Tragedi Mei 1998 adalah luka lama yang kembali segar tiap disebut namanya, sebab keadilan bagi para korban kejahatan HAM kala itu tak kunjung bersemi. Kekejian 1998 jadi hantu tidak hanya bagi etnis Tionghoa, tapi juga bagi demokrasi bangsa Indonesia.
Tragedi HAM itu kemudian mengantarkan Rezqie M. A. Atmanegara untuk mengenang kembali duka wanita Tionghoa dalam karyanya yang diberi judul Air Mata Hitam Dewi Kwan Im. Puisinya yang terbit bersama buku kumpulan puisi Sesajen (2018) ini berhasil mengalunkan nestapa korban pelecehan seksual, pemerkosaan, serta penganiayaan.
kepada penyemai welas asih
di setiap tempat keluh kesah
dalam amuk kota yang rusuh
di timbunan mayat dan peluru
Puisi ini diawali dengan pemujaan bagi sang tempat mengadu, Dewi Kwan Im. Sang Dewi merupakan penabur welas asih pada hati setiap manusia. Pastilah Dewi Kwan Im yang paling berempati terhadap rasa duka dan lara atas kerusuhan di kota dan timbunan mayat yang habis ditembaki, atas anak-anak dan wanita-wanita Tionghoa yang dilecehkan serta dianiaya.
Dewi Kwan Im semayam di sekuntum Padma
merekah bermekaran kelopak-kelopak air mata
yang berjatuhan berderai dalam guci air sucinya
mengalirkan tembang sengsara etnis Tionghoa
terasing dan terbuang sepanjang deru orde baru
menari sepanjang darah pada lengking yang pilu
Dewi Kwan Im berduka atas apa yang menimpa etnis Tionghoa sepanjang Orde Baru hingga tumbangnya. Air mata Sang Dewi memenuhi guci yang dipegangnya, menampung kesengsaraan yang dialami kaumnya.
Diskriminasi dan politik rasis menyasar warga Tionghoa sepanjang Orde Baru berkuasa. Untuk mewujudkan “integrasi nasional”, pemerintah menetapkan kebijakan asimilasi etnis yang berarti membaur dalam budaya masyarakat setempat hingga identitas Tionghoa tak nampak lagi.
kudengar teriakan dari Semanggi ke Trisakti
beratus perempuan berwajah kesengsaraan
menjerit setiap malam melewati lorong-lorong zaman
bertemankan rintihan bergiliran menggelar upacara tubuh
dalam harapan beratus perempuan menjemput juwita dan pelita
meski selalu mendulang luka dan derita dari lubuk sumur duka
atas pemaksaan rezim yang tunduk dan takluk di telunjuk penguasa
berwibawa jumawa bertakhtakan nafsu angkara
Tragedi Trisakti, aksi kekerasan aparat terhadap mahasiswa yang ikut aksi pada 12 Mei 1998 ini menelan korban jiwa empat orang mahasiswa dari Universitas Trisakti. Mereka ditembak dan pelakunya tak diadili. Lalu, Semanggi, peristiwa diturunkannya Soeharto dari posisi Presiden, digantikan oleh BJ Habibie. Pergantian kekuasaan ini menuai kecaman dari rakyat. Rakyat menuntut pembersihan badan pemerintahan yang baru dari orang-orang Orde Baru. Aksi terus berlanjut hingga puncaknya di bulan November.
Dengan kedua peristiwa itu, kebencian masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru memuncak. Orang-orang berkepentingan tertentu memanfaatkan momen ini untuk memprovokasi kekerasan kolektif terhadap etnis Tionghoa yang kala itu dianggap mendominasi perekonomian karena relasi antara oknum pengusaha Tionghoa dengan penguasa Orde Baru. Kekejian terhadap warga etnis Tionghoa, khususnya perempuan Tionghoa, hingga hari ini belum menuai keadilan.
demi kewelas-asihan Dewi Kwan Im
kulayarkan lampion jiwa di danau kenangan
dentang lonceng membangkitkan ketragisan
beribu lilin merah menyalakan kemanusiaan
beratus nyala tangkai dupa mengasapi doa
desir angin di pucuk bambu menautkan tanya
ke mana kasih sayangmu sebagai sesama?
Dewi Kwan Im pada bait di atas menyimbolkan permintaan tolong atas duka dan luka yang dialami etnis Tionghoa kala itu. Lampion yang merupakan simbol perdamaian dalam kepercayaan Buddha akan membawa jiwa-jiwa para korban dalam damai. Kemudian, dentang lonceng memiliki beberapa fungsi dalam agama Buddha. Ia bisa berarti pembangkit nurani maupun kematian. Lonceng yang seharusnya membangkitkan nurani justru membangkitkan ketragisan. Nyala lilin merah bermakna cinta kasih sesama makhluk hidup yang dilanjutkan dengan pemanjatan doa untuk para korban.
Penggunaan simbol-simbol keagamaan serta kebudayaan Buddha dan Tionghoa ini tepat konteks dan membangun citra yang dekat dengan ingatan orang-orang akan Tragedi Mei 1998. Penutupnya menyentil, berupa pertanyaan akan kemanusiaan dan nurani dari pelaku kekejian terhadap perempuan-perempuan Tionghoa di Tragedi Mei 1998.
di hadapan prasasti peradaban dan tugu kesaksian
kusapu tetesan air mata hitam di mata teduh Dewi Kwan Im
dengan ujung sutra bekas anyir darah beratus perempuanku
mati meregang di atas pertempuran jazirah ranjang
melawan pemerintah yang selalu terbungkam
dalam ingatan yang tertutup dua puluh tahun silam
bertabirkan kabut sejarah di negeri kelam
Bait terakhir puisi ini menjadi penanda serta pengakuan bahwa Tragedi Mei 1998 benar pernah terjadi. Penyebutan “Air mata hitam di mata teduh Dewi Kwan Im” mengulang lagi judul puisi yang menggambarkan ironi, yakni kesedihan pada diri sang Dewi Welas Asih. Bait ini dipungkas dengan menekankan sekali lagi bahwa Tragedi Mei 1998 akan terus diingat sebagai sejarah kelam bangsa Indonesia.
Air Mata Hitam Dewi Kwan Im merekam kisah pilu perempuan yang menjadi korban politik rasis dalam sejarah Indonesia. Sosok Dewi Kwan Im, yang dibunuh oleh sang Ayah meski tak bersalah, adalah simbol yang mengusik lupa. Meski pilu, sejarah ada untuk jadi pijakan menuju hari esok yang lebih baik. Maka, janganlah memori akan tragedi ini mati ditelan zaman. Jadikan ia refleksi, atau jadikan ia puisi—seperti rasa nirpenyesalan Dewi Kwan Im kala membiarkan tangannya dimakan iblis untuk menyelamatkan ayahnya.
Editor: Emma Amelia