Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang kini telah disahkan menuai polemik dan kritikan oleh berbagai kalangan. Sistem kebut semalam yang dijalankan demi meloloskan RUU tersebut terkesan sembunyi-sembunyi dan tidak transparan. Alih-alih menggunakan gedung DPR sebagai tempat pembahasan RUU TNI, Komisi 1 DPR justru menggunakan hotel sebagai tempat berlangsungnya pembahasan; sesuatu yang berbanding terbalik dengan apa yang selalu didengungkan pemerintah saat ini yakni efisiensi anggaran.
Dalam RUU TNI yang baru, revisi beberapa pasal dilakukan dengan dalih mengikuti tuntutan perkembangan zaman, salah satunya yaitu terkait penambahan empat pos sipil yang dapat ditempati prajurit TNI dari sepuluh pos menjadi empat belas pos. Perluasan sektor peran TNI yang mencakup penanganan terorisme, keamanan perbatasan serta penanganan bencana menjadi dasar penambahan pos sipil baru untuk TNI.
Pembahasan terkait perluasan kewenangan TNI di luar urusan pertahanan negara sebenarnya telah lama menjadi bahan pembicaraan dan diskusi. Mengapa demikian? Untuk memahaminya, perlu ditilik kembali situasi militer Indonesia sejak akhir dekade 1990-an. Di mana ketika itu, militer memiliki peran ganda yang dikenal luas sebagai dwifungsi ABRI—organisasi gabungan TNI & Polri selama 1962-1999, di mana ABRI berperan penting sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sekaligus juga sebagai alat sosial dan politik. Sistem ini sendiri pada akhirnya menempatkan Indonesia menjadi negara militeristik di bawah rezim junta.
Baca juga:
- RUU TNI: Mengembalikan Dwifungsi ABRI dalam Wajah Baru?
- Dari Dwifungsi ke Multifungsi: Melihat TNI Menari di Atas Kuburan Reformasi
Akhir dekade 1990-an menjadi saksi periode senja sekaligus kejatuhan rezim Suharto. ABRI yang kala itu masih sangat kuat dalam mengontrol segala lini kehidupan bernegara, menempatkan banyak personelnya hampir di seluruh institusi yang ada, seperti di DPR dengan perwakilannya di fraksi ABRI, kemudian penempatan kalangan militer pada posisi kepala daerah di berbagai tingkat, hingga satuan terkecilnya, Babinsa (Bintara Pembina Desa), ditempatkan sebagai alat kontrol masyarakat di tingkat akar rumput.
Ketika gelombang gerakan reformasi menggema di seluruh wilayah Indonesia, salah satu tuntutan dari gerakan reformasi adalah dihapuskannya sistem dwifungsi ABRI yang telah berjalan puluhan tahun. Ketika itu terjadi, ABRI belum cukup siap untuk melepas sepenuhnya kendali atas sosial politik yang telah lama dipegang. Oleh karena itu, fungsinya sebagai kekuatan sosial politik tidaklah sepenuhnya langsung dilepas, dapat dilihat dengan masih adanya penunjukan perwira TNI sebagai menteri dalam Kabinet Reformasi Pembangunan dan Kabinet Persatuan Nasional serta perwakilan fraksi TNI/Polri di DPR pada periode 1999-2004. Hal itu dilakukan sebagai upaya proses transisi militer Indonesia dalam melepas keterlibatannya dalam lanskap sosial dan politik. Baru pasca tahun 2004 bersamaan dengan berlakunya UU No. 34 Tahun 2004, TNI mulai diarahkan sepenuhnya menjadi militer yang profesional di bawah kontrol supremasi sipil.
Fenomena Perwira Nonjob
Ketika UU No.34 Tahun 2004 diberlakukan dan organisasi TNI telah sepenuhnya diarahkan untuk menjadi militer yang profesional, muncul fenomena baru di mana banyak perwira yang mulai tak mendapatkan jabatan (nonjob) imbas dari surplusnya jumlah perwira TNI. Fenomena ini sendiri diduga mulai terjadi sekitar tahun 2010-an awal, tak lama setelah UU TNI disahkan pada tahun 2004. Namun lambannya respon yang diambil oleh Markas Besar TNI dalam mengantisipasi persoalan tersebut pada akhirnya menjadi bom waktu bagi TNI itu sendiri.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi pada tahun 2019 misalnya, pernah menjelaskan bahwa masalah kelebihan perwira sudah lama terjadi. Namun kerahasiaan dan tabunya fenomena tersebut apabila diketahui publik menyebabkan tidak adanya langkah konkret yang diambil sedari awal untuk mengatasi masalah tersebut. Belakangan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi fenomena tersebut, salah satunya dengan penambahan dan pembentukan pos-pos baru di tubuh militer. Pembagian Komando Armada Barat dan Timur menjadi Komando Armada 1,2,3 dan Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan menjadi contoh dari upaya perluasan struktur di tubuh TNI. Langkah yang diambil ini meski tidak mengatasi masalah tetapi setidaknya dapat mengurangi kelebihan perwira nonjob.
Perpanjangan Usia Pensiun : Sebuah Solusi?
Pasal 53 pada UU TNI tahun 2004 yang memperpanjang usia pensiun perwira dari 53 tahun menjadi 58 tahun dan bintara dengan tamtama dari 48 tahun menjadi 53 tahun dibuat tanpa langsung diikuti dengan perubahan ketentuan kenaikan pangkat dan antisipasi dampak dari perpanjangan usia pensiun. Akibatnya, terjadi fenomena perwira yang berstatus nonjob dan jumlahnya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bila dengan aturan usia masa dinas sekarang saja dapat menimbulkan permasalahan padahal sudah dilakukan upaya penambahan pos dan struktur di tubuh TNI, apalagi dengan perubahan pasal 53 yang menambah usia pensiun sampai 58 tahun hingga 63 tahun, bisa dipastikan masalah perwira nonjob tak akan kunjung selesai.
Baca juga:
Tinjau Kembali!
Reformasi militer yang sudah berjalan pasca keruntuhan Orde Baru pada awalnya cukup berjalan sukses. Puncaknya adalah lepasnya militer dalam kehidupan politik, meskipun langkah itu juga menjadi awal dari masalah sebab posisi-posisi sipil yang biasa ditempati perwira menjadi tidak ada. Walau demikian, harapan atas penyelesaian masalah itu sebenarnya tetap ada. Kuncinya ada pada pasal terkait usia pensiun ini.
Perpanjangan usia pensiun pada revisi UU TNI ini sendiri perlu ditinjau dengan serius. Sebab pasal ini menjadi salah satu pasal yang berkontribusi penting dalam menciptakan fenomena perwira nonjob. Ironisnya, alih-alih pasal ini ditinjau kembali dengan serius untuk dikoreksi, justru penambahan usia pensiun menjadi pilihan dalam revisi UU TNI. Padahal masalah perwira nonjob tidak akan kunjung selesai meskipun dilakukan upaya penambahan posisi-posisi baru di tubuh TNI. Jika saja pasal terkait usia pensiun ini ditinjau dengan serius, penambahan pos sipil baru untuk diduduki prajurit TNI tidak akan menjadi pertimbangan serius dan pada akhirnya tidak akan memicu polemik di kalangan sipil seperti saat ini.
Jangan sampai UU TNI yang kini telah disahkan menjadi awal dari pelemahan supremasi sipil yang selama ini dibangun sekaligus juga pelemahan terhadap TNI itu sendiri. Karena pada hakikatnya TNI didesain untuk menjadi alat pertahanan negara bukan menjadi birokrat ataupun menangani hal-hal di luar urusan militer yang biasa dikerjakan oleh kalangan sipil. (*)
Editor: Kukuh Basuki