Sebagai manusia Jawa dalam kepungan pascakolonial hari ini, sulit kiranya membayangkan bagaimana kita mempelajari sejarah kita sendiri. Lebih-lebih, caranya merebut kembali pengetahuan yang telah terputus dari kita, apalagi menyusun ulang identitas yang kontekstual dengan kondisi hari ini.
Pun sudah cukup lama kita membiarkan pengetahuan kita berkubang dalam sejarah pandangan Barat, mendengarkan kita menjadi orang asing atas pengetahuan kita sendiri, serta membiarkan pengetahuan kita dipatenkan oleh orang luar. Dengan kata lain, kita kadung menyerahkan sejarah kita dituturkan oleh orang luar.
Kondisi inilah yang membuat orientasi kita terhadap dunia telah didefinisikan oleh orang luar. Alhasil, kita mengalami peminggiran secara sistematis dari penulisan sejarah, bahkan budaya kita sendiri. Subjek yang mewarisi mentalitas terjajah seperti kita hanya perlu menerima remah-remahnya. Bila dirasa perlu tahu, kita tinggal mengunjungi museum, perpustakaan, atau toko buku, lalu bertanya pada penjaga rak, di mana pengetahuan kita diletakan?
Baca juga:
Susanto membajak ketidakwajaran itu dalam bukunya yang berjudul Kanonisasi Budaya: Masyarakat Indis Surakarta di Tengah Arus Pergolakan Budaya yang terbit tahun 2023 lalu. Momen saya menjumpai buku ini adalah ketika seorang intelektual muda dari Surakarta membicarakan penerbitan Selaklali dalam imaji idealnya terhadap kolektif yang sedang ia rintis. Saya sendiri tak begitu menangkap arah dari dari penerbitan itu, barangkali hanya libido intelektualnya yang tak tertampung oleh ruang akademik.
Namun, minat itu tergugah tatkala tubuhku bermigrasi dari Surakarta menuju lereng Gunung Lawu. Kawanku yang ikut lekas menawariku Tolak Angin ketika mendapati tubuhku menggigil akibat tak lagi mampu menoleransi tekanan udara di tempat itu. Dari sebungkus Tolak Angin, kami berbicara tentang kampus, iklim pengetahuan di dalamnya, hingga upayanya untuk menghidupkan kembali napas kebudayaan di Surakarta yang menanti jalan kematiannya sendiri.
Kaum Totok dan Robohnya Diversitas
Dalam Kanonisasi Budaya, tulisan-tulisan Susanto mengambil kata kunci “waktu luang”, atau, dalam kubangan bahasa hari ini, “kegabutan“. Namun, kegabutan yang dialami oleh masyarakat Surakarta pada abad 19 hingga 20 barangkali berbeda dengan konsep kegabutan yang kita alami hari ini.
Kata kunci tersebut berkaitan dengan ekonomi masyarakat Surakarta yang sejahtera pada akhir abad 19. Kondisi itu menghasilkan penggunaan waktu luang atau masyarakat gaya hidup. Atau, gampangnya, ketika orang sudah mampu hidup mapan dan fasilitas publik telah terbentuk, maka mudah bagi orang tersebut memanfaatkan waktu luangnya untuk quality time atau sekadar healing di tengah kota.
Masyarakat gaya hidup yang muncul pada akhir abad 19 didukung dengan terbentuknya diversitas budaya di Surakarta. Berbagai model etnis dan kultur hidup berdampingan dalam pola hubungan yang khas sehingga minim dijumpai adanya ketegangan antara penduduk indigenous dengan rezim kolonial, bahkan dengan etnis-etnis imigran lainnya seperti masyarakat Tionghoa dan Arab.
Akan tetapi, diversitas tersebut jadi kacau ketika gelombang migrasi baru muncul di Surakarta pada awal abad 20. Para imigran tersebut merupakan kaum totok dari Eropa yang memutuskan untuk menetap di Surakarta. Kehadiran mereka di Surakarta tidak serta merta membuat mereka sudi menyesuaikan diri dengan budaya di daerah koloni. Di tempat tinggal baru ini, mereka masih berpegang teguh pada cara hidup di lingkungan Eropa.
Ketegangan muncul ketika kaum totok yang gagap menyesuaikan diri menetapkan seperangkat standar baru. Oleh mereka, sistem kebudayaan masyarakat indigenous dianggap menjijikkan sehingga butuh diperadabkan. Bahkan, target pemberadaban tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masyarakat indigenous, kaum peranakan Indo-Eropa juga turut menjadi target pemberadaban. Orang Eropa yang meninggalkan budaya Eropa dengan mengikuti gaya hidup orang Jawa dinilai sama menjijikkannya dengan masyarakat indigenous.
Ketegangan itu kemudian memicu lahirnya periode kanonisasi, yakni ketika kolonialisme dan imperialisme berujung pada upaya pemberadaban masyarakat terjajah. Kehadiran periode ini penting, tetapi historiografi arus utama kerap kali mengaburkannya, terlebih ketika membicarakan tentang Politik Etis.
Baca juga:
Merebut Kembali Sejarah Kita Sendiri
Sudah cukup lama kita mengunyah remah-remah sejarah yang disuapi oleh pandangan Barat. Kita menelannya mentah-mentah sebagai bagian dari identitas kita hari ini, serta mengamini dan mewajarkan seperangkat penaklukkan yang telah mereka lakukan kepada kita.
Buku sejarah kolonialisme kita terlalu nyaman menyodorkan ide-ide romantisme ketika membicarakan tentang Politik Etis. Penyampaian sejarah Politik Etis secara romantis itu mengarahkan kita agar berterima kasih atas adanya kolonialisme, kepada para penjajah. Sebab, menurut cara pandang romantis itu, berkat kolonialismelah kita dapat mencicipi pendidikan. Alhasil, orientasi kita hari ini menjadi kabur. Kita dibuat mewajarkan terjadinya penaklukan yang membuat kita malu terhadap identitas sendiri hingga alam pikir dan alam bawah sadar.
Pengetahuan mengenai periode sejarah yang diceritakan dalam buku Kanonisasi Budaya adalah titik penting untuk mulai merebut kembali sejarah kita sendiri. Setelah mengetahui apa yang bermasalah, kita bisa mulai untuk menuliskan sejarah secara lebih kritis lewat kacamata kita sendiri. Dari situ, kita susun ulang bentuk identitas baru yang kontekstual dengan kondisi hari ini, perlahan meninggalkan romantisme masa lalu yang mengaburkan penindasan.
Editor: Emma Amelia