Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Photovoice: Perubahan Sosial Melalui Fotografi

Kukuh Basuki

3 min read

Pada tahun 1992, asisten profesor di University of Michigan School of Public Health, Caroline Wang, melakukan riset di Provinsi Yunnan Cina. Pada waktu itu di Yunnan belum ada saluran telepon, jalan aspal, dan transportasi umum. Riset itu bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi kesejahteraan dan kesehatan perempuan di provinsi paling tertinggal di kawasan Cina tersebut. Bekerja sama dengan Mary Ann Burris, relawan di organisasi nonprofit yang berfokus pada kesehatan dan seni budaya, Wang memberdayakan partisipan penelitian untuk dapat turut aktif dalam penelitian dan menyusun sebuah strategi perubahan sosial.

Dengan menggunakan pendekatan photonovella, Wang & Burris memberikan keleluasaan pada partisipan, yang semuanya adalah perempuan dari desa tersebut, untuk mencari foto dengan objek-objek yang mereka anggap berkaitan dengan tema penelitian. Setelah mendapatkan beberapa foto, Wang & Burris mengajak semua partisipan penelitian untuk mendiskusikan foto-foto tersebut dan menggali makna yang ada di dalamnya. Partisipan penelitian dianggap sejajar dengan peneliti, mereka mempunyai keleluasaan untuk menginterpretasi data.

Penggunaan teknologi fotografi juga memberikan keuntungan pada partisipan penelitian untuk bisa lebih “bersuara”. Apa yang sulit mereka ungkapkan dalam kata-kata akan terwakili dengan gambar foto yang mereka dapatkan. Dengan mendiskusikan foto yang didapatnya dengan sesama partisipan dan juga bersama peneliti, partisipan diajak memaknai ulang dengan lebih mendalam realitas di sekitarnya, yang pada hari-hari biasa mereka anggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Hal ini menjadi langkah awal peneliti bersama partisipan mengadvokasi masyarakat Provinsi Yunnan agar suara mereka terdengar dan mendapatkan perhatian pemangku kebijakan.

Baca juga:

Beberapa waktu setelah penelitian itu dipublikasi, terjadi perubahan sosial yang signifikan di Provinsi Yunnan. Infrastruktur transportasi, komunikasi dan layanan kesehatan mulai dibangun. Masyarakat pun mulai lebih sadar dengan kesehatan dan tingkat kesejahteraan diri yang tercermin dari pola hidup higienis sehari-hari.

Atas keberhasilannya metode penelitiannya ini dalam menggerakkan masyarakat, pada tahun 1997 Wang & Burris membuat publikasi jurnal tersendiri mengenai metode penelitian yang sejak saat itu mereka beri nama baru, yaitu metode penelitian photovoice. Sebagai metode penelitian yang lahir dari tradisi participatory action research (PAR), photovoice mempunyai keunikan tersendiri, yaitu menggunakan teknologi fotografi dalam pengambilan datanya. Posisi foto bukanlah sebatas lampiran, melainkan turut menjadi data utama bersanding dengan narasi partisipan dalam mendeskripsikan foto tersebut.

Tiga dasar teori

Sebagai metode penelitian yang relatif baru, photovoice dibentuk oleh tiga teori yang sudah mempunyai akar yang kuat dan mapan dalam tradisi keilmuan. Tiga teori itu adalah pedagogi kritis, feminisme, dan fotografi.

Pedagogi kritis, yang dicetuskan oleh pendidik asal Brazil, Paulo Freire, memiliki keyakinan bahwa pendidikan tidak pernah netral dan selalu bersifat politis. Pendidikan dalam skala nasional misalnya, akan selalu mempunyai kecenderungan untuk menunjang tujuan pemerintah dalam melanggengkan kekuasaannya. Pendidikan semacam itu akan meminggirkan orang-orang yang tidak sejalan dengan gerak politik pemerintah. Mereka adalah kelompok masyarakat marjinal, tersingkirkan, dan tertindas. Biasanya mereka mempunyai kondisi yang rentan, miskin, dan tidak mempunyai saluran aspirasi sehingga lemah secara politis.

Dalam lanskap inilah pedagogi kritis lahir. Pendidikan kritis selalu berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kaum marjinal, masyarakat tertindas, dan kelompok rentan dengan memberi mereka pendidikan. Pendidikan menjadi bekal kaum tertindas untuk mendapatkan hak-hak hidupnya yang selama ini dimonopoli oleh pemerintah dan orang-orang kaya.

Spirit pedagogi kritis ini membentuk photovoice menjadi sangat peka dengan kesenjangan sosial. Sebagai metode penelitian yang lahir dari tradisi participatory action research (PAR), photovoice selalu berpihak pada kelompok masyarakat yang lemah secara ekonomi maupun politik. Photovoice selalu berkecenderungan untuk membuat perubahan sosial dengan cara bergerak bersama. Oleh sebab itulah kesenjangan posisi antara peneliti dan partisipan sebisa mungkin diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Dengan hal itu maka peran masyarakat dalam penelitian bisa lebih banyak. Dampak penelitian pun akan terus berkelanjutan karena masyarakat turut berperan aktif dalam merencanakan dan menjalankan penelitian tersebut.

Feminisme menjadi unsur yang sangat kuat dari penelitian photovoice. Hal itu tak lepas dari penemu metode penelitan, Wang & Burris, yang keduanya adalah perempuan. Latar belakang kedua peneliti sebagai researcher dan juga pekerja sosial membuat mereka sangat peka dengan ketimpangan yang masih dialami perempuan di berbagai belahan dunia.

Baca juga:

Wang & Burris sangat menekankan pembentukan perempuan yang lebih berdaya untuk melakukan perubahan sosial dan memperjuangkan hak-haknya. Spirit utama dari feminisme adalah kesetaraan. Photovoice adalah metode penelitian yang ramah gender, inklusif, dan ramah bagi semua kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, penelitian photovoice sangat efektif sebagai sarana perjuangan sosial perempuan di mana pun yang masih mengalami ketertindasan baik secara ekonomi, politik, maupun budaya.

Teknologi fotografi menjadi pilihan Wang & Burris dalam menyempurnakan metodologi penelitian photovoice. Dengan mencari gambar foto dari kamera, partisipan bisa lebih leluasa mendeskripsikan jawaban yang sesuai dengan tema penelitian dan terbebas dari keterbatasan kata-kata dan sekat budaya yang melingkupinya. Fotografi juga membuat partisipan bisa mengetahui permasalahan dengan perspektif berbeda atau sudut pandang yang lebih luas. Fotografi juga bisa menjadi sumber dokumen yang sangat kuat sekaligus wujud ekspresi dari partisipan dalam melihat suatu permasalahan.

Masa Depan Photovoice

Dalam artikelnya yang berjudul The Future of Health Promotions: Talkin’ Technology Blues (diterbitkan Health Promotion Practice tahun 2000), Caroline Wang mengkritisi bagaimana perkembangan teknologi begitu pesat. Teknologi yang awalnya menjadi harapan untuk membantu kehidupan manusia dan membuat kehidupan lebih baik, malah membawa dampak semakin melebarnya kesenjangan pada kehidupan manusia. Produk teknologi sebagian besar berharga mahal. Oleh sebab itulah hanya orang-orang kaya yang bisa membelinya. Kemudahan dan kenyamanan hidup semakin terakumulasi di sebagian kecil masyarakat kaya, sedangkan masyarakat miskin tetap hidup dengan berbagai kesulitan.

Hanya sebagian kecil produk teknologi yang pada perkembangannya malah menjadi semakin murah dan mudah dioperasikan oleh siapa saja. Salah satunya adalah kamera. Dahulu, pada awal ditemukannya, kamera sangat tidak praktis, bentuknya besar, berat, dan hanya beberapa orang saja yang bisa mengoperasikannya. Namun, seiring perkembangan zaman, kamera bisa menjadi lebih praktis, murah, dan fleksibel. Kini teknologi kamera sudah banyak yang menyatu dengan ponsel dan karena semakin sederhana, semakin banyak orang yang bisa mengoperasikannya. Oleh sebab itu kamera sangat ideal digunakan sebagai sarana penelitian yang melibatkan masyarakat untuk perubahan sosial, salah satu implementasinya adalah metode penelitian photovoice.

Dengan photovoice, Wang & Burris memberikan warna baru pada tradisi participatory action research (PAR). Karena keefektifan dan dampak positifnya, metode photovoice kini mulai dipakai di penelitian di berbagai ranah keilmuan. Seperti pada tesis saya di bidang psikologi yang meneliti tentang kesejahteraan seksual dan persepsi seksualitas pada perempuan penyandang disabilitas fisik.

Terlepas dari begitu vitalnya kamera dalam penelitian photovoice, Wang dengan rendah hati menekankan bahwa foto tetaplah hanya sarana. Sedangkan tujuan utama dari photovoice adalah partisipasi dan pemberdayaan komunitas dalam penelitian untuk perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik. Wang seolah memberikan pesan pada kita bahwa teknologi juga bisa digunakan sebagai alat untuk perubahan sosial jika kita bisa menggunakannya dengan tepat.

 

Editor: Prihandini N

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email