Negosiasi Peran Perempuan dalam Bahasa Koreografi

Lestari

5 min read

Pada mulanya ruang itu adalah aula kosong yang diterangi lampu sorot berwarna putih. Bagian tengah ruangan mulai diisi dua bangku kayu yang disusun dengan jarak sekitar dua meter. Kemudian, sebilah bambu ditaruh di atasnya hingga menyerupai jembatan di antara bangku-bangku. Dua bilah bambu yang lebih pendek ditaruh di kolong masing-masing bangku dan sebilah lagi tergeletak di lantai. 

Empat lampu sorot diletakkan di lantai aula bagian depan dan belakang. Dua di depan, dua di belakang, menjadikan aula purna sebagai arena pertunjukan.

Seorang pemandu acara mengisi keheningan aula dengan membacakan catatan pengantar atau kuratorial pertunjukan. Usai catatan kuratorial disampaikan, dua penampil berpakaian kaus dan celana pendek hitam masuk ke area pertunjukan membawa benda serupa kain terlipat.

Lalu, mereka menaruhnya di bawah kolong dua bangku. Mereka pun duduk bersila sembari mempersiapkan diri untuk memukau penonton.

Begitu terdengar kata-kata “selamat menyaksikan!” dan riuh tepuk tangan, cahaya putih yang semula menerangi ruangan perlahan meredup dan berganti dengan sorot lampu jingga dari pojok kanan kiri depan area pertunjukan.

Ruang aula yang semula padang jingglang berubah serupa jalanan di kala gulita malam yang hanya disorot redup lampu jalan. Meski gelap, sorot lampu itu cukup untuk menerangi dua sosok penampil dan rangkaian properti yang telah ditata. 

Ruang aula itu sebenarnya merupakan sebuah studio yang sehari-hari digunakan secara kolektif oleh Garasi Performance Institute sebagai ruang penciptaan seni pertunjukan.

Pada suatu malam di bulan ketiga, Garasi menghelat ajang presentasi dari seni koreografi karya Siska Aprisia. Tulisan ini ingin mendeskripsikan dan menafsir estetika ketangkasan gerak Siska dengan rekan penampil (Melani). Secara khusus, bagaimana Siska Aprisia menarasikan laku keseharian dan menuturkan negosiasi melalui bahasa koreografi. 

 

Narasi Laku Keseharian dalam Bahasa Koreografi 

Awalnya, Siska dan Melani hanya terbaring diam di lantai. Perlahan, mereka menekuk lutut, memutarnya, lalu menegakkan tubuh dan berbaring lagi. Kemudian, kedua penari berdiri menghadap ke belakang dengan bertumpu pada bangku dan segera duduk seraya membungkuk dalam ketukan tempo yang cepat.

Mereka menegakkan tubuh lagi dan menghadap serong kanan, lalu meluruskan lengan dan perlahan mengelus keduanya secara bergantian serupa gerakan membilas.

Gerak-gerik mereka terlihat dilakukan dengan tempo lambat-cepat-lambat-cepat, memunculkan kesan dinamika gerak dari lamban menjadi tangkas.

Gerak-gerak itu adalah kata-kata yang dialihkan dalam estetika laku tubuh, karena satu kesatuan geraknya adalah bahasa. Bahasa koreografi yang hendak menuturkan suatu narasi. 

Fragmen pertama ini menuturkan laku keseharian para penampil di pagi hari. Gerakan berbaring dan menegakkan tubuh menggambarkan rutinitas bangun tidur, sedangkan gerak membilas lengan menggambarkan rutinitas mandi. Kemudian, mengenakan pakaian menunjukkan rutinitas mempersiapkan diri bertandang ke tempat kerja. 

Bunyi dengung mengiringi tatanan bahasa koreografi tersebut, lalu disambut alunan ritmis yang monoton dari instrumen serupa perkusi. Setelah itu, mereka berdiri dan bergegas mengambil kain berwarna putih yang tadinya diletakkan di kolong bangku.

Siska dan rekannya mengibaskan kain tersebut dan terlihat bahwa itu bukan sehelai kain, melainkan satu stel pakaian. Mereka mengenakan pakaian terusan serupa pakaian buruh atau bengkel berwarna putih polos. 

Kemudian, kedua penampil menambah sentuhan di kepala dengan mengenakan ikat kepala dari kain batik Minang. Gaya ikat kepala yang dipilih disebut Deta, salah satu model ikat kepala dalam tradisi Minang digunakan khusus oleh kaum lelaki.

Biasanya, Deta dimaknai sebagai pertanda status sosial seseorang atau pertanda anggota perkumpulan silat. Dengan Siska bersama rekan penarinya mengenakan ikat kepala khusus laki-laki, boleh jadi hal itu menjadi simbol dari sifat maskulin yang berusaha Siska rengkuh untuk masuk ke dalam dirinya. 

Fragmen selanjutnya menuturkan aktivitas keseharian tentang praktik pekerjaan. Mereka memindahkan dua bilah bambu dari kolong bangku ke atas kepala masing-masing. Setelah itu, Siska memutar-mutar kedua lengannya seakan ia sedang memasak dengan spatula dan sebuah panci. Namun, makanan itu tak pernah tersaji sebab kedua tangannya selalu sibuk memasak sesuatu yang tak kasat mata.

Sambil mempertahankan gerak, Siska kerepotan menangkap bambu yang beberapa kali terjatuh. Barangkali bambu itu adalah simbol dari sesuatu yang menghimpit Siska dalam mengarungi ranah domestik. Bisa jadi berupa tekanan dari orang-orang sekitar yang tak pernah usai menyergap Siska. Sementara, ia masih harus menyelesaikan tugas-tugas domestik itu yang juga tak kunjung mencapai henti.

Sementara, Melani memutar-mutar kedua tangannya seakan-akan ia sedang mencuci dan mengelap piring yang bertumpuk. Seluruh gerakan tadi mereka lakukan secara repetitif dengan tempo yang cepat.

Selagi menuturkan praktik-praktik kerja melalui bahasa koreografi, wajah mereka memperlihatkan keletihan dan kejenuhan. Tak ada senyum menyungging atau tawa lepas dari wajah masing-masing penari. Fragmen di atas dan di paragraf sebelumnya menyiratkan suatu praktik kerja domestik yang memiliki beban berlapis dan upaya mereka bertahan.

 

Dialog Negosiasi dalam Keserasian Gerak

Fragmen ketiga, fragmen yang cukup berbeda karena tak menunjukkan praktik keseharian yang umum.

Pada fragmen ini Siska dan Melani mengambil bilah bambu yang terletak di atas kepala masing-masing dan meletakkan sebilah bambu yang lebih panjang di atas kepala mereka. Kedua penari perlu mempertahankan keseimbangan tubuh bersama-sama agar sebilah bambu nan berat itu tak goyah atau jatuh. Lalu, dua bilah bambu sebelumnya digenggam tangan kiri mereka. 

Keseimbangan semakin diuji ketika dua penari perlu berjalan perlahan mengitari jembatan bambu sembari terus saling bertukar bambu yang dipegang. Gerakan bertukar itu dilakukan selambat mungkin dan menimbulkan kesan bambu yang bergerak melingkar.

Sebilah bambu di atas kepala dan kedua bambu di tangan kedua penari adalah simbol beban ganda yang sama-sama menghimpit laku keseharian mereka. Siska dan Melani begitu serasi dalam gerak seirama dan satu napas, hingga bambu yang ditanggung bersama tak goyah sedikit pun.

Kedua bambu dalam genggaman tangan pun tak berhenti bergerak melingkar. Fragmen ini menggambarkan tercapainya dialog negosiasi halus melalui keserasian dua insan.

 

Respon Kewaspadaan Melalui Bahasa Koreografi Silat Ulu Ambek

Keharmonisan itu segera saja berganti menjadi rusuh dalam fragmen keempat.

Masih dengan beban sebilah bambu di atas kepala mereka, Siska dan Melani berdiri di atas dua kursi yang sempat diletakkan di samping kanan kiri jembatan bambu. Dua bilah bambu yang semula digenggam berakhir tergeletak di lantai. Masih dengan sebilah bambu di atas kepala, mereka beradu silat melalui serangan dan tangkisan kaki serta tangan. 

Begitu tangan mulai saling menangkis, cahaya semerah darah tiba-tiba muncrat ke tembok menerangi ruang. Cahaya itu bukan sekedar pelengkap estetika arena pertunjukan, melainkan menjadi lambang dari situasi penuh ketegangan dan kewaspadaan. Nyala merah cahaya itu semakin memperjelas apa yang tengah dilakukan Siska dan Melani. Mereka berupaya saling menuturkan negosiasi dengan keras sambil terus berwaspada.

Dalam fragmen kelima, ada semacam narasi yang berusaha menjelaskan apa sebenarnya maksud dari persilatan itu.

Narasi dituturkan dalam tutur lisan dan tutur gerak yang termanifestasi dalam bahasa koreografi. Tutur lisan diserukan oleh Melani dalam bahasa Minang dan tutur gerak yang dirangkai Siska diambil dari kosakata-kosakata gerak silat Ulu Ambek, jenis silat yang berasal dari tanah kelahiran Siska: Sumatera Barat.

Siska beralih tempat ke lantai dan Melani menanggung sebilah bambu itu sendirian di atas jembatan bambu. Siska berjalan dengan kesadaran penuh, mengitari Melani dan jembatan bambu sembari bersilat. Sementara, Melani menggerakkan kedua tangannya bergantian ke atas bawah diselingi gerak mengukel.

Tangannya bergerak halus dan kakinya berjalan memutar. Sembari terus berjalan 360 derajat di tempat, Melani menuturkan bait-bait tutur lisan yang menyiratkan nasihat dari ibu kepada anaknya. Tutur lisan itu ternyata sejenis tradisi lisan yang biasa diserukan seorang ibu atau bapak kepada anaknya yang akan merantau. Dalam tradisi Minang, tutur lisan itu diberikan khusus kepada laki-laki yang akan merantau. 

Siska yang terus bersilat mengitari Melani seolah-olah juga ikut menuturkan tradisi lisan yang Melani serukan dengan bahasa koreografi. Fragmen ini menjadi ungkapan memori Siska ketika Ibunya menuturkan nasehat baginya sebelum beranjak dari Nagari Minang. 

 

Upaya Negosiasi Siska Melalui Ulu Ambek yang Baru

Ulu Ambek merupakan salah satu bentuk seni persilatan estetis dari daerah Pariaman, Sumatera Barat. Ia begitu estetis karena gerak silat yang meniadakan sentuhan fisik sehingga keluwesan gerak menjadi lebih terlihat. Estetika gerak juga diraih melalui pola penyerangan dan penangkisan yang menjadi unsur utama gerak. 

Lebih lanjut, penyerangan dan penangkisan tersebut ternyata merupakan simbol pemberian dan penerimaan dari seorang guru kepada muridnya. Hal yang diberi dan diterima itu adalah pembelajaran budi dan pengetahuan spiritual.

Dalam bentuk tradisinya, Ulu Ambek hanya dilakukan oleh para laki-laki dalam suatu arena yang dinamakan laga-laga. Pakaian yang dikenakan juga merupakan pakaian silat khusus berupa baju hitam berlengan, celana hitam besar, kain sarung, dan ikat pinggang. 

Menilik kembali catatan kuratorial Ruang Waspada, dijelaskan bahwa Siska mendapatkan kesempatan untuk mempelajari Ulu Ambek dan merasa bahwa sensibilitasnya dalam membaca kewaspadaan meningkat ketika merantau. Kepekaan dan kewaspadaan yang semakin tajam ternyata membantu Siska dalam membaca posisi perempuan di lingkungan kerja dan domestik.

Pada akhirnya, Ruang Waspada yang Siska rangkai bukan sekadar gerak indah dan akrobatik. Tatanan koreografinya adalah ringkasan pendek dari perjalanan panjang untuk Siska menempuh jalan baru yang melampaui celah-celah himpitan. Itu semua tergambarkan melalui fragmen-fragmen yang disusun dengan bahasa koreografi.

Pertama, dua fragmen awal menggambarkan situasi yang mengitari Siska: laku keseharian yang dipenuhi beban domestik dan pekerjaan. Kedua, fragmen keserasian gerak antara Melani dan Siska menjadi simbol tercapainya dialog negosiatif yang halus. Ketiga, fragmen adu silat mereka menjadi lambang upaya negosiasi keras dan respon kewaspadaan yang muncul secara refleks. Keempat, fragmen tutur lisan Melani dan tutur gerak Siska menjadi simbol tradisi lisan nasihat orangtua kepada anaknya yang akan merantau. 

Apabila kita memaknai Ruang Waspada sebagai narasi perjalanan Siska, maka terlihat kelindan antara konteks Siska sebagai perempuan Minang yang merantau dengan fragmen-fragmen koreografinya. Tradisi lisan yang dituturkan Melani dialihtubuhkan ke dalam bahasa koreografi Ulu Ambek.

Upaya alih tubuh ini juga merupakan upaya Siska bernegosiasi dengan subjek lain yang ia temui dan situasi penuh kewaspadaan dalam ruang-ruang kerja dan domestik. Secara radikal, Siska berupaya bernegosiasi dengan tradisi yang begitu maskulin. Upayanya itu membuahkan sebuah silat Ulu Ambek yang baru.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Lestari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email