Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Mengkaji Tuhan Yang Maha Abadi

Salman Akif Faylasuf

2 min read

Dalam Al-Qur’an surah Al-Hadid 57:3 difirmankan, “Huwa al-awwalu wa al-akhiru, wa al-zhahiru wa al-bathinu, wa huwa bi kulli syay’in alim.” Artinya, Allah itu Realitas Sejati yang tidak ada awal dan akhirnya. Itulah Dia! Dia bebas dari ikatan waktu. Maka, carilah Dia yang unlimited atau tak terbatas itu. Kalau kita hanya mencari yang terbatas, malang nian hidup kita ini.

Segala sesuatu yang terbatas akan membatasi atau memenjarakan kehidupan manusia. Sementara itu, yang tak terbatas akan membebaskan manusia dari belenggu hidupnya. Ingat, kebebasan atau kemerdekaan adalah anugerah Allah yang tidak ada taranya! Bagaimana cara mencari Yang Tak Terbatas itu? Tentunya dengan meningkatkan kesadaran kita sebagai manusia.

Baca juga:

Allah adalah realitas lahir dan batin, yang tampak sekaligus yang tersembunyi. Lho, kok, paradoks? Bagaimana mungkin ada sesuatu yang tampak sekaligus tersembunyi? Itulah Allah. Di Al-Qur’an surah Asy-Syura 42:11 dinyatakan bahwa “tak ada sesuatu yang serupa dengan Dia.”

Jika hanya tersembunyi bukanlah Dia. Kalau cuma tampak bukanlah Dia. Dia itu nyata sekaligus tersembunyi. Dengan demikian, kalau kita hendak melihat dan menyentuh-Nya dengan indra fisik kita, maka Dia tersembunyi. Dia tak tersentuh oleh penglihatan, begitulah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-An’am 6:103.

Kalau kita hendak merasakan kehadiran-Nya dan melihat diri-Nya dengan indra batin kita, maka Dia sungguh-sungguh tampak. Di setiap apa yang kita lihat ada Dia. Dia meliputi segala sesuatu. Ke mana saja kita memandang, di situlah wajah Allah. Ditegaskan pada surah Al-Baqarah 2:115 bahwa “kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.”

Jika kita melihat sesuatu secara fisik, maka kita hanya melihat ciptaan-Nya. Benda itu akan mengalami perubahan dan, akhirnya, kemusnahan semata. Akan tetapi, jika kita melihatnya dengan indra batin kita, maka kita akan menyadari bahwa di balik itu ada hukum Allah yang bekerja. Di balik itu, ada Wajah Allah. Tiap-tiap sesuatu binasa, kecuali wajah-Nya, kalau merujuk surah Al-Qasas 28:88.

Jika Allah diumpamakan sebagai pusat semesta dan alam semesta ini sebagai bayi yang menetas dari pusat semesta, maka alam semesta ini sebenarnya tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan. Sempurna dalam artian sesuatu mengalami perubahan dan kepunahan. Namun, wajah-Nya tetap abadi. Kehadiran-Nya tetap kekal tak terbatas oleh waktu dan tempat. Yang demikian itulah Allah.

Di Al-Qur’an surah Al-Hadid 57:4 ditegaskan bahwa Allah bersama manusia di mana saja manusia berada. Lantas, mengapa kita kembali kepada Allah? Di surah yang sama ayat 5, dikatakan bahwa kepunyaan-Nya meliputi segala apa yang di langit dan di bumi sehingga kepada-Nyalah segala sesuatu dikembalikan.

Mengapa bisa paradoks begitu? Di satu sisi, katanya segala sesuatu akan kembali kepada Allah. Di sisi lain, Allah meliputi segala sesuatu. Di sinilah sebenarnya kita harus mengkaji lagi ayat Al-Qur’an dan hadis. Adanya ayat yang menyatakan bahwa segala sesuatu kembali kepada Tuhan tidak serta-merta berarti Tuhan berada di suatu tempat. Setiap saat, Dia berada dalam kesibukan, begitu yang dinyatakan dalam surah Ar-Rahman 55:29.

Dia senantiasa mencipta, memelihara, dan memberi petunjuk. Secara all in, Allah senantiasa menyempurnakan ciptaan-Nya. Hukum-hukum Allah yang terpelihara atau lawh al-mahfuzh bekerja sesuai dengan ketetapan-Nya. Penjelasan tentang kebisaan Allah menetapkan hukum dapat dipelajari dalam surah Al-An’am 6:57 dan surah Yusuf 12:40.

Kesibukan-Nya menunjukkan kehadiran-Nya ada di mana-mana. Dengan demikian, kembali kepada Allah berarti kembali ke jalan yang benar, jalan yang ditetapkan-Nya. Bukan kembali ke suatu tempat di mana Allah berada. Saat ini pun Allah menyertai kita, juga segala sesuatu lainnya.

Tulisan lain oleh Salman Akif Faylasuf:

Nah, orang syirik adalah orang yang menolak menemukan jalan-jalan-Nya. Mereka berjalan di luar perlindungan atau penjagaan Tuhan. Padahal, energi kosmik di sekeliling kita ini sangat dahsyat. Kondisi tanpa perlindungan Tuhan bagaikan orang yang mendaki gunung, yang ketika sampai pada ketinggian tertentu, jatuh lagi.

Ia tak pernah sampai ke puncak. Itulah sebabnya orang-orang yang berbuat syirik dosanya tak terampuni. Bukan karena Tuhan kecewa atau sakit hati terhadap ulah mereka, tetapi mereka memilih tak mau berjalan di atas jalan kebenaran yang ditetapkan Tuhan. Namun, apakah ada dosa selain syirik yang tidak diampuni?

Tentu ada. Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ 4:168 dinyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari kebenaran dan melakukan kezaliman (melanggar kebenaran), Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjukkan jalan kepada mereka.”

Agar manusia tak terjerumus dan jatuh ke jalan yang salah, ia harus bersungguh-sungguh meningkatkan kesadarannya. Kesadaran akan meningkat bila kita memiliki ketenangan hidup. Merujuk surah Ar-Ra’d 13:28, hidup akan menjadi tenang bila kita senantiasa berzikir kepada Allah, Dzat yang Rabb al-alamin, al-rahman, al-rahim, dan yang memiliki nama-nama baik. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Editor: Emma Amelia

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email