkan Nobel Perdamaian ini.
Hc: Bisa dirinci lebih detail, faktor apa saja yang membuat dua organisasi Islam terbesar ini pantas mendapatkan Nobel Perdamaian?
JRH: Salah satu faktor penentu, harus dipahami konteks Indonesia. Walaupun pada masa Presiden Soeharto ada kekerasan hak asasi manusia, banyak orang meninggal karena kekerasan, tetapi Indonesia selalu aktif untuk menyelesaikan kasus Timor Leste yang diduduki pada tahun 1975. Jadi, Timor-Leste, satu-satunya masalah internasionál yang ada pada saat itu.
Walaupun pada masa Presiden Soekarno juga ada masalah dengan Malaysia, juga berkontribusi mencemarkan nama baik Indonesia di mata dunia, begitupun juga dengan Timor-Leste, tetapi mereka juga tetap konsisten untuk menampilkan kapasitas mereka mencari solusi yang bisa menyelesaikan msalah Timor-Leste.
Penyelesaian masalah Timor-Leste adalah langkah awal dalam proses pendemokratisasian di Indonesia. Saya melihat itu, begitu pun Kay Rala Xanana Gusmão melihat hal ini, bahwa, kita juga perlu untuk membantu Indonesia, dalam transisi demokrasi, yang tidak gampang, sangat sulit.
Selama masa kediktatoran yang berlangsung dalam waktu lama, tiba-tiba berubah ke demokrasi. Demokrasi tidak dideklarasikan seketika dan seketika itu juga, demokrasinya langsung diimplementasikan. Ini harus dibuat, tetapi, budaya demokrasi terkait dengan banyak kepentingan, kepentingan kelompok, kepentingan ekonomi, terlebih militer yang terbiasa memegang kekuasaan, seperti terjadi di banyak negara seperti Cina, sehingga untuk berubah harus secara pelan dan bertahap.
Banyak negara, juga LSM seperti Amnesti Internasional, LSM dari Timor Leste, melakukan tekanan kepada kami sebagai pemimpin Timor Leste untuk mendirikan Pengadilan Internasional. Tapi, Xanana Gusmão dan saya sendiri menolak. Seperti yang saya katakan di Parlemen Nasional, saya katakan kepada para wakil rakyat, bila kalian ingin mendirikan Pangadilan Internasional, saya tidak akan melobi untuk itu.
Hc: Mengapa tidak perlu mendirikan Pengadilan Internasional untuk kasus “Bumi Hangus” Timor Leste pada tahun 1999?
JRH: Ini alasan utamanya, Timor Leste harus menunjukan rasa tanggung jawabnya, rasa pemahaman kepada negara tetangga Indonesia, yang baru saja mengangkat kakinya dari Timor-Leste. Indonesia menunjukkan rasa tanggungjawabya, meskipun sakit, menerima hasil referendum, dan kita harus memahami situasi mereka.
Kita harus memahami transisi demokrasi di Indonesia yang tidak gampang, seperti juga kita, tidak gampang menuju demokrasi. Bila kita mendirikan Pengadilan Internasional, ini akan membawa komplesitas buat hubungan dengan Indonesia dan bisa lebih memprovokasi instabilitas Indonesia.
Xanana Gusmão, mendapatkan otoritasnya selama perjuangan, 17 tahun sebagai gerilyawan dan delapan tahun di dalam penjara…… Dia juga melewati semua sekolah seperti Seminari Dare, Liceu, “sekolah perjuangan” sebagai gerilyawan di dalam hutan, “sekolah” di penjara Cipinang, Jakarta. Dengan karismanya, dia memang sangat mengagumi masyarakat Indonesia.
Di dalam penjara Cipinang, Xanana belajar untuk mencintai dan lebih mengenal masyarakat Indonesia. Dia yang mempertahankan prinsip ini, pertama adalah rekonsiliasi antara sesama orang Timor-Leste, karena kekerasan dan pembunuhan di Timor-Leste. Kekerasan di Timor-Leste, bukan hanya semata dilakukan oleh TNI, tapi juga oleh sesama orang Timor-Leste sendiri.
Sejak perang sipil pada tahun 1975, kemudiaan terjadi krisis besar dalam Fretilin, banyak Komandan dengan masyarakat yang tewas di tangan Fretilin. Ini adalah realitas sejarah, karena di dunia juga banyak kejadian terjadi dalam pergerakan, partai dan sebagainya.
Oleh karena itu, Xanana ingin membuat rekonsiliasi antar sesama orang Timor-Leste juga rekonsiliasi dengan Indonesia. Ini yang saya lihat dalam konteks peranan Indonesia. Indonesia sangat menunjukkan kearifannya.
Pertama, walaupun mereka angkat kaki dari Timor-Leste dengan rasa sakit hati, tetapi mereka tidak pernah melupakan Timor-Leste, apalagi membuat provokasi instabilitas di daerah perbatasan. Ini menunjukkan, masyarakat yang berhati baik, rasa tanggungjawabnya yang tinggi. Salain itu, mereka melakukan perubahan untuk membantu Timor Leste.
Mulai dari masa jabatannya Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid “Gusdur”, dia sendiri yang menulis surat kepada semua universitas di Indonesia, untuk bisa menerima anak-anak dari Timor Leste yang ingin melanjutkan studi di Indonesia agar bisa membayar uang sekolah sama dengan anak-anak dari Indonesia dan tidak mengikuti standar internasional.
Dalam konteks ini, saya melihat bahwa sejak dulu hingga sekarang ke depan, peranan organisasi NU dan Muhammadiyah penting sekali.
Karena itu, penting sekali untuk mendapatkan penghargaan melalui jalan internasional. Dua organisasi ini memiliki anggota lebih dari 100 juta orang. Mereka memiliki rumah sakit, universitas, aktivitas pembangunan, aktivitas kemanusiaan, banyak aktivitas sosial. Mereka mengirimkan tim dan anggota anggotanya membawa bantuan kemanusiaan untuk membantu para korban bencana alam yang terjadi dimana-mana.
Tahun 2050 ke depan, Indonesia, diperkirakan akan memiliki populasi yang bisa mencapai empat ratus juta jiwa. Mereka juga akan menjadi kekuatan ekonomi ketiga di dunia. Tanggungjawab Indonesia untuk keamanan regional, terlebih sebagai pemimpin negara-negara ASEAN, sangat estrategis. Tapi Indonesia sebagai negara besar, maka mereka sangat bijaksana. Mereka tidak ingin terlihat sebagai negara besar yang mendominasi negara-negara anggota ASEAN yang lebih kecil. Dengan ini, Indonesia sebagai negara yang stabil dan selalu yang terbaik untuk Timor-Leste.
Dalam kerangka ini, Timor Leste juga selalu ingin menciptakan hubungan baik dan berimbang dengan semua negara. Mulai dari China, Amerika, Jepang, Korea Selatan, Kuba dan juga negara-negara lainnya.
Hc: Apa Syarat utama untuk mendapatkan Nobel Perdamaian?
JRH: Syarat nomor satu yang sangat diperlukan itu, menurut Alfred Nobel, yakni bagaimana seseorang atau sebuah institusi berkontribusi dalam mempertahankan perdamaian dalam sebuah negara, atau memperjuangan perdamaian di suatu negara atau bahkan untuk dunia. Ini adalah kriteria umum.
Setiap tahun, ratusan orang mengirimkan pencalonan. Komite Nobel ini terdiri dari lima orang juri yang berasal dari Norwegia, dipilih dari parlemen Norwegia. Setiap anggota Komite harus betul-betul berimbang secara ideologi polítik dan kepartaian. Mereka memiliki mentalitas independen sangat tinggi. Saya mengenal baik negara Norwegia, mereka sebagai masyarakat yang sangat independen. Komite Nobel tidak pernah mengijinkan pemerintahannya untuk mengajukan sebuah proposal, apalagi untuk memberi tekanan guna mendukung seorang kandidat. Ini sama sekali tidak dapat diterima.
Secara pribadi, saya percaya NU dan Muhammadiyah layak dan berhak untuk mendapatkan Nobel Perdamaian ini. Karena contoh baik yang mereka tunjukkan, terlebih negara besar seperti Indonesia yang terdiri dari berbagai macam etnik, bahasa, tetapi kesuksesan besar dalam proses unifikasi melalui Bahasa Indonesia. Karena itulah saya mengangggap Indonesia itu sangat spesial.
Hc: Anda sendiri sebagai pengusung tunggal NU dan Muhammadiyah untuk Nobel Perdamaian ?
JHR: Baik, saya sendiri tidak tahu kalau saya pengusung tunggal. Bisa saja terjadi kalau ada juga yang mencalonkan. Surat yang sudah saya kirimkan kepada Komite Nobel, saya yang tandatangani. Tetapi saya membawa juga nama semua pemimpin negara Timor Leste. Saya bicara dengan mantan Presiden Republik dan Perdana Menteri Xanana Gusmão, mantan Perdana Menteri Marí Alkatiri, Perdana Menteri Taur Matan Ruak, Presiden Republika sekarang Francisco Guterers Lú Olo. Saya menulis surat pencalonan tersebut dengan mengatasnamakan beberapa orang ini. Jadi, kami semua.
Hc: Termasuk Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo?
JRH: Pertanyaan bagus. Saya akan menanyakan beliau dan saya akan mancarikan surat yang telah saya tulis untuk bisa mengorfimasikan kepada beliau. Karena, pertama harus mengumpulkan tandatangan mereka, tetapi sangat sulit karena harus ke sana ke mari. Makanya nanti saya akan tanyakan saja bahwa, saya bisa mengatasnamakan nama-nama kalian juga pada surat itu.
Karena dengan cara apapun, saya yang berhak untuk mencalonkan. Dengan demikian, saya akan menuliskan nama-nama beliau dan saya akan mengatakan bahwa saya mengatasnamakan mereka dan kami semua, termasuk uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, Peraih Nobel Perdamaian 1996.
Hc: Anda sudah menominasikan NU dan Muhammadiyah sejak tahun 2019. Apakah harus terus menerus diusulkan setiap tahun?
JRH: Ya, sudah saya usulkan sejak tahun 2019. Tapi tidak perlu setiap tahun, karena secara teoritis pencalonannya hanya satu kali, cukup. Tetapi saya akan mengusulkan sekali lagi pada tahun 2022. Tapi kali ini, saya akan melakukannya dengan “sedikit marah” kepada Komite Nobel ..he…he..he…. Saya akan minta kepada Komite Nobel, tolong, anda buka sedikit mata anda untuk Indonesia. Mereka semua tahu, dari semua pemenang Nobel Perdamaian, sayalah yang paling aktif melakukan kontak dengan mereka. Saya yang sering mengirimkan berbagai informasi kepada mereka. Jadi, saya akan menominasikan lagi dua organisasi ini pada tahun 2022 ini.
Saya juga agak kurang mengerti, ketika Komite Nobel memberikan Nobel Perdamaian untuk mantan Presiden Finlándia Martti Ahtisaari. Orangnya yang sangat baik, saya sangat kenal beliau. Ia sangat aktif di Kosovo, dia sebagai utusan Sekretáris Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kosovo.
Martti Ahtisaari juga berkontribusi besar dalam penyelesaian masalah di Aceh. Saya yakin, salah satu alasan dia meraih Nobel Perdamaian juga karena dia sebagai mediator masalah Aceh. Karena itu, menurut saya, kalau di Indonesia tidak ada orang seperti Susilo Bambang Yudioyono dengan Yusuf Kala, mungkin juga masalah Aceh belum selesai. Kedua orang ini sangat penting di saat itu. Mereka berdua sebagai tokoh kunci dalam peyelesaian masalah Aceh. Kalau tidak ada kedua orang ini, Martti Ahtisaari juga bukan siapa-siapa. Karena itu, saya sangat kaget Komite Nobel tidak menyertakan dua orang ini.
Selain kedua tokoh Indonesia ini, mestinya juga untuk pemimpin Aceh, yang memberikan kontribusinya yang jjuga signifikan. Sejak dulu di New York, saya sudah mengenal pemimpin dari Aceh, Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, beliau tinggal di sana sejak tahun 1950-an ketika dia meninggalkan Aceh, dan pindah ke Swiss tahun 1970-an. Dia adalah orang yang sangat baik. Karena dia keturunan keluarga bangsawan Aceh. Hasan di Tiro sangat mendapatkan dukungan dari Washington ketika itu.
Karena itu, konteks Aceh sudah tak dapat, Indonesia sebagai sebuah negara besar dan punya sejarah yang panjang, mestinya dapat memperoleh apresiasi internasional Nobel Perdamaian melalui dua organisasi besar ini.
Hc: Bagaimana hubungan anda dengan dua organisasi ini, NU dan Muhammadiyah?
JRH: Saya melakukan kontak dengan mereka sudah lama sekali. Saya juga memiliki kontak dengan banyak orang dari Indonesia, termasuk Jenderal Luhut Panjaitan. Bahkan ketika ia masih seorang perwira menengah saat menempuh pendidikan di Amerika. Saya sangat intens mengikuti situasi disana. Saya berpikir untuk tetap menjalin hubungan dengan kandidat yang paling pantas untuk meraih hadiah Nobel Perdamaian.
Masih dalam konteks ini, saya juga berpikir mestinya ada individu atau organisasi yang juga mengusulkan dua organisasi untuk sebuah penghargaan yang juga sangat prestisius, yakni Human Fraternity Award.
Human Fraternity Award, adalah sebuah penghargaan terbaru, baru dimulai tahun 2019. Award ini diadakan, dalam konteks kunjunga Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab, ketika mengadakan konferensi International Religion for Peace. Ini pertama kalinya seorang Paus berkunjung ke semenanjung Arab. Paus pernah berkunjung ke Mesir dan Irak, tetapi semenanjung Arab, baru pertama kali terjadi pada tahun 2019.
Waktu itu, selain menghadiri konferensi Religion for Peace, Paus juga bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb untuk menandatangani, Declaration of Human Fraternity, sebagai dokumen yang sangat bernilai historis.
Untuk award ini, saya adalah seorang anggota juri, sebagai bagian dari tim juri internasional. Saya diundang untuk mengambil bagian pada tahun lalu. Ada juga juri lain seperti seorang Kardinal dari Vatikan yang mewakili Paus, mantan Wakil Presiden Afrika Selatan, mantan Presiden Nijer, salah satu negara di Afrika, dan juga seorang perempuan kelahiran Prancis Amerika, yang juga menjabat sebagai Ketua dari salah satu organisasi terbesar di Prancis dan Amerika Serikat. Salah satu ahli hukum dari Mesir, sebagai sekretaris juri.
Sebagai anggota Juri, selama masa jabatan, kami tidak boleh mencalonkan kandidat. Kami juga yang membuat keputusan. Pencalonan ini dibuka untuk umum, dan banyak orang dari penjuru dunia yang mengusulkan kandidatnya.
Saya berharap, teman teman dari Indonesia juga sudah mencalonkan dua organisasi besar ini untuk bisa terpilih sebagai peraih Human Fraternity Award. Di dunia saat ini, Human Fraternity Award, sangat prestisius walaupun belun seterkenal nobel peace prize. Human Fraternity Award diadakan atas nama Paus di Roma dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb. Beliau berdua mempunyai miliaran pengikut di dunia.
Kami sudah menerima bayak kandidat, tapi karena pandemi Covid-19 dan koneksi pesawat yang terganggu, tim juri belum bisa mengadakan pertemuan langsung. Kami akan adakan pertemuan melalui zoom, dalam bulan ini, dan pertemuan definitif di Dubai pada minggu pertama Januari 2022. Saya harus ada di sana pada waktu itu.*