Manusia biasa yang berusaha menemukan gaya tidur bikin nyenyak

Operasi Jaga Kuasa: Cerita dari Makassar

Muh. Akbar

2 min read

Dua orang yang mengendarai sepeda motor itu mungkin tidak pernah berpikir akan mendapat nasib nahas dihajar di tempat asing oleh segerombolan milenial dan gen Z salah arah. Namun, itulah yang menimpa dua orang pemudik asal Kalimantan di Kota Makassar. 

Kejadian ini cukup menggemparkan di tengah suasana lebaran. Mirisnya, di antara pelaku terdapat pentolan salah satu organisasi bikinan Pemerintah Kota Makassar bernama Batalyon 120.

Batalyon 120 didirikan secara resmi oleh Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) dan kerap mendapat sanjungan dari pemangku kepentingan di berbagai tingkatan sebagai organisasi yang berhasil menurunkan angka kriminalitas dan menciptakan situasi kondusif di Makassar. Tidak hanya itu, kehadiran organisasi ini tampaknya punya side mission yang begitu mulia, yakni mewadahi produktivitas anak muda kota berbasis pemberdayaan dan pendidikan.

Tidak percaya? Silakan cari sendiri pemberitaan tentang mereka di internet. Yang kemudian jadi pertanyaan adalah mengapa bisa organisasi yang begitu luhur lagi bermartabat tujuannya itu justru melahirkan agen pembuat onar?

Baca juga:

Perlu digarisbawahi, Batalyon 120 bukan sekali ini saja melaksanakan aksi meresahkannya. Rekam jejak kelam mereka terhitung cukup banyak untuk sebuah kelompok yang baru terbentuk bulan Maret tahun lalu. Saya jadi tertarik untuk menganalisis eksistensi dan operasional organisasi yang agaknya melampaui tupoksi ini.

Menjaga Ke(tidak)tertiban

Pentolan-pentolan organisasi ini beberapa kali terlibat kasus serupa tindak kekerasan terhadap pemudik tadi. Kasus-kasus itu sering hanya ditanggapi dengan penekanan balik dari organisasi bersangkutan agar jangan menggeneralisasi urusan personal anggota Batalyon 120 sebagai ulah dan bagian dari organisasi mereka. Memang benar, praktik mendiskreditkan itu terasa bias, berat sebelah. Namun, bukankah tanggung jawab sebuah organisasi adalah membina anggotanya untuk menjaga marwah identitas sosial mereka, apa pun bentuknya?

Cara Batalyon 120 dalam membantu meredam konflik dan menciptakan suasana aman tidak jelas landasannya dan tidak terukur hasilnya. Apakah mereka bergerak dalam bayangan dan mengaktifkan jejaring mereka untuk mencari pemuda-pemudi yang belum tobat dan membantu mereka keluar dari jerat kriminalitas? Atau mungkin mereka mengedepankan pendekatan ilmiah dalam mengurai masalah sosial seperti konflik jalanan?

Modal sosial, intervensi ilmiah, atau opsi lain di luar jangkauan penulis mungkin saja digunakan oleh organisasi ini. Namun, besar kemungkinan cara-cara itu tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh mereka. Entah mana yang benar.

Secara empiris maupun teoretis, keberadaan Batalyon 120 bukan semata-mata organisasi kepemudaan berbasis pemberdayaan dengan tujuan penertiban umum. Lebih dari itu, Batalyon 120 adalah alat kontrol sosial yang pada praktiknya gagal total.

Politik Jatah Preman

Telah banyak studi yang mencoba membongkar dan mencatat genealogi penggunaan kelompok-kelompok besutan penguasa yang punya tujuan menertibkan dan menjaga kohesi sosial masyarakat, khususnya di Indonesia. Salah satunya, studi Ian Douglas-Wilson soal ragam praktik kekerasan oleh kelompok atau aktor non negara yang relasinya erat dengan tujuan politis dan kekuasaan pasca Orde Baru. Pemikiran dan risetnya ia tuangkan dalam buku berjudul Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2019).

Ada berbagai macam sebutan untuk kelompok yang dimaksud oleh Douglas-Wilson, misalnya jagoan, preman, gali, dan jeger. Menjamurnya mereka adalah efek dari desentralisasi kekuasaan dan melemahnya kekuatan militer pasca tumbangnya rezim Soeharto sebagai tangan besi pengontrol negara.

Baca juga:

Analisis Douglas-Wilson bergerak ke ranah yang lebih kecil cakupannya. Ia ingin melihat bagaimana relasi kuasa aktor non negara seperti ormas bergerak di lorong-lorong dan perkampungan tempat negara terasa samar keberadaannya.

Kelompok-kelompok ini menjalin mufakat dengan kekuasaan dalam berbagai urusan. Tujuannya biasanya untuk memuluskan langkah kekuasaan dalam meraih keuntungan ekonomi dan politik dengan melibatkan cara-cara kekerasan, mengontrol ketakutan, dan berbagai praktik kotor lainnya.

Mereka tak ubahnya tangan-tangan yang siap kotor dari sebuah tubuh bernama kekuasaan. Bukan hanya di Makassar, bukan hanya Batalyon 120, tangan-tangan siap kotor ini juga tumbuh subur di daerah-daerah lain dengan ratusan ragam sebutan dan corak organisasi. 

 

Editor: Emma Amelia

Muh. Akbar
Muh. Akbar Manusia biasa yang berusaha menemukan gaya tidur bikin nyenyak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email