Waktu tidak pernah berhenti mempekerjakan pendengungnya.

Refleksi Demokrasi Indonesia hingga Pasca Reformasi

Rizky Surya Nugraha

5 min read

Meskipun tidak mengalaminya secara langsung, suasana mencekam yang tertata rapi dari cerita dan foto-foto saat kerusuhan 98 ternyata masih menciptakan kenangan kelam bagi generasi setelahnya. Saya masih hapal betul bagaimana cerita bersejarah kala itu, ketika para mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR untuk akhirnya mampu menumbangkan rezim Orde Baru, Soeharto. Hal ini juga tidak luput dari getirnya cerita di balik proses menumbangkan rezim yang telah bertahan selama 30 tahun lebih.

Ketika krisis moneter merebak, kejengahan pada bobroknya sistem yang tak kunjung usai, kemudian membawa eskalasi semakin hari menjadi pada puncaknya. Kengerian ini mesti menyisakan trauma yang mendalam. Banyak para tokoh, aktivis, dan mahasiswa yang tertangkap, tewas, hingga hilang akibat dari bengisnya rezim yang berkuasa. Keadaan kemudian membawa nasibnya lebih runyam, penjarahan seketika merebak dan masif ke beberapa wilayah di Indonesia. Penjarahan toko, pemerkosaan, sampai sentimen negatif dan kebrutalan seketika juga ditujukan pada etnis tertentu.

Bukan sebuah kebetulan, kemarahan dan upaya untuk merangsek sistem Orde Baru yang bobrok sejatinya telah dilakukan berkali-kali. Semuanya berawal dari respon reaktif terhadap segala persoalan yang kian hari semakin tidak masuk akal. Sinyal kebobrokan Orde Baru yang gemar dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme salah satunya cukup menjadi alasan masyarakat menjadi naik pitam. Ditambah lagi segala kebijakan pemerintah kala itu yang gemar menampung investasi asing dengan ambang batas ketidakwajaran, membawa pada nasib ujung jurang yang tidak mensejahterakan siapapun selain Keluarga Cendana.

Seusai peristiwa berdarah Gestok/Gestapu/G30 S dan pelengseran Soekarno di 1965, seolah masyarakat perlahan sedikit kembali memupuk satu per satu harapan pada pemerintahan yang baru. Sosok Soeharto yang mampu memanfaatkan momentum dengan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), membawanya secara serampangan melakukan ritual pensucian satu per satu dosa Soekarno yang perlahan justru semakin runyam. Pun juga masif diprotes oleh gelombang lapisan masyarakat pada akhir kepemimpinannya, sekaligus melalui kudeta dan propaganda rezim Orde Baru itu sendiri terhadap pemerintahan yang lama. Kita tidak akan lupa begitu saja bagaimana Soekarno diperlakukan di akhir masa kepemimpinannya, sampai akhirnya menjadi tahanan Orde Baru. Selepas Soeharto berkuasa, Seokarno ditahan pada rumahnya sendiri di daerah Batu Tulis, Bogor. Sebelum akhirnya dipindahkan ke Wisma Yaso, Jakarta pada 1969. Penahanan ini juga mengisolasinya dari dunia luar sekalipun itu anak dan istrinya sendiri.

Namun secercah harapan dari mereka yang menuntut diturunkannya Soekarno selepas peristiwa Gestapu, sepertinya juga tidak terlalu bertahan lama. Serangkaian gelagat gaya pemerintahan otoritarian nan ugal-ugalan dari pemerintahan Orde Baru mulai menguak ke permukaan. Ambisi yang semu dari Soeharto justru semakin membuat situasi tidak lagi melegakan, lebih dari itu bahkan lebih tepat pada terasa sesak dan geram. Kita masih ingat bagaimana kuasanya yang otoriter merangsek dengan pembredelan demi pembredelan pada berbagai hal datang ke segala penjuru. Tidak ada lagi ruang kebebasan yang diidamkan kala itu, semuanya dikendalikan dan diawasi entah itu pers dan karya sastra. Nasibnya tidak serta merta bersinar, justru salah satunya kita masih merasakan dan ternalar menyoal bagaimana tidak terlalu banyak juga bahan bacaan dan media yang merekah secara terang-terangan di era Orde Baru.

Baca juga:

Kita, tentu masih geram jika harus mengingat lagi bagaimana buku-buku mesti dibredel satu per satu. Keberadaan buku-buku yang dianggap kiri dan mengancam stabilitas negara juga tidak luput dari represi otoriter di masanya. Bahkan, Soeharto secara terang-terangan peduli betul dengan mengurusi persoalan musik yang dianggapnya tidak memiliki nilai semangat juang. Melalui Harmoko sebagai Menteri Penerangan (kesayangan) kala itu, ia sempat merespon tayangan video klip lagu Hati yang Luka milik Betharia Sonata di TVRI. Harmoko sebagai perpanjangan tangan Soeharto, menilai lagu tersebut sama sekali tidak mencontohkan semangat juang kebangsaan. Masih dalam hiruk-pikuk acara perayaan ulang tahun TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988, Harmoko lantang merespon penayangan lagu tersebut,

Stop lagu-lagu (cengeng) semacam itu.” – Harmoko, 1988.

Peristiwa MALARI (1974), Hanyalah Permulaan

Peristiwa Malari (1974), barangkali bisa menjadi titik didih awal dari masyarakat terhadap kebijakan ekonominya yang lebih memilih untuk pro-investasi asing, kucuran dana dari luar lantas tidak serta merta memuluskan perekonomian nasional. Pemicu Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) kala itu tidak lain adalah kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Indonesia. Permulaan ini kemudian disambut oleh lautan demonstran mahasiswa yang protes secara masif di pangakalan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Menyadur dari Eep Saefullah Fatah dalam Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru Manajemen Konflik, Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok (2010), tercatat pada malam di hari 14 Januari 1974, sekitar ratusan mahasiswa sekiranya telah berada di sekitar lapangan Halim Perdana Kusuma untuk menyambut kedatangan Tanaka, sekaligus bersama putrinya bernama Makiko, dan juga rombongan pejabat Jepang lainnya. Sejarah mencatat, sebanyak 11 orang telah tewas dalam peristiwa ini. Serta ratusan lainnya seperti mobil, toko-toko, dan korban saling berjatuhan meratapi nasib kelam angkuhnya rezim kala itu.

Pemerintah mesti bertanggung jawab pada keteledorannya mengurusi negara, rakyat, bahkan mahasiswa yang kala itu berdemo. Sebab selain Gestapu, peristiwa Malari ini juga menjadi catatan kelam bangsa bahwa nyawa 11 orang telah tiada akibat perlakukan represif aparat.

Serangkaian Rentetan Kelam yang Menodai Demokrasi

Sekali lagi, Peristiwa Malari (1974) bisa jadi hanyalah awalan dari kemarahan kolektif terhadap rezim Orde Baru. Setelahnya kemarahan justru tidak pernah mereda, bahkan bola liar yang didiamkan begitu lama, lambat laun bergulir semakin kencang.

Selagi kedigdayaan Orde Baru, selama itu pula lah aksi-aksi rakyat dan mahasiswa tiada hentinya bergulir. Setidaknya ada beberapa aksi besar-besaran sebagai bentuk respon reaktif dari kebijakan pemerintah. Gerakan ini buntut kemarahan dari rakyat dan berakhir menjadi catatan kelam sejarah karena mesti menelan banyak sekali korban. Di antaranya adalah Tragedi Tanjung Priok 1984, Tragedi 27 Juli 1996 (Kerusuhan 27 Juli) – 27 Juli 1996, Aksi Reformasi 1998, sampai Tragedi Semanggi I dan II.

Aksi Reformasi 1998 yang Traumatis

Barangkali peristiwa ini masih sangat membekas di ingatan sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Tragedi kelam bangsa yang telah merenggut nyawa 4 mahasiswa Trisakti dan nyawa lainnya tanpa adanya penjelasan. Perlu diingat juga bahwa latar belakang dari demo ini adalah bentuk muaknya rakyat pada kebijakan dan krisis yang lambat laun semakin buruk. Harga bahan pokok semakin mahal, krisis moneter pun tak lagi bisa dibendung dan hanya menyisakan kesengsaraan dan desakan untuk presiden Soeharto agar segera mundur dari singgasanannya.

Demonstrasi yang pada awalnya berjalan lancar dan damai, seketika menjadi mencekam setelah secara tiba-tiba terdengar suara lepasan tembakan di tengah kerumunan demonstrasi. Semenjak itu, keadaan tidak serta-merta menjadi baik-baik saja. Penjarahan dan serangakaian kerusuhan dimana-mana. Setidaknya peristiwa ini berlangsung sejak 12-15 Mei 1998, bermula dari aksi di Jakarta hingga merembet pada kota-kota besar lainnya. Menurut Amnesty International Indonesia, peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 menewaskan empat mahasiswa dan setidaknya melukai sebanyak 681 orang. Bahkan hingga kini, beberapa orang yang hilang pun belum ditemukan. Korban tewas pun belum diberi kepastian terhadap dalang dari tindak represif semua ini. Wiji Thukul hanyalah satu dari segelintir korban yang suaranya dibungkam dan hilang secara tiba-tiba, tanpa radar tanpa pertanggung jawaban.

Barangkali melalui buku Laut Bercerita (2017) ataupun film Eksil (2022), serta beberapa karya sastra lainnya mampu merepresentasikan dengan jelas persoalan tragedi 98, sekaligus membantu kita yang awam menjadi lebih peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana dan sejauh apa kisah kelam 98 itu merenggut mimpi dan generasi di zamannya, bahkan sampai era setelahnya.

Baca juga:

Tragedi Semanggi I dan II, November 1998 dan September 1999

Menjadi saksi bisu pasca kerusuhan Mei 1998 bagaimana runtuhnya Soeharto tidak membebaskan belenggu begitu saja. Sistemnya yang kronis sudah begitu mengakar dan perlu dilakukannya perombakan besar-besar bagi keberlangsungan yang lebih baik. Puncak demonstrasi pada Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998, dengan menewaskan 17 warga sipil. Sedangkan Tragedi Semanggi II, melalui KontraS tercatat bahwa terjadi pada tanggal 24-28 September 1999 dengan aksi mahasiswa yang menentang  RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) pada tuntutannya mencabut dwi fungsi ABRI. Peristiwa ini terjadi berbagai tempat di kota-kota besar di Indonesia. Namun sekali lagi, aparat selalu bertindak represif pada demonstrasi kali ini. Sebanyak 11 orang meninggal dan 217 luka-luka orang dalam peristiwa tersebut.

Menerka arus demonstrasi terkini

Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya sejak gaung Reformasi itu terkibar, kini rasanya demokrasi seolah kembali pada kemunduran yang signifikan. Beberapa demonstrasi besar-besaran dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini seolah menjadi sinyal peringatan, kalau arus kebijakan semakin merosot dan tidak berpihak pada rakyat.

Gaung Reformasi Dikorupsi (2019), Aksi Omnibus Law (2020), sampai Peringatan Darurat (2024) bisa jadi hanyalah rentetan awal dari titik didih putus asanya masyarakat terhadap pemerintah. Dimulai pada pembredelan KPK di tahun 2019 yang seolah tidak lagi independen dan dibatasi ruang geraknya, kebijakan Omnibus Law pada 2020 yang disusun secara kilat bahkan lebih banyaknya tidak berpihak pada pekerja, sampai cawe-cawe pemilu yang hampir terjadi jilid 2. Ketiga aksi itu masih dalam bentuk reaktif pada persoalan demi persoalan, tapi kita masih ingat betul bagaimana respon reaktif ini pernah berekskalasi dan meruntuhkan rezim. Bentuk reaktif ini sebagai tanda bahwa kemarahan itu terjadi dan semakin menguat.

Harus dengan kewarasan apa lagi kita menyikapi gelagat saling rampok dari kantong rakyat untuk menutupi lubang korup akibat tidak becusnya negara ini? Mau sampai kapan kita harus menelan pil pahit yang sistematis ini, tanpa batas tanpa pengelompokan kepentingan?

Mungkin, benar adanya seperti apa yang disampaikan oleh Pak Zainal Arifin Mochtar dalam salah satu diskusinya di Bocor Alus Tempo. Pemerintah sedang mengetest sejauh apa ketahanan kita pada semua kebijakannya, sampai mana masyarakat tahan dengan otak-atik kebijakan untuk kepentingan segelintir orang.

Karena, apapun yang dilakukan dengan terang-terangan oleh pemangku kepentingan bukan berarti tidak dipertimbangkan. Justru sebaliknya, semua penuh perhitungan dan telah dibaca sedemikian rupa sejauh apa kita (demonstran) mampu bergejolak dan merespon. Melalu aksi seperti apa, di mana, dan siapa pelopornya. Pertanyaannya, akan sampai kapan dan sejauh apa kemarahan publik ini terjaga dan tahan untuk mencapai tujuannya?

Pun sekali lagi, runtuhnya rezim Orde Baru tidak serta-merta hanya berhasil dalam sekejap, jalannya begitu panjang dan curam. Tapi semua itu tetap ada dan terjaga karena respon reaktif rakyat selalu menampilkan peran pentingnya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Rizky Surya Nugraha
Rizky Surya Nugraha Waktu tidak pernah berhenti mempekerjakan pendengungnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email