Are-bure-boke merupakan bahasa visual (gaya fotografi) yang digunakan oleh Provoke (プロヴォーク), sebuah majalah fotografi eksperimental dari Jepang yang didirikan pada tahun 1968 oleh Koji Taki, Takuma Nakahira, Takahiko Okada, Yutaka Takanashi, dan Daido Moriyama.
Dalam bahasa Inggris, Are-bure-boke berarti “grainy/rough, blurry, out of focus” atau “kasar, buram, dan tidak fokus” dalam bahasa Indonesia. Namun, saya lebih senang mengartikannya dengan bebas menjadi “liar, sesat, dan goyah”, yang dalam pandangan saya artian tersebut lebih merepresentasikan gaya mereka. Bagaimanapun, ketika ketiga kata ini digabungkan, mereka menciptakan estetika yang kuat dan mengguncang konvensi dalam fotografi.
Gaya are-bure-boke ini menantang aturan-aturan tradisional dalam fotografi yang berfokus hanya kepada kejelasan sebuah foto—yang tentunya terikat banyak aturan dan cenderung membosankan. Fotografer Provoke seperti Daido Moriyama, Takuma Nakahira, dan Yutaka Takanashi menggunakan teknik fotografi yang sengaja memperlihatkan kekacauan dan ketidakstabilan. Mereka menangkap momen-momen yang bergerak dengan cepat, penuh kegelapan, dan sering kali dalam keadaan yang tidak teratur.

Gambar-gambar yang dihasilkan oleh gaya tersebut memiliki bahasa visual yang kuat. Mereka menciptakan suasana yang intens dan penuh ketegangan, seolah-olah memasukkan semua orang yang melihat fotonya ke dalam dunia yang suram dan ambigu. Gaya tersebut juga melibatkan eksplorasi tema-tema sosial dan politik, serta menghadirkan pandangan yang radikal terhadap realitas sosial.
Ciri-ciri dari gaya yang mereka gunakan digambarkan oleh Minoru Shimizu melalui pendekatan Moriyama (dengan rujukan khusus ke bukunya yang terbit tahun 1972, Farewell Photography) sebagai berikut:
1. Fragmentasi
Fotografi Provoke cenderung menampilkan gambar-gambar yang terfragmentasi, terpotong, atau tidak utuh secara keseluruhan. Hal ini menciptakan kesan ketidakteraturan dan ketidaksempurnaan yang menjadi bagian dari estetika gaya ini.
2. Sensasi kecepatan
Fotografi Provoke menampilkan sensasi kecepatan dalam gambar-gambar yang ditangkap. Gerakan yang cepat dan momen-momen yang berlalu dengan cepat direkam untuk mengekspresikan dinamisme dan energi yang menggugah.
3. Gambar yang terlihat rusak
Fotografi Provoke seringkali menampilkan gambar-gambar yang tampak rusak atau cacat. Hal ini dapat berupa jejak-jejak goresan, bintik-bintik, atau kecacatan dalam proses pencetakan gambar. Estetika ini menghadirkan kesan kekerasan dan semacam luka sebagai bagian dari representasi dunia nyata.
4. Keberanian
Gaya Provoke memiliki nuansa keberanian dalam pengambilan gambar. Fotografer tidak takut untuk mengeksplorasi dan menciptakan gambar-gambar yang kontroversial, melampaui batasan-batasan konvensional dalam fotografi.
5. Ketidakseimbangan
Fotografi Provoke seringkali menampilkan kesan ketidakseimbangan visual. Komposisi yang tidak simetris atau sudut pandang yang tidak biasa digunakan untuk menciptakan perasaan ketidakseimbangan yang mengganggu, mengajak siapapun yang melihat fotonya untuk melihat dunia dengan cara yang baru dan tak terduga.
6. Gagal cetak
Fotografi Provoke seringkali menampilkan jejak-jejak kegagalan dalam proses pencetakan gambar. Hal ini bisa berupa ketidakjelasan, noise, atau kesalahan teknis lainnya. Estetika ini mencerminkan penghargaan terhadap kekeliruan dan kecacatan sebagai bagian dari kehidupan nyata.
7. Tanpa membidik
Beberapa fotografer Provoke menggunakan teknik fotografi tanpa membidik (tanpa menggunakan viewfinder. Hal ini mencerminkan pendekatan yang lebih intuitif dan spontan dalam mengabadikan momen.
Ini semua adalah ekspresi dari semacam “degradasi” sebagai sarana untuk menghapus keberadaan diri sang fotografer, pemikirannya, dan niat-niat pribadinya. Melalui gaya tersebut, Moriyama mencoba mengungkap dunia nyata sebagaimana adanya melalui “kekerasan” terhadap gambar-gambar tersebut. Semakin nyata setiap foto yang ada, semakin banyak pula bekas luka yang terlihat dan semakin terkikislah fotografi tersebut. Sebab, dunia nyata hanya dapat muncul jika dunia biasa (telah) menghilang.

“Photography was too explanatory, too narrational for me. […] It was natural for me to join Provoke. […] They said they were photographing atmosphere. But I was very precise and careful. […] But my work changed after I saw how they worked. I saw that I could not control everything. I understood that photography is only a fragment. I used to be a photographer who interprets things via language. And then Provoke changed me.” — Yutaka Takanashi
Editor: Emma Amelia