Di ruang pergaulan saya terdapat kalimat kelakar, “Sering terjadi di kota-kota besar…” yang kerap dilanjutkan dengan kalimat penjelasan konteks candaan. Kalimat tersebut tak sengaja keluar dari mulut saya sendiri ketika banjir tiba-tiba melanda kabupaten tempat tinggal saya ini: Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Bagaimana tidak, pulau yang belum genap sebulan lalu menyelenggarakan kejuaraan balap motor World Superbike, kini harus berurusan dengan banjir—yang bila diurai-urai kronologinya, akan menampakkan benang merah antara dirinya dan kejuaraan tersebut.
Baca juga Mandalika Mendunia, Untuk Siapa?
Di beberapa surat kabar, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB mengungkapkan bahwa penyebab banjir ialah luapan air sungai hasil curah hujan tinggi. Dari ungkapan inilah kalimat kelakar saya mencuat. Entah saya yang tak begitu berempati terhadap bencana banjir atau memanglah ungkapan tersebut telah jatuh pada lubang lelucon; sebab anak kelas enam sekolah dasar pun tampaknya akan berpendapat senada setelah mengamati lokasi banjir—yang sebagian besar dekat sungai dan merupakan perumahan baru.
Hal yang perlu diungkapkan oleh seorang kepala badan harus merupakan hasil pengamatan mendalam. Paling tidak, hasil kajian berkala di daerah terdampak banjir sekarang ini, kemudian dikaitkan dengan kondisi terkini di sana—sekilas saja tak masalah. Namun, jika ternyata kajian tersebut tidak ada, maka bisalah kita berasumsi bahwa di sana memang belum pernah terjadi bencana banjir. Bencana ini bukanlah bencana tahunan.
Baca juga Semua Salah Cuaca?
Sedikit menelaah lebih dalam, lokasi banjir di Lombok Barat sebagian besar adalah perumahan baru yang dibangun di atas tanah kebun, ladang, serta sawah. Sampai di sini dapatlah kita raba alur teknis pembangunan perumahan tersebut.
Masyarakat dapat membaca di surat kabar bahwa izin alih fungsi lahan dikeluarkan oleh Dinas Perizinan. Akan tetapi, yang menjadi pertimbangan keluar atau tidaknya sebuah izin ialah kajian teknis penggunaan lahan produktif—yang diterbitkan oleh Dinas Pertanian terkait. Lahan produktif di sini, tentu saja, adalah ladang dan sawah dan kebun yang memproduksi sumber daya alam berdaya guna; pun bernilai ekonomi bagi masyarakat setempat. Kajian teknis yang tidak faktual dan kontekstual akan mengarahkan pertimbangan izin ke keputusan yang tak tepat. Hal tersebut membuka peluang kekeliruan sikap para pengelola baru terhadap lahan.
Siapakah pengelola baru ini? Bisa kita lihat, salah satunya, adalah developer perumahan. Sebagai pendatang, sayangnya, cara pandang mereka terhadap lahan produktif sangatlah berbeda dari pengelola lama yaitu masyarakat setempat. Perbedaan cara pandang ini pun menghasilkan respons berbeda dari lahan itu sendiri (sebagai representasi alam).
Menata kebutuhan manusia, dalam hal ini membangun tempat tinggal, tak bisa dipisahkan dari kondisi ekosistem lokasi tempatnya akan dibangun. Memahami ekosistem tersebut, dan kemudian mencari cara aman supaya perumahan dapat dibangun tanpa merusak ekosistem secara fatal mestinya menjadi pertimbangan para pemegang kebijakan, pun para developer perumahan. Tetapi sudah menjadi sifatnya bahwa keuntungan material bukanlah hal yang dapat dinikmati bersama-sama secara merata, ia cenderung bersifat privat/eksklusif/mahal. Ini berbeda dengan dengan hasil produksi lahan masyarakat yang menghasilkan misalnya buah-buahan atau sayur-mayur, yang dapat dinikmati bersama bahkan secara murah dan mudah.
Apalagi dalam cara kerja developer jelas ditemukan terdapat banyak penyimpangan. Seperti sengaja menutup jaringan irigasi, sehingga lahan yang ada di sekitar tidak terairi. Karena tak bisa menanami lahannya, warga akan menjual tanahnya ke pengembang (developer).
Jadi sudah sangat wajar bahwa tak lama kemudian efek pelanggaran tata ruang tersebut muncul berbondong-bondong dalam wujud bencana banjir. Ulah para developer yang tak menghormati alam telah berdampak buruk bagi mereka yang menempati lahan: penghuni perumahan dan masyarakat sekitar—pengelola lama. Merekalah yang lokasi huniannya diterjang air bah beserta lumpur hasil longsor.
Seandainya pertimbangan pembangunan memasukkan spekulasi bencana alam, mungkin banjir di akhir 2021 ini dapat dicegah. Namun, seperti yang sering terjadi di kota-kota besar—apakah Lombok Barat adalah kota besar?—pencarian akar masalah baru dilakukan secara gesit setelah bencana datang.
Pada bencana banjir ini, media massa banyak menyajikan data jumlah korban, keadaan faktual di lokasi, serta aksi bantu-membantu dari masyarakat yang tak terdampak—atau terdampak dan punya jaringan sosial di luar untuk membantu. Dari sini, pikiran saya melayang ke sebuah relasi yang kerap terjadi ketika bencana melanda suatu wilayah.
Setiap terjadi bencana, sesama wargalah yang kemudian bergerak untuk saling membantu, saling berdonasi, saling menawarkan apa pun yang mereka bisa. Ketika sumber petaka adalah kerja korporasi dan pengabaian dari pemerintah, tetap saja warga terdampak yang harus menolong diri mereka sendiri. Warga Bantu Warga, Teman Bantu Teman adalah contoh gerakan yang menjadi bukti bahwa warga hanya bisa mengandalkan sesama warga.
Kondisi ini tak bisa dipertahankan lagi. Pemerintah harus mampu menolak kajian teknis penggunaan lahan produktif yang sama sekali tak berpihak kepada alam dan masyarakat sipil. Bukankah mereka dibayar untuk mengayomi kebutuhan masyarakat sipil? Pun bertanggung jawab penuh atas tingkah laku manusia terhadap alam. Ini baru telaah singkat di Lombok Barat; belum di Lombok Tengah yang kemarin juga sempat kebanjiran di area Sirkuit Internasional Mandalika.
Akhir kata, “Lebih baik mencegah daripada mengobati” adalah peribahasa yang betapun klisenya dapat secara kontekstual dijadikan acuan manusia dalam bertingkah laku terhadap alam. Begitu pun peribahasa kuno dari Suku Indian ini: “Only when the last tree has died and the last river been poisoned and the last fish been caught will we realise we cannot eat money.”
Lanjut baca Editorial: Jokowi Govt Justifies Forest Destruction for Development, But What Development?