Mahasiswa Sejarah Universitas Andalas

Rupa Suara: Catatan Perjalanan Bebunyian

Tegar Ryadi

3 min read

Beberapa hari sebelum digelarnya kegiatan bedah buku Rupa Suara; Catatan Perjalan Bebunyian yang ditulis oleh Iman Fattah, Minggu, 3 Juli 2022 di kantor IVAA (Indonesian Visual Art Archive), Yogyakarta, saya menyempatkan diri untuk mengunggah poster kegiatan tersebut di media sosial. Seorang teman, abang di kampung saya, Sumatera Barat, tampak antusias berkomentar.

Mantap bukunyo, Gar. Baoklah pulang buku ko, Gar,” pintanya.

“Iyo Bang. Rencananyo nio Wak baok pulang juo.” Balas saya.

Entah “angin” apa yang mendorongnya untuk minta saya membawakan buku tersebut ketika pulang ke Sumatera Barat. Padahal, kalau tidak salah, saya tahu kalau dia jarang sekali bersentuhan dengan perjalanan skena musik modern secara komprehensif melalui literatur, seperti ini. Apalagi dirinya adalah orang yang cukup fokus pada jenis musik ketradisi-tradisian, sejauh pengamatan saya. Apakah mungkin permintaannya dikarenakan judul buku pada poster yang saya unggah dianggapnya menarik? Tidaklah tahu karena percakapan kami hanya sampai di sana, hingga tulisan ini benar-benar rampung ditulis.

Sedangkan bagi saya, nama seorang Iman Fattah tidaklah begitu familiar di telinga. Saya mengunggah posternya pun karena; pertama, sebagai anak magang di IVAA, tentu saya memiliki hak dan kewajiban melancarkan program yang ada. Kedua, dari judulnya, saya membayangkan buku catatan perjalanan yang ditulis oleh Iman Fattah serupa kisah Rani Jambak, seorang seniman bunyi di Sumatera Barat. Yang sampai sekarang, mungkin masih melakukan kerja-kerja “kepeloporan” dalam pendokumentasian bunyi untuk melestarikan identitas budaya.

Apakah Iman Fattah juga melakukan hal yang sama seperti Rani Jambak? Pikir pendek saya. Maka untuk mengetahuihnya, saya langsung membeli buku Iman Fattah, dari istrinya yang tampak setia menemani pada hari digelarnya kegiatan diskusi. Serta dengan percaya diri, saya juga tidak lupa meminta tanda tangan sang penulis, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan peserta diskusi lain.

Barulah setelah kegiatan selesai, saya membacanya, ditemani oleh Pak de Tinus (seorang penjaga kantor IVAA), kopi sisa kegiatan, roti kacang sambil nyebat sebatang rokok juara yang beraroma teh.

Iman Fattah atau selanjutnya kita sepakati bersama (bagi yang tidak sepakat bolehlah mengalah terlebih dahulu) dengan panggilan Fattah Junior. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nuran Wibisono dalam pengantarnya.

“Saya membayangkan Iman merasakan kegundahan yang sama: dibanding-bandingkan dengan sang bapak […] Tak heran kalau misalkan ada banyak orang membandingkan.” (hlm. 9)

Oleh sebab itu, ada baiknya kita harus turut menghargai, bahwa kenyataannya Fattah Junior tidak bisa menolak garis tangan sang ayah, Doni Fattah, seorang basis band legendaris God Bless yang  lagu-lagunya sering saya nyanyikan bersama teman-teman di kampung dulu.

Walaupun terlahir dari keluarga musisi, masa kecil Fattah Junior cenderung lebih banyak bersentuhan dengan anime dan video game, ketimbang musik. Fattah Junior mengakui bahwa dirinya tidak pernah begitu mendalami alat musik apa pun secara serius pada masa kecil.

“Satu-satunya pengalaman belajar instrumen musik waktu kecil adalah saat dipaksa belajar piano klasik dari ibu saya. Itupun hanya bertahan beberapa kali karena guru guru piano yang galak. Keluarga kelas menengah yang besar di Kota Jakarta kemungkinan besar pernah mengalami hal ini.” (hlm. 23)

Lalu, kapan seorang Fattah Junior serius terjun dalam dunia musik?

Ketertarikan pada anime dan video game Jepang mengantarkan Fattah Junior dengan seorang teman bernama Gemby. Selain sesama penyuka anime dan video game Jepang “freak”, Gemby juga merupakan seorang musisi. Fattah Junior pun termotivasi untuk menyelaraskan ketertarikannya dengan lingkungan dunia musik. Dari sanalah sebuah band pertama Fatah Junior yang bernama LAIN dibentuk bersama teman-teman lainnya, yaitu Aghi Narottama dan Haris Khaseli “Zeke” Gumelar. Band tersebut merilis master debut album mereka dengan judul Djakarta Goodbye pada tahun 2001.

Setiap kisah yang dirangkum pada enam bab buku ini tidak hanya memberikan hiburan, melainkan juga berisi nilai pembelajaran dan pengetahuan. Di luar konteks cerita perjalanan Fattah Junior yang pernah meniti perjalanan bermusik di beberapa band besar seperti Zeke and The Popo, dua kali main band dengan Efek Rumah Kaca, hingga Raksasa. Menjajal peran sebagai produser untuk Kartika Jahja, menjadi desainer sound untuk Onrop Musikal dan terlibat dalam program Seniman Mengajar di Desa Sungai Antu yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Membaca buku Rupa Suara: Catatan Perjalanan Bebunyian yang berangkat dari kisah Fattah Junior, membuat saya cukup merasa kecewa dengan diri sendiri.

Kekecewaan pertama adalah ketika saya lupa kalau buku ini adalah sebuah buku catatan perjalanan. Yang tentunya setiap orang punya cerita dan perjalanan berbeda. Kisah perjalanan Fattah Junior memang tidak sama dengan Rani Jambak, seperti apa yang saya bayangkan di awal. Tetapi kisah perjalanan Fattah Junior membawa sudut pandang lain tentang dunia musik yang tidak banyak diketahui orang. Dari perjalanannya, saya melihat bagaimana kondisi perindustrian musik Indonesia pada rentang 1990 sampai awal 2000 yang cukup dinamis. Juga pembahasan yang kritis tentang bagaimana ketersisihan posisi perempuan dalam dunia musik Indonesia.

Kedua, dari awal saya memang tidak memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang pengetahuan musik, yang membuat saya sedikit kesulitan memahami teori-teori musik yang disajikan secara luas dan kompleks di dalam buku ini. Tetapi hal itu bukanlah menjadi permasalahan yang berarti. Justru dengan membaca buku perjalanannya, saya sekaligus mendapatkan pengetahuan baru akan musik secara praktik dan teoretis. Jika pun ada orang-orang yang hanya ingin sekadar menikmati perjalanan kisahnya saja, tetap akan mendapatkan alur cerita yang mengejutkan di dalamnya, sebab buku catatan perjalanan ini dikemas dengan bahasa yang cukup mudah dimengerti.

Ketiga, rasanya ada satu hal yang menurut saya kurang terpenuhi ketika membaca buku ini. Saya lupa memutar lagu God Bless. Lagu jadul yang sering saya dan teman-teman di kampung nyanyikan. Sehingga saya merasa perlu untuk mengulang kembali membaca dari awal sambil diiringi God Bless.

Membaca buku catatan perjalanan ini, memang enaknya sambil dengar lagu God Bless; Rumah Kita. Sebuah lagu yang bisa kembali mengingatkan kita pada “rumah”. Tempat yang menenangkan jika kita sedang melakukan perjalanan, dan mungkin sesekali menuliskannya menjadi sebuah catatan perjalanan. Katakan saja salah satunya seperti yang dilakukan oleh Fattah Junior di dalam buku ini. Betapa asyik dan senang membayangkannya. Cobalah!

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Tegar Ryadi
Tegar Ryadi Mahasiswa Sejarah Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email