“Pasar Senggol di Gorontalo sekarat, digilas oleh keranjang kuning.”
Pernyataan ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi itulah kenyataannya. Tradisi tahunan yang pernah menjadi pusat keramaian Ramadan kini sepi, kehilangan nyawa, dan hampir tak layak disebut pasar senggol lagi. Dulu, berdesakan mencari pakaian lebaran, tawar-menawar dengan pedagang, atau sekadar menikmati hiruk-pikuk menjadi bagian dari ritual yang dinanti. Namun kini, pemandangan itu tergantikan dengan jari-jari yang sibuk menelusuri layar ponsel, menekan tombol checkout, lalu menunggu kurir mengantarkan barang ke depan pintu. Saya, yang sejak kecil tinggal hanya lima menit berjalan kaki dari Pasar Senggol, telah menyaksikan sendiri perubahan drastis ini. Dari ingar-bingar yang meriah hingga jalanan yang semakin lengang.
Pasar Senggol di Kota Gorontalo bukan sekadar tempat belanja, melainkan penanda bahwa Ramadan telah memasuki paruh akhirnya. Pemerintah rutin menggelarnya sejak pertengahan bulan puasa hingga malam takbiran. Hampir setiap tahun, tenda-tenda pedagang berdiri di sepanjang jalan depan pertokoan, mengubah wajah kota menjadi pusat perniagaan dadakan. Bukan hanya warga kota yang datang, tetapi juga mereka yang berasal dari kabupaten lain di provinsi ini. Dulu, pasar ini begitu padat hingga orang harus siap benar-benar bersenggolan satu sama lain, sesuai namanya: Pasar Senggol.
Baca juga:
Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan ini, saya selalu antusias setiap kali diajak orang tua berbelanja ke Pasar Senggol. Berburu pakaian lebaran bukan perkara mudah, bisa butuh beberapa hari. Hari pertama biasanya dihabiskan untuk survei: di mana pakaian terbaik dengan harga termurah? Hari-hari berikutnya, barulah membeli setelah tawar-menawar seru dengan pedagang. Sensasi itu adalah bagian dari kegembiraan menjelang Idulfitri.
Namun, beberapa tahun terakhir, kemeriahan itu mulai memudar. Pengunjung berkurang drastis, hingga nyaris tak layak disebut pasar senggol lagi. Orang bisa berjalan dengan leluasa di antara tenda-tenda tanpa perlu bersinggungan. Apa yang terjadi?
Keranjang Kuning dan Kebiasaan Baru
Perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Pandemi COVID-19 menjadi pemicu utama. Tahun-tahun pembatasan sosial memaksa banyak tradisi tahunan—termasuk Pasar Senggol—untuk dihentikan. Saat itu, orang-orang mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. E-commerce berkembang pesat, menawarkan kenyamanan yang tak tertandingi: tinggal pilih barang, masukkan ke keranjang, bayar, lalu tunggu barang datang.
Kebiasaan ini berlanjut bahkan setelah pandemi berlalu. Banyak orang yang sudah terbiasa dengan kemudahan belanja online dan merasa tak perlu lagi repot-repot berdesakan di toko atau pasar. Akibatnya, ketika Pasar Senggol kembali digelar, antusiasme tak lagi sama.
Namun, bukan hanya pembeli yang beralih ke platform digital. Para pedagang pun satu per satu mulai meninggalkan pasar fisik. Alasannya sederhana: biaya sewa lapak di Pasar Senggol semakin mahal. Tahun ini, harga resmi yang ditetapkan pemerintah adalah Rp1 juta per lapak, tetapi ada berbagai biaya tambahan yang bisa membuat totalnya membengkak hingga Rp5 juta. Dengan angka sebesar itu, tak ada jaminan pedagang bisa kembali modal. Banyak dari mereka memilih berjualan online, menjangkau pelanggan lebih luas tanpa harus membayar sewa lapak yang mencekik.
Baca juga:
Sampah, Warisan Tak Menyenangkan Pasar Senggol
Sebagai warga yang tinggal dekat dengan lokasi penyelenggaraan Pasar Senggol, ada satu hal yang selalu menjadi masalah besar setiap tahun: sampah. Di malam takbiran, pasar ini mencapai puncak kepadatannya. Orang-orang berbelanja hingga dini hari untuk mencari barang murah di momen terakhir. Namun, setelah pedagang menutup lapak mereka, yang tersisa hanyalah gunungan sampah.
Pedagang sering meninggalkan sisa kardus, plastik pembungkus, dan limbah dagangan mereka begitu saja. Petugas kebersihan harus berpacu dengan waktu, menyapu dan menumpuk sampah di titik-titik tertentu agar kota bisa bersih sebelum salat Idulfitri. Namun, Kota Gorontalo punya masalah lain: kurangnya fasilitas pembuangan sampah yang memadai. Tidak ada tempat pembuangan besar di setiap lingkungan RT/RW di tiap kelurahan, sementara truk pengangkut sampah hanya menjangkau jalan-jalan utama. Akibatnya, banyak sampah yang akhirnya berakhir di sungai, mencemari lingkungan.
Dari perspektif ini, kehadiran keranjang kuning (fitur belanja di aplikasi TikTok) setidaknya membawa satu dampak positif: mengurangi produksi sampah. Dengan semakin banyak orang berbelanja online, volume sampah dari transaksi pasar tradisional otomatis berkurang.
Arah Masa Depan: Tradisi vs. Efisiensi
Apakah Pasar Senggol akan benar-benar hilang? Mungkin tidak, tetapi yang pasti, ia sedang kehilangan identitasnya. Semakin sedikit orang yang datang, semakin mahal biaya yang harus ditanggung pedagang, dan semakin besar kemungkinan tradisi ini akan pudar.
Namun, ada harapan jika pemerintah mau beradaptasi. Mungkin dengan menekan biaya sewa lapak agar lebih terjangkau atau bahkan mengintegrasikan Pasar Senggol dengan platform digital untuk menjangkau pembeli yang lebih luas. Tradisi dan teknologi seharusnya bisa berdampingan, bukan saling meniadakan.
Sebagai warga Gorontalo, saya tentu ingin Pasar Senggol tetap hidup. Ia bukan sekadar tempat belanja, tetapi juga ruang nostalgia, ajang bertemu teman lama, keluarga jauh, atau bahkan mantan yang tak terduga. Tetapi di sisi lain, saya juga tak bisa menyangkal bahwa teknologi telah mengubah cara orang hidup. Yang pasti, jika tidak ada upaya inovasi, keranjang kuning akan terus menggulung Pasar Senggol hingga benar-benar menjadi kenangan belaka.
Editor: Prihandini N