Berusaha Ganteng Lahir Batin

Gagal Kuliah di Kampus Impian karena Kefanatikan Keluarga pada Ormas

Yusrifan Amrullah

2 min read

Sudah membaca novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan? Pemenang pertama Sayembara Novel DKJ 2014 itu mengisahkan perjuangan cinta sepasang insan ketika hendak menikah karena orang tua dan keluarga besar mereka saling bersilang ormas, Mif dari Muhammadiyah dan Ziah dari NU.

Kisah tersebut seolah bukan fiksi semata. Kita bisa menjumpai orang-orang di sekitar kita yang sejak awal sudah diwanti-wanti untuk mencari jodoh yang seormas saja. Cari yang sesama NU atau Muhammadiyah saja. Seperti mengamini apa yang dikatakan Cak Mahfud, kambing dan hujan akan sulit atau bahkan tidak akan bertemu.

Kita bisa memaklumi, bagaimanapun orang tua memang memiliki harapan bahwa anaknya berada di jalan yang lurus, atau paling tidak sejalan dengan apa yang dilakukan orang tuanya, terlebih masalah agama. Namun, ada hal yang tak kalah menyedihkan dari gagalnya hubungan asmara karena perbedaan ormas: kandasnya belajar di kampus impian.

Hambatan dari Keluarga

Beberapa teman saya mengalami hal tersebut. Tidak lolos SNMPTN, SBMPTN, dan jalur mandiri, mereka lantas memilih kuliah di kampus swasta daripada berdiam diri di rumah menunggu pendaftaran PTN tahun berikutnya. Alasannya macam-macam, keburu malas, keburu dinikahkan, atau keenakan kerja dan lupa pelajaran.

Baca juga:

Salah satu kampus swasta berkualitas yang menjadi pilihan adalah kampus yang dikelola Muhammadiyah. Tak perlu disiratkan lagi bagaimana Muhammadiyah benar-benar mampu membangun peradaban ilmu pengetahuan yang cukup apik. Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Kurang bagaimana lagi Universitas Muhammadiyah Malang dan universitas lain yang dirintis Muhammadiyah? Beberapa indikator yang menunjukkan kualitasnya adalah publikasi jurnal atau buku yang ketat, serta kerja sama kampus dengan perusahaan atau kampus lain di kancah nasional dan internasional. Kita juga dibuat takjub dengan pengelolaan administrasi Muhammadiyah, jarang sekali ada masalah yang sampai ke publik.

Dari beberapa alasan tersebut, apakah salah kalau ada orang yang tidak ikut Muhammadiyah berkeinginan untuk menempuh pendidikan di sana?  Kata kawan saya, meski mahal, setidaknya mereka mendapat kualitas yang sudah bisa dilihat sejak awal. Lebih baik kuliah di kampus milik ormas lain daripada kuliah di kampus yang dikelola ormasnya sendiri tapi tidak jelas jeluntrungannya, bukan? Begitu sekiranya kata kawan saya.

Namun, keinginan beralasan jelas tersebut harus dikubur karena tidak mendapatkan restu dari orang tua, beberapa yang lain mendapat restu dari orang tua tetapi tidak dari keluarga besarnya: “Ibu dan Bapak sih oke, tapi Pakde,” Hal yang terlalu berlebihan, bukan? Bagaimana tidak, mau belajar saja harus menuruti doktrin keluarga yang fanatiknya gateli pada sebuah ormas.

Hal serupa juga dialami kawan yang lain, kenginan untuk belajar di salah satu kampus swasta di Ponorogo yang kualitasnya tidak kalah dari Universitas Muhammadiyah Malang dan kampus negeri di Jawa Timur juga harus kandas. Alasannya tidak jauh-jauh dari yang sudah saya ceritakan di atas.

Ini mau kuliah, lho. Bukan mau menikah. Kok ya kebangeten masih berpikiran ormas-ormasan.  Bapak, ibu, pakde dan budhe sekalian, kuliah itu penting dan menyangkut banyak hal. Bukan saatnya bersikap subjektif terhadap ormas A dan ormas B di dalam kampusnya. Kampus yang baik adalah kampus yang menyediakan tempat untuk mahasiswa mengaktualisasikan dirinya. Sedang kampus swasta tidak banyak yang mampu melakukan hal tersebut, bahkan kampus saya yang negeri pun ruwetnya minta ampun kalau ada mahasiswa yang hendak berangkat lomba. Kampus saya bahkan tidak banyak menjalin kerja sama dengan perusahaan dan kampus yang kualitasnya lebih mentereng.

Anak menjadi Korban

Khawatir kalau si anak berada di tempat jauh dalam waktu yang lama sedangkan banyak perbedaan amaliah itu wajar, tetapi tidak perlu berlebihan dengan melibatkan sisi muamalah atau kegiatan sehari-harinya.

Tercekik kefanatikan ormas keluarga, rasanya hal ini sudah terlalu lama terjadi dan sudah banyak yang menjadi korban. Orang tua seharusnya percaya dengan anaknya yang hendak mencari ilmu di kampus lintas ormas. Tentu saja si anak bisa diuji terlebih dahulu fondasinya sebelum kuliah. Namun orang tua juga harus melihat secara utuh alasan anaknya ingin masuk kampus tertentu dan bisa mengecek sendiri alasan tersebut.

Ingat, Pak, Bu, yang menguliahkan anak itu panjenengan, bukan pakde-pakdenya si anak. Lagi pula, apa perbedaan mencoloknya sampai si anak menjadi korban dari kefanatikan ormas ini? Rasanya kok ya nggateli jika menyalahkan masa lalu (yang tidak jelas mana yang salah) sampai tidak membiarkan anak belajar di tempat yang kualitasnya jelas. Sudah cukup banyak, bukan, anak menjadi korban masa lalu orang tuanya atau juga keluarga besarnya?

 

Editor: Prihandini N

Yusrifan Amrullah
Yusrifan Amrullah Berusaha Ganteng Lahir Batin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email