Alangkah indah langkah

Keluarga Pesantren yang Merakyat

Cangker Sholihuddin

2 min read

Tulisan Agus Ghulam Ahmad, Pesantren Monarki, mendorong saya untuk menyambung diskusi tentang perdebatan sistem kepemimpinan turun menurun ala monarki dalam keluarga pesantren. Saya memiliki pandangan berbeda dengan Agus. Di negara ini, pesantren sebagai NU kecil turut menjunjung tinggi demokrasi dan menerima asas pancasila. Lantas, jika pesantren mengakui adanya demokrasi, bagaimana dengan sistem monarki yang dituding ada di tubuh pesantren?

Kepemimpinan di pesantren

Dalam sistem monarki, raja terlebih dahulu mengikrarkan dirinya sebagai pemimpin dan seluruh anggota masyarakat wajib tunduk kepadanya. Dari situ, terbentuklah strata sosial yang bersifat permanen. Hal ini berbeda dengan sejarah awal berdirinya pesantren.

Pada awal pendiriannya, pesantren adalah sekelompok orang yang belajar agama. Kelompok tersebut berkembang seiring bertambahnya jamaah atau murid. Kemudian, kelompok masyarakat sekitar pun sepakat untuk mendirikan bangunan pesantren yang dipimpin kyai dan santri sebagai muridnya.

Kyai, sebagai pemimpin pesantren, tidak pernah menyatakan diri selayaknya raja apalagi sebagai pemimpin. Hal ini tak terjadi karena latar belakang kyai yang berpegang teguh pada ajaran Islam. Sedari awal, para kyai diajari untuk bersifat rendah hati yang dalam dimensi sufisme atau tasawuf dikenal dengan istilah tawadhu’. Kyai memimpin pesantren karena memang ia telah dipercaya masyarakat sekitar untuk mengambil peran tersebut dan tidak menjadikannya sebagai atribut sosial.

Regenerasi Pesantren

Dalam literatur Islam, ilmu begitu dihormati. Bahkan, dalam salah satu literatur Islam klasik ada perkataan yang berbunyi:  “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada orang yang durhaka.” Literatur itu mengungkapkan bahwa ilmu tidak hanya bersifat duniawi, tapi juga bersifat transenden.

Berangkat dari keagungan terhadap ilmu, salah satu bentuk penghormatannya adalah dengan menghormati orang yang berilmu beserta keluarganya, dalam kasus ini adalah keluarga kyai beserta turunannya, yaitu gus dan ning. Di sini, perlu ditekankan bahwa penghormatan kepada gus atau ning bukan berangkat dari kepatuhan buta, melainkan berangkat dari sudut pandang bahwa sang kyai telah menyebarkan ilmunya.

Kita bisa membandingkannya. Misalnya, gus dan ning dapat kita bandingkan dengan putra dan putri dari seorang bos perusahaan besar yang telah memberi jasa besar kepada hidup kita. Bagaimana sikap kita kepada anak bos perusahaan besar itu? Tentu kita akan menghormatinya atas dasar jasa bapaknya, bukan?

Gus, sebagai putra kyai, sebagaimana orang pada umumnya, tentu dipersiapkan sedemikian rupa baik dalam ilmu agama maupun bekal kehidupan bermasyarakat untuk menggantikan posisi sang kyai. Lantas bagaimana jika gus itu kurang layak atau bahkan tidak layak?

Baca juga:

Banyak bukti nyata menunjukkan bahwa ketika gus atau ning tidak layak sebagai penerus, posisinya akan digeser oleh gus atau ning cangkokan yang lebih layak. Apakah itu termasuk strategi politik untuk melanggengkan kekuasaan? Hal itu tidak sepenuhnya salah. Bukankah hal itu malah menjadi baik, mengingat tujuan kyai adalah menjaga keutuhan sanad keilmuan? Tak selamanya strategi politik itu dipandang sebagai suatu yang negatif.

Pesantren dan Masyarakat

Hanya karena melihat seakan-akan ada strata sosial yang tercipta di lingkungan keluarga pesantren, bukan berarti pesantren akan membeda-bedakan dirinya dengan masyarakat luar. Seperti yang telah disinggung sedari awal, pesantren awalnya tercipta dari lingkungan masyarakat sekitar, dan hingga sekarang pesantren menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri.

Kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren tak memisahkan diri dari masyarakat. Kita bisa ambil contoh pengajian umum yang banyak digelar oleh beberapa kyai di desa. Dalam kegiatan tersebut, warga sekitar digandeng sebagai mitra ekonomi atau mitra dalam bidang lainnya. Pesantren memiliki nuansa dari dalam maupun dari luar dirinya sebagai lembaga pendidikan. Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa sejak awal berdiri, pesantren selalu ambil bagian dalam memperjuangkan bangsa ini, dan turut menjunjung sistem demokrasi dan asas Pancasila.

 

Cangker Sholihuddin
Cangker Sholihuddin Alangkah indah langkah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email