Eksistensialisme Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir acap kali dipahami sebagai aliran filsafat yang menitikberatkan kebebasan individu dan tanggung jawab tiap individu terhadap pilihan hidupnya masing-masing. Namun, ketika konsep cinta dihadapkan dengan prinsip-prinsip eksistensialisme ini, kita dapat melihat munculnya ambiguitas yang mempersoalkan hubungan antara kebebasan dan komitmen emosional.
Cinta, dalam pandangan Sartre dan Beauvoir, menghadapi dualitas: di satu sisi dipandang sebagai bentuk keterkaitan yang mengancam kebebasan, sementara di sisi lain, kisah cinta ikon Prancis ini menjadi hubungan romantis yang paling ikonis di abad ke-20. Mari kita menyelam dan melihat bagaimana pandangan Sartre dan Beauvoir terhadap cinta berhadapan dengan kenyataan pribadi mereka.
Paradoks Konsep Cinta
Sartre memandang cinta bukan hanya sekadar perasaan yang murni atau ideal, namun lebih sebagai konfrontasi antara keinginan menjadi “subjek” yang bebas dan keinginan untuk “menguasai” orang lain. Ia secara terbuka mengatakan bahwa “neraka adalah orang lain,” kalimat yang menggambarkan betapa sulitnya menemukan hubungan yang setara dan tidak saling mengekang dalam eksistensialisme. Dalam konteks cinta, ia berpendapat bahwa cinta akan selalu membawa pada upaya untuk mendominasi pasangan, yang pada akhirnya mengekang kebebasan individu masing-masing.
Simone de Beauvoir, dalam novel semi-autobiografisnya L’invitée (1943), juga mengisahkan kegagalan cinta dalam suatu hubungan segitiga, di mana kecemburuan dan kebencian berkembang lebih besar daripada kasih sayang. Kisah ini berdasarkan pada kehidupan nyata Beauvoir sendiri, menegaskan bahwa setiap usaha untuk mencintai hanya berakhir pada kegagalan. Romansa adalah ilusi yang rapuh dan menjebak perempuan dalam peran-peran tradisional yang memperbudak mereka sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, tema yang akan dia ulas lebih dalam pada buku The Second Sex. Bagi Beauvoir, cinta bukanlah jalan menuju kebebasan, melainkan sebuah lembaga sosial yang memaksa perempuan untuk tunduk dalam “permbudakan” kehidupan domestik.
Meskipun konsep filsafat mereka menolak cinta romantis karena menganggapnya sebagai bentuk penindasan, realitasnya Sartre dan Beauvoir justru memiliki hubungan kuat dan berkelanjutan. Cinta mereka membawa kompleksitas yang tidak sejalan dengan teori mereka sendiri. Meski mereka menjalani hubungan yang tidak secara emosional (hubungan terbuka) yang memungkinkan keduanya memiliki pasangan lain. Namun, hal ini tidak menghapus fakta bahwa hubungan mereka tetap menjadi pusat kehidupan pribadi masing-masing, meskipun mereka menolak pernikahan dan komitmen lebih lanjut.
Surat dan tulisan pribadi mereka yang diterbitkan ketika Sartre wafat, membuka aspek baru dalam pemahaman kita terhadap dinamika mereka sebagai kekasih sekaligus mitra intelektual. Cobalah lihat surat cinta Sartre untuk Beauvoir ini:
“Gadis kecilku yang tersayang,
Sudah lama aku ingin menuliskan surat untukmu di malam hari, setelah keluar bersama teman-teman seperti yang akan segera kuceritakan dalam tulisan berjudul “Kekalahan” — sebuah kisah tentang saat-saat ketika dunia seolah milik kita. Aku ingin membawa kebahagiaan penuh kemenangan dan meletakkannya di kakimu, seperti yang dilakukan para penakluk di era Raja Louis XIV. Namun, lelah setelah kebersamaan itu, aku selalu langsung pergi tidur.
Hari ini aku akhirnya menulis surat ini, ingin berbagi perasaan yang mungkin belum pernah kau alami — perasaan yang berpindah tiba-tiba dari persahabatan ke cinta, dari kekuatan menjadi kelembutan. Malam ini aku mencintaimu dengan cara yang mungkin belum pernah kau lihat dalam diriku: aku tidak dilanda lelah dari perjalanan, juga tidak terbakar oleh keinginan untuk berada di dekatmu. Aku mendalami cintaku kepadamu dan membawanya ke dalam diriku sendiri sebagai bagian dari diriku. Perasaan ini lebih sering terjadi daripada yang pernah kuakui padamu, namun jarang kurasakan saat menulis surat untukmu.
Cobalah pahami maksudku: aku mencintaimu, namun masih memperhatikan dunia di sekitarku. Saat berada di Toulouse, aku mencintaimu begitu saja, tanpa gangguan. Tapi malam ini, aku mencintaimu dengan nuansa malam musim semi, dengan jendela terbuka. Kau milikku, begitu juga segala yang ada di sekitarku. Cintaku mengubah segalanya di sekitarku, dan segala hal di sekitarku pun mengubah cintaku.
Gadis kecilku tersayang, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, kau membutuhkan persahabatan. Namun, sekaranglah waktunya aku memberikan saran yang lebih praktis. Apakah kau tak bisa menemukan seorang teman wanita? Bagaimana mungkin di Toulouse tidak ada seorang wanita muda yang cerdas dan setara denganmu? Tetapi kau tidak harus mencintainya. Sayangnya, kau terlalu mudah memberikan cintamu — itu hal termudah yang bisa orang dapatkan darimu. Aku tidak berbicara tentang cintamu padaku, yang berada di atas semua itu, tetapi cinta-cinta kecil lainnya yang sering kau curahkan, seperti malam di Thiviers ketika kau mencintai seorang petani yang berjalan menuruni bukit dalam gelap sambil bersiul, yang ternyata adalah aku.
Cobalah merasakan perasaan yang bebas dari kasih sayang manis, yang datang hanya dari kebersamaan. Ini sulit, karena semua persahabatan, bahkan antara dua pria yang sangat dekat, selalu memiliki momen yang mengandung rasa cinta. Ketika aku menghibur seorang teman yang berduka, aku merasakan kasih sayang yang dekat dengan cinta; itu perasaan yang mudah menjadi lemah dan terdistorsi. Tetapi kau memiliki kemampuan untuk memahaminya, dan kau perlu merasakannya. Jadi, meskipun terkadang kau cenderung bersikap dingin, pernahkah kau membayangkan betapa indahnya petualangan mencari seorang wanita di Toulouse yang setara denganmu, yang dengannya kau bisa membangun persahabatan tanpa rasa cinta yang berlebihan? Jangan pedulikan penampilan fisik atau latar belakang sosialnya. Carilah dengan tulus. Jika tidak menemukan siapa pun, mungkin kau bisa mencoba membina persahabatan dengan Henri Pons, yang hampir tidak kau cintai lagi.
[…]
Aku mencintaimu dengan sepenuh hati dan jiwa.
Surat ini menunjukkan dimensi lain dari hubungan mereka yang jauh lebih kompleks dari sekedar penolakan terhadap cinta yang romantis. Kita bisa melihat bagaimana Sartre justru dengan lembut mengakui kedalaman perasaannya. Menujukan bahwa praksis cinta dalam kehidupan nyata jauh lebih rumit dari teori filosofis yang mereka bangun. Namun, hubungan ini bagi saya tampak seperti sebuah eksperimen sosial yang mencoba mendamaikan kontradiksi antara kebebasan dalam eksistensialisme dan kebutuhan untuk memiliki kesamaan atau keterikatan dengan orang lain.
Transformasi Cinta
Dari hubungan mereka yang menentang norma-norma tradisional akan cinta dan pernikahan, memberikan kita pelajaran, bahwa cinta tidak harus mengikuti pola konvensional untuk menjadi bermakna dan bertahan lama. Hubungan mereka menunjukkan bahwa cinta bisa dihadapi sebagai proses yang terus berubah, bukan statis dan selalu mengikuti pola yang sama. Mereka mencoba untuk menggabungkan dua elemen yang sering bertentangan: kebebasan pribadi dan kebutuhan emosional.
Namun, tantangan dalam mengharmonisasikan dua nilai ini terlihat jelas pada perjalanan cinta mereka. Hubungan terbuka yang mereka jalani, misalnya, meskipun memberikan kebebasan personal, juga mengungkapkan batas-batas dan ketegangan yang sulit diselesaikan dalam praktik. Eksperimen sosial yang mereka jalani melalui cinta berusaha mendobrak pandangan tradisional, tetapi justru memperlihatkan bahwa kebebasan dan kedekatan emosional kadang saling menghalangi. Jika cinta tradisional menuntut kesetiaan dan eksklusivitas, maka cinta ala Sartre dan Beauvoir mengusung kebebasan tanpa batasan formal — namun dengan risiko kecemburuan, kekecewaan, dan ambivalensi yang menjadi bayang-bayang.
Pada akhirnya, transformasi cinta ala Sartre dan Beauvoir adalah bukti bahwa eksistensialisme tidak memberikan jawaban mutlak terhadap hubungan emosional manusia. Mereka menantang batasan norma sosial, tetapi tidak selalu mencapai kepuasan emosional sepenuhnya. Cinta bagi mereka adalah ruang percobaan, bukan akhir yang sempurna, di mana masing-masing tetap dapat menjaga identitas sebagai individu yang bebas. (*)
Editor: Kukuh Basuki