DI MANA KITA SALAH MENGIRA?
Di suatu Senin
tubuhmu adalah mesin
pengolah filosofi teras
menjadi tangga kelas
memproses lagu Peradaban
akses pembuka percakapan.
Kalau kau biarkan mereka bicara
pada dirimu di hari Selasa
ditemukannya menafi janji harakiri
seperti mahdi melarikan diri
bermandi dalam dogma percaya
bersinar lebih dari cahaya.
Aku harus membunuhmu
sebelum jumpa hari Rabu.
(2024)
–
REHEARSAL
Seseorang jatuh cinta
mengumumkannya
ke satu dunia
kalau saja bisa
dia mau membina
satu ajaran agama
memuja pasangannya.
Bertaruh mengapa teman
sejauh itu menerjemahkan
perasaan kedamaian
sepadan dengan
hidup berjuragan
menyungkup kebahagiaan
serasa merah kecanduan.
(2024)
–
MENJADI DEBT COLLECTOR
Aku baru saja berpikir
haruskah ini berakhir menjadi puisi?
sebelum peran penyair
dimarkah obituari di mortuari.
haruskah kita ambil jalan memutar
karena kata-kata tak lagi bergetar?
Tak ada yang lebih tabah
dari hutang bulan Juni
Argh, maafkan aku Sapardi
sesekali dia harus dapat kuliah.
Bilang begini maksudnya begitu
menjelang alibi selanjutnya, seratusribu
utang nasi sepantasnya menghulu.
Bahkan jika Bapakmu Chairil Anwar
dengan Revo Koperasiku, kau akan kukejar.
(2024)
–
KELUHAN KETIKA MENDENGAR TEMAN BILANG PATAH HATI
Kini aku bertemu orang patah hati,
menolak mati dan penuhi amor fati
fatum brutum
yang kau tidak ketahui,
—I still see your shadow in my room.
Jiwanya—selalu
Mendekati atau
mengejar
daripada anak
tersesat menjelang masa yatim.
Melewati omong kosong, hidup
perihal yaudah
menuju gapapa.
“Besok aku akan
bertemu denganmu”,
melampaui kebahagiaan
dalam kotak surat yang rongsok
dan tak tersentuh
hermes di bawah kelopak
yang air matanya sebak.
Pesan selalu berakhir
dengan pertanyaan
kapan?
Kini jadi kapan-kapan.
Sedang diri yang dihinggapi curah hujan
berpikir jika botol bisa bicara, dia akan udahan.
Patah hati adalah labour of love.
Juga sama memabukkannya dengan Minggu
malam menunggu Senin pagi.
Antara jadi.
(2022)
–
DIA BERKATA: AKU PERNAH JATUH CINTA
“Apa yang tidak kutemukan pada filsafat, kutemukan pada dirimu.” — Sutan Syahrir
Entah malam ini pergantian tahun, atau perayaan hari besar agama. Jendela selalu melihat kembang dan api saat menguping aku yang membisik namamu.
Aku kembali ke bilik ini bersama pertanyaan: buku dan siapa yang melapuk pertama? Bersama rasanya belum ada yang tumpul. Pulang. Dari sampul, dari daftar isi, petualangan megah muncul dan jarak antar halaman berkurang sampai mereka membentuk dinding.
Ratapan. Menyebut namamu berarti aku kalah—entah di pukul dua malam dan di pagi pergantian tahun. Kembang api dan aku belajar dengan menenangkan riuh. Dengan berhenti dan acapkali mengeluh. Sekarang, aku ingin dengan menyentuh. Menyentuh segala yang asing pada tubuh. Di sana-sini bendera-bendera cemerlang tergantung dan tak bergerak.
Lalu tak’kan aku biarkan kamu mati seperti tanda titik seorang penulis. “Aku tidak percaya cinta, nyanyian-nyanyian kosong dan liar di rumah Tuhan,” ucapmu.
Kutolok dan kupotong. Sayatannya bisa melipat dinding. Sebab kisah cinta terbaik belum ditulis hingga saat ini.
(2021)
–
KUCING
Ada hujan di balik kumisnya
menggiringku bersaksi
tidak bisa kecuali berjaga
pada sisa hati.
Ajarkanlah padaku merias
kemarau jadi matahari.
Selalu jujur
melesatkan omong kosong.
Menyiasati tiap kepala
adalah anak panah
yang berangkat
ke pelukan truk 16 roda.
*****
Editor: Moch Aldy MA