Buku ini adalah karya pertama Ahmad Tohari yang saya baca dan hasilnya memang sama sekali tidak mengecewakan. Novel ini menceritakan perjuangan Karman sebagai eks tapol (tahanan politik). Karman dibui akibat keterlibatannya dalam partai komunis, dan ketika bebas ia hendak kembali berbaur dengan masyarakat desa Pegaten yang pernah merasa dikhianatinya.
Awalnya, Karman adalah seorang pemuda biasa yang rajin beribadah dan dekat dengan Haji Bakir, pemuka agama terpandang di Pegaten. Sialnya, Karman terperdaya oleh propaganda Margo dan Triman untuk bergabung dengan partai komunis. Alhasil, Karman ikut ditangkap saat negara melaksanakan perburuan besar-besaran pada tiap orang yang diduga komunis pasca peristiwa Gestok pecah.
Kesempatan Kedua
Dua belas tahun Karman diasingkan bersama terduga komunis lainnya di Pulau Buru. Karman meninggalkan istrinya Marni dengan anak-anaknya yang masih kecil. Namun, perasaan terberat yang ia rasakan adalah meninggalkan desa Pegaten, mengingat ia banyak melakukan hal-hal buruk di tahun-tahun terakhirnya sebelum tertangkap.
Penyesalan itu perlahan berganti menjadi ketakutan. Karman takut warga Pegaten tidak sudi untuk menerimanya lagi. Masalahnya, Karman tidak punya tempat pulang selain desa Pegaten.
“… Dan, apakah kampungku, terutama orang-orangnya, mau menerima aku kembali? Sebuah letupan ketakutan tiba-tiba menggoyahkan hatinya.” – Hal. 31
Akan tetapi, ketakutan Karman itu sirna setelah melihat banyak warga yang menyambutnya saat pertama kali tiba di desa Pegaten, termasuk Marni dan kedua anaknya. Sayangnya, saat itu, Marni tidak lagi berstatus sebagai istrinya, melainkan sudah menjadi istri orang lain. Marni menceraikan Karman karena tidak sanggup menanggung beban ekonomi pasca Karman tertangkap.
Hal yang paling membuat Karman terharu adalah ketika melihat Haji Bakir turut menyambut kedatangannya. Padahal, ia telah banyak berbuat salah terhadap Haji Bakir ketika masih bergabung dengan partai komunis. Sembari berlutut di hadapan Haji Bakir, Karman menangis. Ia berderai air mata di hadapan orang yang telah banyak memberinya bantuan tetapi tega dikhianatinya.
Setelah kedatangannya yang disambut dengan tangan terbuka, Karman dipercaya untuk membuat kubah baru untuk masjid milik Haji Bakir. Dengan keterampilan yang diperolehnya dari pengasingan, ia membuat kubah dengan sungguh-sungguh. Karman tidak ingin mengecewakan warga Pegaten yang telah memberinya kesempatan kedua, sesuatu yang tidak semua orang, apalagi mantan tapol, bisa dapatkan.
Agama dan Komunis
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Karman sejatinya seorang pemuda yang rajin beribadah, setidaknya sampai ia terkena propaganda Margo dan Triman. Margo adalah mantan guru Karman semasa sekolah, sedangkan Triman adalah kepala kantor penerangan kecamatan yang juga seorang ketua Partai Indonesia (Partindo) yang terkenal nasionalis. Meski begitu, Triman tetap komunis tulen. Jabatannya di Partindo hanyalah kedok untuk merahasiakan hubungannya dengan kelompok komunis Margo.
Saat itu, Margo memang sedang gencar-gencarnya menggaet pemuda potensial untuk bergabung dengan partai. Karman menjadi salah satu incarannya. Untuk membuat Karman bergabung dengan partai, Margo dan Triman memberikan Karman pekerjaan di kantor kecamatan. Hal yang saat itu sulit ditolak oleh Karman, mengingat ia memang sedang membutuhkan pekerjaan.
Setelah menjadi pegawai kecamatan, pelan tapi pasti, Margo dan Triman mencekoki Karman ajaran-ajaran komunis. Dimulai dengan memberikan Karman buku-buku berhaluan kiri. Mereka berdalih isi buku-buku itu akan melancarkan ujiannya menjadi pegawai tetap. Selanjutnya, bibit kebencian terhadap Haji Bakir mulai mereka tanamkan kepada Karman. Hal itu mudah saja mereka lakukan, apalagi Haji Bakir baru saja menolak lamaran Karman untuk memperistri anaknya.
Karman yang terlanjur kecewa dengan mudah melahap tiap propaganda yang dilakukan kader partai. Dengan berlandaskan kebencian terhadap Haji Bakir, ia mulai meninggalkan salat, merusak tempat wudhu masjid, dan percaya kalau agama itu adalah candu untuk membius kaum tertindas.
Keraguannya terhadap partai mulai tumbuh setelah disinggung secara langsung oleh Margo dalam sebuah diskusi. Waktu itu, Karman telah memperistri Marni, seorang perempuan religius. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan spirit komunis yang dicekokkan kepadanya. Margo menyindir Karman yang disebut membiarkan istrinya menjadi pengisap candu.
Karman yang mencintai Marni tidak terima dengan tudingan Margo. Ia membela Marni mati-matian di hadapan para kader partai yang tidak percaya Tuhan atau bahkan cinta. Ungkapan kemarahan Karman saya rasa menjadi kalimat paling kuat di novel ini.
“…. Apabila kawan menganggap kehidupan pribadi sebagai kemunafikan terhadap sikap hidup revolusioner, kita semua munafik! Kuakui, istriku tetap taat kepada agamanya hingga kini. Tetapi ingat, Kawan sendiri mempunyai saudara yang jadi tengkulak gula kelapa. Kita semua tahu praktek apa yang dijalankan oleh tengkulak semacam itu. Praktek-praktek kapitalisme murni!” – Hal. 144.
Sayangnya, keraguan Karman tersebut datang terlambat. Peristiwa Gestok terlanjur pecah dan Karman ikut diburu sama seperti kader partai lainnya. Meskipun sempat bersembunyi selama berbulan-bulan, ia akhirnya tertangkap dalam keadaan kritis setelah terkena malaria dan diare di sebuah pemakaman tua di Pegaten.
Setelah tertangkap, ia kehilangan segalanya, kecuali nyawa.
Akhir yang Terburu-buru
Selain aspek politik, Ahmad Tohari juga menyisipkan pesan-pesan agama di novel Kubah, yang sepertinya menjadi ciri khasnya dalam berkarya. Hubungan asmara tipis-tipis Karman-Marni dan Jabir-Tini juga menjadi bumbu tersendiri dari novel ini.
Satu hal yang saya sayangkan adalah ada kesan terburu-buru untuk sampai ke konklusi saat Karman kembali dipercaya oleh warga Pegaten. Sebagian besar isi novelnya menceritakan masa lalu Karman saat diperdaya oleh partai komunis. Sedangkan, plot cerita penerimaan kembali terhadap Karman, termasuk saat ia dipercaya membuat kubah masjid mendapat porsi penceritaan yang sangat minim.
Meskipun begitu, novel ini tetap layak dibaca sampai kapanpun. Membawa pembaca pada potret zaman yang abu-abu. Membuat pembaca lebih imtim pada banyak konflik personal para tokohnya, yang mengambinghitamkan suatu ideologi demi dendam pribadi.
***
Editor: Emma Amelia & Ghufroni An’ars