Setelah membaca Pesantren Monarki tulisan Agus Ghulam Ahmad dan Keluarga Pesantren yang Merakyat tulisan Cangker Sholihuddin, saya ingin menanggapi keduanya dengan sebuah opini yang santai dan kekeluargaan.
Bagi saya pribadi yang lahir di lingkungan pesantren dan menjadi santri di pesantren lain selama 8 tahun, saya mengilustrasikan pesantren sebagai sebuah rumah. Rumah yang menyediakan makanan, tempat santri bisa makan (mendapatkan ilmu), memenuhi lapar dan dahaga ketidaktahuan.
Bayangkan saja jika pesantren itu rumah yang menyediakan makanan, dan setiap pesantren punya ciri khas masakan yang berbeda. Masyarakat bisa memilih dengan senyaman hati mereka, rumah mana yang akan dijadikan sebagai tempat mendapatkan dan mengolah makanannya.
Setelah kita memasuki rumah tersebut, tentulah di setiap rumah juga ada kepala dan anggota keluarganya. Pak Kyai-Bunyai sebagai bapak ibunya, lalu santri dianggap sebagai anak-anaknya. Setiap santri pasti pernah mendengar Kyai-Bunyai memanggil santrinya sebagai “anak-anakku”. Banyak juga santri memanggil para Kyai-Bunyai pemilik pesantren dengan sebutan Abah-Umi/Buya-Ummah/Abi-Ibu yang tidak lain artinya sendiri adalah Ayah dan Ibu atau yang tidak lain adalah panggilan untuk orangtua.
Ketika memasuki rumah tersebut, tentu saja ada yang namanya etika. Sama seperti ketika kita sedang berkunjung ke rumah tetangga, tentu saja kita harus memosisikan diri sebagai tamu yang santun.
Seperti yang pernah kita dengar “tamu adalah raja”. Tamu punya hak sebagai raja, namun bukankah raja yang bijaksana juga harus menjunjung tinggi kesopanan dan kesantunan?
Biarlah masalah sanjung-menyanjung putra-putri Bunyai dijadikan masalah antar individu saja. Mungkin ada beberapa yang ingin menyanjungnya karena ingin mengaplikasikan-mengamalkan isi dari kitab-kitab akhlak yang telah dikajinya, misalnya “hormati gurumu beserta keluarganya”. Mungkin ada yang tidak ingin juga dan mungkin itu bukanlah sebuah masalah.
“Saya, kan, belajarnya dari bapak-ibunya, bukan dari anaknya.” Barangkali anak-anaknya yang disebut-sebut sebagai putra-putri mahkota itu umurnya/ilmunya belum cukup untuk diberi mahkota, sehingga kita enggan untuk menyanjungnya, mungkin itu juga bukan suatu masalah.
Toh, sepertinya tidak semua putra-putri dari Pak Kyai dan Bunyai tersebut ‘mau’ dan ‘merasa layak’ untuk disanjung hanya karena mereka sudah menjadi anak Pak Kyai dan Bunyai sejak dilahirkan. Kan, mereka juga tidak bisa menolak begitu dilahirkan, lalu tahu-tahu mereka menjadi anak yang disebut ‘punya kerajaan’, lalu mereka bilang “aku mau jadi orang biasa saja, bisa tidak lahirkan aku dari rahim yang berbeda?” kan tidak mungkin.
Lalu yang terakhir, urusan cangkok-mencangkok Gus-Ning. Mari sebelumnya kita kembali lagi kepada kalimat ‘pesantren adalah rumah yang menyediakan makanan’. Jika di dalam rumah tersebut tersedia makanan, tentu saja berarti ada pengelola juga di baliknya, seperti ada orang yang memiliki rumah, ada orang yang merawat rumah dan ada orang yang memasak di satu rumah yang sama.
Barangkali memasak bukanlah hal yang mudah dan untuk menjadi tukang masak di rumah yang ramai atau memasak untuk porsi besar juga bukanlah hal yang mudah dan bisa dilatih dengan instan. Maka, bukankah hal yang wajar jika kepala keluarga mencari tukang masak atau orang yang bisa memasak atau orang keturunan tukang masak untuk dinikahkan dengan putra-putrinya yang masih suka kelebihan garam di masakannya?
Atau barangkali, ada orang bukan dari keturunan tukang masak, tapi ia datang dengan keahlian memasak dan mau mendedikasikan diri ke dalam dapur untuk ‘rumah yang menyediakan makanan’ itu. Tak ada salahnya, kan?
Barangkali menjaga keutuhan makanan dan melestarikan kehidupan di dalam rumah tersebut lebih penting dari mendirikannya. Toh, mendirikan pesantren juga bukanlah semacam mendirikan bisnis, atau barangkali ada pesantren yang memang didirikan dengan tujuan bisnis, itu beda lagi.
Jadi, apa yang membuat masyarakat resah dengan adanya pernikahan antar anak orang yang memasak?
Mungkin itu hanya semacam upaya melestarikan tukang masak agar terus/tetap ada orang untuk memasak di rumah yang menyediakan makanan itu, atau sebagai upaya untuk melestarikan cita rasa yang khas dari masakan di rumah itu. Toh, ujung-ujungnya hasil masakannya akan disediakan bukan hanya untuk anggota keluarga, tetapi juga untuk semua yang ada di dalam rumah itu, dan siapa saja bagi yang mau datang dan memakan makanan dari rumah itu.
Setelah dirasa cukup kenyang, bisa saja ada yang pergi, atau mencari rumah lain untuk mencicipi masakan yang lain. Perjalanan dari rumah ke rumah itu yang mungkin dapat menjadi pengaya pengalaman rasa di lidah kita. Agar kita tak mudah memaksakan satu perspektif untuk diamini semua orang. Sebab, perbedaan justru bisa kita jadikan kacamata, untuk melihat sesuatu tak hanya dari satu sudut pandang saja.
Bisa juga, ia yang telah datang tak terlalu peduli bagaimana proses makanan di rumah itu diracik, dan bagaimana cita rasanya dijaga selama bertahun-tahun. Sementara mereka yang memasak, tetap di rumah itu, menjaga masakannya agar rumahnya tetap hidup dan lestari.
Barangkali kata-kata Kunto Aji dalam lagunya Saudade masuk dalam konteks ini: “Jadilah besar bestari dan manfaat tuk sekitar.”
***
Editor: Ghufroni An’ars