Dongeng Patung Rupawan

Petricia Putri Marricy

3 min read

Tak ada yang lebih liar ketimbang pikiran manusia. Mereka selalu berpikir tentang hal-hal magis, vulgar, dan kadang-kadang menyeramkan. Dan sayangnya aku bukan manusia. Aku adalah sebuah patung perempuan yang berdiri siang dan malam sebagai ucapan selamat datang di dekat gapura-gapura tinggi menuju vila-vila mahal.

Ketika hujan datang, aku memandang ke semua orang yang dipayungi kekasih mereka. Sebuah payung kecil berselimutkan cinta. Dan sayangnya, aku tak memiliki seorang kekasih. Yang kupunya hanyalah sebuah gaun putih pucat dengan guratan-guratan bekas semen dan sebuah luka di pergelangan tangan kiri sebab penciptaku iri akan betapa rupawannya aku. 

Hujan sudah reda. Kesepian mendadak menyelimuti jiwaku. Aku memandang jalanan yang lengang tanpa suara, tanpa manusia. Mereka semua mungkin sedang bercinta. Di depan kayu-kayu yang terbakar hangat atau di bawah jam dinding bersolek emas. Sedangkan aku, hanya berdiri, seperti patung yang tak punya peruntungan. Seperti patung kesepian yang tak punya jiwa di tengah kebisingan. Seperti patung yang tiada guna selain menjadi tontonan dan hiasan.

Di tengah pelangi yang sedang membentuk jati dirinya, seorang lelaki menghampiri. Ia berdiri di hadapanku dengan pundak tegang dan dahi basah. Kutanya apa gerangan yang dicari dari sebuah patung cacat tanpa pergelangan tangan. Rupawan sekali wajahmu, Nona Patung, katanya. Aku mengiya. Bolehkah aku bercinta denganmu di sini, Nona? tanyanya. Aku tak menjawab. Bolehkah aku bercinta denganmu di sini, Nona? tanya lelaki itu untuk kedua kali. Aku masih tak menjawab.

Beberapa detik kemudian, ia sudah telanjang bulat, merapatkan kelaminnya ke dekat gaun yang kukenakan. Ia masturbasi di sana, menyemburkan cairan putih lengket ke daerah perutku lalu berteriak lega. Manusia memang gila, pikirku.

Tak ada darah mengalir pada tubuhku sebab aku terbuat dari marmer. Bukan daging dan roh. Setelah lelaki itu menarik kembali celananya ke atas, ia tersenyum dan mengucap terima kasih. Kukatakan padanya, semoga istrimu tidak mengetahuinya, Wahai Manusia. Lalu, ia pergi dengan bungah.

Malam itu, hujan membersihkan tubuhku. Sudah terlampau hina jika aku bukan sebuah patung. Untungnya, aku adalah patung. Patung yang berdiri tegak di antara manusia dan pikiran-pikiran sintingnya.

Malam datang. Bulan dan bintang-bintang begitu benderang. Waktu yang tepat bagi manusia untuk bercumbu dan bercinta. Tapi seorang perempuan malah berlari kecil sambil mengacungkan jari tengahnya ke arahku. Matanya menyala-nyala. Seperti sedang kerasukan, ia mengoceh panjang lebar. Kukatakan padanya untuk tenang.

Ia menyeru, Patung sundal!

Aku memandang matanya dalam-dalam, kutanya apa maksudnya. Lalu, ia menenangkan diri. Sedikit udara dingin menelusup ke dalam jiwanya, ia pun menarik napas panjang.

Apakah kau bercinta dengan suamiku? tanyanya. Ia bertanya sebelum air mata mulai menetes membasahi pipinya. Mengalir panjang, membasahi kerah bajunya. Kukatakan TIDAK padanya dengan huruf kapital semuanya. Kemudian, ia melangkah pergi tanpa sepatah kata apa pun lagi.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta seorang lelaki berbeda mendatangiku. Ia bertanya, apakah aku boleh bercinta denganmu? Aku diam saja. Saat itu, udara sedang panas, tak kuharapkan setitik air hujan membersihkan tubuhku dari cairan beraroma pandan. Nona, apakah aku boleh bercinta denganmu? Ia bertanya lagi. Aku tetap diam. Tak lama setelah itu, ia merancap di hadapanku. Sekali lagi, cairan putih pekat membasahi gaunku. Lalu, tanpa terima kasih, ia pergi begitu saja tanpa rasa malu. Manusia memang gila, pikirku.

Hari itu berakhir cukup cepat. Tak ada lelaki lain datang hanya untuk memuaskan nafsu. Udara panas menyeret orang-orang masuk ke dalam rumah dan mungkin menonton televisi. Bercinta melalui perempuan dalam layar kaca, begitulah yang kudengar dari lelaki muda yang acap kali lewat dengan sepedanya. Cairan di gaunku mengering kaku, meninggalkan bercak keabuan yang membuat tubuhku tak lagi seputih porselen.

Begitu malam tiba, seorang perempuan datang sambil menangis tersedu-sedu. Ia bercerita bahwa suaminya tak lagi menyentuh dirinya selama enam bulan sejak ia melahirkan anak pertama mereka. Lalu, ia bertanya, apakah suamiku bercinta denganmu, Wahai Nona Patung yang Amat Rupawan?

Aku bergeming. Apakah kau memiliki nama? Ia bertanya lagi. Bulan mulai surut cahayanya, dan dua pertanyaan itu menggantung di udara. 

Di hari-hari berikutnya, setiap pagi, semua lelaki yang tinggal di wilayah vila-vila itu muncul di hadapanku dan memohon agar aku mau bercinta dengan mereka. Tapi selalu kujawab Tidak.

Namun, tak satu pun mendengarkan. Mereka tetap bergantian menelusuri tubuhku yang gaunnya tak bisa disingkap. 

Tak ada perasaan berarti. Aku hanya diam ketika para lelaki beristri merancap dan memagut tubuhku. Tak ada amarah. Tak ada perdebatan. Aku hanya berkata “Tidak” yang bagi mereka artinya adalah “Aku bersedia” dan sebuah kalimat “Semoga istrimu tidak mengetahuinya” yang berarti “Istrimu akan tahu dan mendatangiku malam nanti.”

Di suatu purnama, kudengar samar-samar orang-orang berteriak. Bakar dia! Bakar dia! Patung sundal! Begitu kata mereka. Perempuan-perempuan bertubuh gempal, berambut cepak berantakan, dan daster dengan lubang di kiri-kanan, membawa obor menyala tinggi-tinggi. Kakiku bukannya gemetar, tapi rasanya seperti tak berdaya lagi.

Dasar patung sundal! Kau bersetubuh dengan suami-suami kami! Kudengar suaranya paling lantang. Seorang gadis yang menikah di usia limabelas tahun. Memiliki seorang bayi yang sering ia timang-timang sembari memuji betapa kecantikanku tiada lawan sambil menyuapi bayinya dengan bubur.

Bakar patung sundal ini! Kudengar suara yang lain. Si pembawa obor paling besar, paling bercahaya. Merah menyala matanya, rambutnya, dan bibirnya. Tak hanya murka, kepalanya pasti sangat mendidih. Aku hanya diam. Menatap belasan perempuan menaikkan obor mereka tinggi-tinggi, nyaris menempel pada awan.

Sebuah obor mendarat di kakiku. Api membakar gaun dan separuh tubuhku, serta tanganku yang cacat. Api menjilat-jilat tubuhku. Kudengar mereka tertawa, berteriak, menangis. Kudengar mereka bersenandung, mengawang, mengarang. Kudengar mereka, sayup-sayup, mengatakan, “Kembalikan suamiku.”

Begitulah yang mereka kira.

Pada akhirnya, setiap kata tak pernah berarti adanya. Sebab manusia selalu berpikir patunglah yang harus disalahkan. Sebab aku ini patung, dan aku ini perempuan. 

Petricia Putri Marricy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email