Guru SD

Dua Ayah

Kristophorus Divinanto

11 min read

Silakan masuk, Sandra! Jangan sungkan. Anggap saja kamarmu sendiri. Kamu boleh duduk di mana saja. Kasur, bean bag, atau di karpet. Terserah. Buat dirimu nyaman. Semuanya sudah aku bersihkan setelah kamu memastikan benar-benar akan datang. Sebentar. Aku punya beberapa makanan ringan di sebelah sini. Kamu suka makanan asin atau manis? Ah, aku keluarkan saja semuanya. Lihat Sandra, aku punya camilan rasa jagung bakar dan cokelat. Oh ya? Wah kebetulan sekali! Aku juga suka camilan cokelat ini. Namun aku belum menemukan camilan cokelat ini dalam kemasan yang lebih besar. Swalayan-swalayan di kota ini hanya menjual kemasan kecil. Kamu bisa menemukan camilan ini dengan kemasan yang lebih besar di Jakarta. Benar juga katamu, Jakarta memang selalu jadi yang pertama. Eh, mengapa malah membicarakan Jakarta? Silakan dimakan camilannya, Sandra!

Ngomong-ngomong, aku senang sekali kamu benar-benar bersedia datang ke rumahku. Aku benar-benar ragu ketika kamu bertanya alamat rumahku tempo hari. Apakah kamu merasa beberapa hari setelah kamu bertanya, aku sedikit menjaga jarak darimu? Aku sengaja tidak duduk di sebelahmu. Aku juga sengaja tidak meminta parfum milikmu seperti biasanya. Sudah kuduga pasti kamu menyadarinya. Aku minta maaf, Sandra. Aku tidak cukup siap menanggapi niat baikmu. Aku tetap tidak percaya kamu masih bersikeras datang bahkan setelah aku menceritakan keadaan orang tuaku. Kamu adalah orang pertama yang datang ke sini, bahkan orang pertama yang menganggapku sebagai seorang manusia. Aku benar-benar sangat berterima kasih. Eh, sebentar. Ada telepon. Astaga! Aku lupa jika memesan minuman lewat ojol. Aku turun ke bawah dulu untuk mengambilnya. Oh iya, aku memesan strawberry smoothie kesukaanmu. Tunggu sebentar ya! Pintu kamar mau ditutup atau dibiarkan terbuka seperti ini? Terserah? Baik aku tutup saja. Aku tidak ingin ayahku masuk ke kamarku.

Hai, Sandra! Maaf menunggu. Semoga kamu belum kehausan. Ini dia minuman kesukaanmu. Silakan diminum! Bagaimana aku tahu kalau kamu suka strawberry smoothie? Bagaimana bisa aku tidak tahu? Setiap kali kita ke kantin kamu selalu memesan minuman yang sama. Aku memesannya ketika kamu memberi kabar kalau sudah dalam perjalanan. Pesananku? Coba tebak! Tepat sekali! Aku memesan hazelnut chocolate milk tea. Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku suka minuman ini? Astaga! Kamu juga selalu memperhatikan aku? Aku jadi malu. Minuman ini sudah menjadi favoritku sejak dulu. Awalnya aku iseng mencobanya. Saat itu Ayah yang memesan dan meletakkan di ruang tamu. Kejadian itu terjadi dulu ketika aku masih di Jakarta. Setelah aku coba, ternyata rasanya sangat enak! Sejak saat itu Ayah selalu memesan dua minuman hazelnut chocolate milk tea di akhir pekan, satu untuknya dan satu lagi untukku.

Benar, Sandra. Ayahku adalah laki-laki yang tadi sedang berkaraoke di ruang tamu ketika kamu datang. Dia yang hanya melambaikan tangan ke arah kita sambil terus menyanyi. Maaf jika sambutannya kurang sopan. Ayahku selalu lupa sekeliling jika sudah karaoke. Sepertinya bukan hanya Ayah, semua laki-laki selalu lupa diri ketika dihadapkan pada sesuatu yang mereka suka. Maaf, bukan bermaksud untuk menghina Ayahmu. Kesimpulan barusan aku ciptakan hanya ketika aku melihat Ayahku sendiri.

Benarkah? Ayahmu juga demikian? Memancing? Ayahmu tidur di pemancingan ikan umum selama tiga hari, dan baru pulang ketika Ibumu datang lantas menyeretnya pulang? Maaf aku harus tertawa kali ini, Sandra. Astaga Ayahmu lucu sekali. Aku? Mengapa kamu bilang aku juga sama? Gara-gara lupa sedang memesan minuman? Benar juga. Barangkali mengobrol denganmu menjadi salah satu kegemaranku yang baru. Aku sebenarnya memang suka mengobrol. Jika kamu melihatku di sekolah hanya diam, sebenarnya kamu sedang melihat seseorang yang takut berbuat salah. Aku hanya takut kebencian kembali datang kepadaku.

Tidak usah minta maaf, Sandra. Wajar seseorang menyimpan tanya ketika ada keanehan di depan mata. Pertanyaan soal Ibu bukan hal yang tabu. Ibuku memang sudah tidak lagi bersama kami. Tapi dia bukan meninggal. Dia masih hidup, atau begitu sejauh ini aku meyakininya. Sepertinya dia saat ini masih ada di Belanda. Awalnya aku masih bisa berhubungan dengannya. Ibu selalu memintaku untuk mengajak bicara Ayah, terutama soal keputusan Ayah sebelum menikah lagi. Namun setiap perjalanan selalu mencapai sampai. Ada satu peristiwa yang membuat Ibu benar-benar pergi. Komunikasi kami berakhir setelah Ayah membulatkan tekadnya untuk menikah dengan Yoris, laki-laki yang entah tepat atau tidak aku menyebutnya, pengganti ibuku. Sejak peristiwa itu aku dan Ayah sudah tidak bisa menghubunginya. Dia memblokir semua kontak kami. Aku juga tidak bisa menemukan keberadaannya di sosial media.

Seperti ceritaku sebelumnya, Sandra, aku hidup dengan dua orang Ayah. Bukan karena ibuku menikah lagi sehingga aku punya ayah tiri, melainkan ayahku memilih untuk menikah lagi dengan seorang laki-laki. Tidak usah minta maaf, Sandra. Kamu tidak salah. Kamu adalah orang yang datang ke rumahku, bahkan duduk di kamarku yang tertutup rapat. Semua orang yang duduk di kamarku adalah orang terdekatku. Kamu berhak tahu tentang aku. Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan ini. Atau lebih tepatnya tidak semua orang bersedia berteman dengan laki-laki yang memiliki ayah gay. Mereka pasti akan langsung berpikir kalau aku juga seorang gay. Tapi ternyata aku salah. Kamu bukan orang yang seperti itu. Aduh maaf, aku jadi menangis. Tapi tangis ini adalah tangis bahagia, Sandra. Aku bahagia karena kamu bersedia menjadi temanku, bahkan datang ke rumahku. Aku bahagia karena akhirnya ada seseorang yang mau mendengarkan perasaanku yang selama ini pendiam. Ah, terima kasih untuk tisunya, Sandra.

Yoris sedang tidak di rumah. Dia adalah seorang perawat. Jam bekerjanya bertambah setelah jumlah pasien Covid meningkat. Aku selalu berharap dia terpapar, harus isolasi mandiri, atau mungkin sekalian mati, agar dia tidak kembali ke rumah ini. Tapi entah mengapa orang itu belum mati juga sampai hari ini. Jangan kaget, Sandra. Aku memang membencinya. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan ‘Ayah’ atau ‘Pak’ atau apa pun itu. Aku sama sekali tidak menerima keberadaannya di rumah ini. Tentu saja aku tidak setuju dengan pernikahan ini. Mimpi burukku sendiri bahkan tidak pernah seburuk ini. Aku tidak pernah berpikir suatu hari hidupku akan sampai pada kenyataan bahwa aku harus diasuh oleh pasangan gay. Jika aku bisa memilih, tentu aku lebih memilih formasi orang tuaku yang dulu, meski hampir tiap hari aku harus mendengar cekcok mereka. Aku tidak pernah membayangkan ayahku suatu hari jatuh akan cinta dengan laki-laki, sampai akhirnya menikah hingga hidup di bawah satu atap yang sama. Sampai sekarang aku masih tidak menyangka kenyataan terasa sepahit ini.

Ayah dan Yoris bertemu ketika kami masih di Jakarta. Sungguh, setelah peristiwa ini terjadi di keluargaku, aku benar-benar membenci Jakarta. Kota yang memberikan banyak kemungkinan termasuk kemungkinan hancurnya hubungan rumah tangga. Saat itu Ayah dan Ibu sudah terpisah karena Ibu mulai menyelesaikan studi doktor di Belanda. Awalnya aku merasakan gelagat mencurigakan. Ayah menjadi lebih sering pergi ketika malam tiba. Aku memang sempat berpikir dia selingkuh, meski tidak pernah menyangka bahwa selingkuhannya adalah seorang laki-laki. Kemudian dugaan itu lenyap karena aku tidak pernah mencium aroma parfum perempuan yang melekat pada kemeja ayah. Aku hanya menemukan aroma parfum laki-laki yang tidak biasa dipakai Ayah. Mungkin itu adalah aroma parfum yang dipakai rekan kerjanya di kantor.

Sampai tiba hari aku mencecap kenyataan pahit itu sendirian. Mereka berdua, Ayah dan Yoris, mengetuk pintu rumah di suatu malam. Setelah aku membuka pintu, keduanya masuk sembari saling memapah. Mereka teler. Karena aku sering mengurus temanku yang mabuk, aku segera ke belakang untuk mengambil ember. Hanya untuk jaga-jaga. Setidaknya jika mereka muntah, muntahan mereka tidak akan mengotori ruang tamu. Dan kamu tahu, sekembalinya aku dari belakang dengan ember di tangan, aku melihat sebuah pemandangan yang sampai saat ini masih dapat teringat dengan jelas. Ingatanku menyimpannya dengan sangat rinci, bahkan terlalu rinci. Ayah dan Yoris berciuman di sofa. Kamu kaget, bukan? Barangkali ekspresi wajahmu sekarang sama dengan ekspresi wajahku ketika melihat kejadian malam itu dengan mata kepalaku sendiri. Bibir dua orang laki-laki saling melumat. Bukan hanya itu, mereka saling melucuti pakaian satu sama lain.

Amarahku langsung mendidih bersama gumpalan rasa janggal dan jijik. Sesuatu menekan tenggorokan hingga membuatku merasa sesak. Barangkali mereka tidak menyadari keberadaanku di dekat mereka saking telernya. Bibir Ayah dan Yoris tetap saling melumat dengan tangan yang saling menjamah. Aku langsung meninju wajah mereka berdua. Mereka berdua tampak terkejut dengan keberadaanku. Barangkali bogemku berhasil menyadarkan mereka dari mabuknya. Ayah mengusap bibirnya. Entah dia berusaha menghilangkan rasa sakit akibat pukulanku, atau berusaha menghapus air liur Yoris yang membasahinya secara utuh. Yoris langsung bergegas pergi dari rumah tanpa mengancingkan kemejanya, membiarkan dadan bidang dengan otot perut sixpack miliknya terbuka begitu saja.

Ayah belum beranjak dari sofa. Ia hanya duduk dengan kepala tertunduk. Bagaimana perasaanku saat itu? Aku sendiri tidak bisa membayangkan jika amarahku bisa sampai seperti itu, Sandra. Aku tidak menyadari bahwa ada hewan buas yang juga mendiami tubuhku. Tubuhku terasa panas. Tanganku terus mengepal. Napasku pendek tidak beraturan. Aku ingin merobek bibir Ayahku. Aku ingin menguliti tubuh Ayahku yang sedari tadi dijamah oleh tangan Yoris. Di tengah amarah, aku masih merasa tidak menyangka akan mengalami rasa dengki seperti ini sekali lagi. Benar, Sandra. Malam itu bukan kali pertama aku menjadi semarah itu.

Aku pernah merasakan amarah yang sama ketika SMA. Seorang murid laki-laki di kelasku dengan sengaja memegang dada dan pantatku. Bulu kudukku langsung meremang ketika telapak tangannya menyenggol bagian putingku. Sama halnya ketika tangannya yang najis meremas pantatku. Amarah langsung mengendalikan tubuhku dan aku mengikuti kehendaknya. Aku menghampiri laki-laki kurang ajar itu, mendaratkan tinjuku di wajahnya hingga darah segar mengucur dari hidungnya. Dia sedang tidak beruntung. Semua amarahku tumpah lewat tinju itu. Amarah yang selalu aku pendam setiap mereka mengejekku laki-laki yang lebih suka bermain dengan perempuan. Amarah yang memilih diam ketika mereka mengejek sikapku ketika duduk. Amarah yang bungkam ketika mendapat tawa dari mereka yang mengejekku dungu saat pelajaran olahraga. Mungkin tinju itu mewakili segala marahku yang sudah tidak betah bungkam. Amarah yang sama kembali terulang dan tinju itu kini mendarat di wajah Ayahku sendiri.

Maaf suaraku menjadi tidak jelas dan pembicaraanku melantur. Tenggorokanku selalu terasa sakit mengingat hal itu. Baik, sekarang kembali ke malam itu. Ayah menatapku perlahan. Meski ruang tamu remang, aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. Setelah itu, semuanya semakin terasa pahit. Aku berharap malam itu tidak mendengar setiap kalimat yang keluar dari Ayah. Aku berharap bahwa segala ucap yang keluar dari bibirnya malam itu adalah kebohongan.

“Laki-laki tadi bernama Yoris, pacar Ayah. Kami bertemu di klub,” kata Ayah pelan, namun ucapannya terasa seperti menelan sepotong silet untuk lauk makan malam.

Dengan susah payah aku menelan air liurku sendiri. Aku langsung teringat pada salah satu berita bahwa sebuah klub gay telah didirikan secara legal di Indonesia, dan untuk pertama kalinya didirikan di Jakarta. Saat itu aku langsung menghubungkan setiap peristiwa yang terjadi belakangan. Kebiasaan Ayahku pergi malam hari. Aroma asing dari parfum laki-laki yang melekat pada kemeja Ayah. Bau amis pada beberapa halaman lembap majalah binaraga di kolong tempat tidur Ayah. Termasuk riwayat video porno gay di laptop Ayah yang pernah tanpa sengaja aku lihat. Semuanya berhubungan. Tiba-tiba aku merasakan rasa mual yang begitu hebat. Sontak tanganku mencengkeram bagian mulut agar isi perutku tidak keluar. Perasaan jijik merambat cepat dalam diriku ketika melihat Ayahku sendiri. Perasaan yang sama dengan melihat seseorang memuntahkan isi perutnya di dalam mobil yang sedang kamu kendarai.

“Kamu boleh membenciku. Tapi setelah dewasa, kamu akan sadar bahwa mencintai lebih luas dari perkara laki-laki dan perempuan,” begitu kata Ayah sambil memberikan penekanan pada kata ‘laki-laki dan perempuan’. Aku tidak mengerti maksudnya. Segala hal yang terjadi malam itu masih membuatku gagal memahami kehidupan sampai sekarang.

Hari-hari berikutnya berjalan lebih mengerikan. Yoris semakin sering datang ke rumah. Meski ia membawakan aku banyak makanan, aku selalu langsung membuang pemberiannya ke tempat sampah. Aku selalu mual melihat Ayah dan Yoris yang berciuman secara terang-terangan. Ayah tidak pernah menghiraukan amarahku lagi. Ia hanya diam ketika aku mengumpat, terutama ketika kulihat mereka berdua berciuman dan saling menggerayangi. Bahkan ketika aku mengusir Yoris, Ayah justru mengajak Yoris masuk ke kamar, kamar tempat Ayah dan Ibu biasa tidur. Mereka mengunci diri di sana hingga tak lama setelahnya suara desah laki-laki saling bersahutan. Mereka tidak menghiraukan maki-makianku di luar kamar. Mereka tetap asik merayakan cinta dari dalam kamar yang terkunci.

Ayah bahkan pernah balas memukulku dan mengatakan bahwa aku anak yang tidak tahu diri karena membenci Yoris. Saat itu Ayah memberikan kenyataan yang tidak kalah pahit. Ternyata uang saku yang selama ini aku terima adalah pemberian Yoris. Laki-laki jahanam itu juga membayar uang sekolahku. Resesi membuat gaji Ayah tidak cukup untuk melanjutkan hidup dan sekolahku secara bersamaan. Ibu tidak bisa mengirimkan uang karena lembaga beasiswa hanya memberikan uang yang cukup untuk membiayai Ibu seorang. Jika Ibu memaksakan diri mengirim uang untuk kami di Indonesia, ia tidak akan bisa hidup di Belanda. Kenyataan hidup memintaku untuk menerima Yoris di rumah ini. Keadaan memaksaku untuk tersenyum kepada laki-laki menjijikkan itu.

Ah, terima kasih untuk pelukan dan tisunya, Sandra. Maaf, kamu harus melihatku menangis seperti ini. Pelukanmu baru saja benar-benar menenangkan. Mungkin baru kali ini ada seseorang seusiaku yang memberikan pelukan. Terima kasih, Sandra. Aku masih tidak menyangka kamu menerima latar belakang keluargaku yang menjijikkan. Tidak menjijikkan? Benarkah itu, Sandra? Meski orang tuaku adalah seorang gay, aku sama sekali belum pernah disentuh oleh mereka. Mereka tidak pernah berani menyentuhku tapi aku selalu merasa najis berada di rumah yang sama dengan mereka. Aku ingin pergi dari rumah ini untuk mencari Ibu, tapi ia sudah memutus komunikasi dengan kami seutuhnya. Aku tidak bisa menemukannya. Jika aku hanya memaksakan diri pergi dari rumah, nasibku akan berakhir menjadi sampah di Jakarta. Menunggu nasib atau seseorang membunuhku dengan keji. Satu-satunya orang yang menjamin agar aku bisa tetap hidup adalah Yoris.

Eh, Sandra, kamu mau mencicipi camilan ini? Aku yakin kamu belum pernah mencobanya. Aku membeli ini di Jakarta dan sepertinya memang hanya dijual di Jakarta. Nah, silakan dimakan Sandra. Maaf, Sandra, aku jadi terlalu banyak berbicara. Sungguh tidak apa-apa? Cerita-ceritaku tidak mengganggumu? Terima kasih, Sandra. Aku memang sudah memendamnya sejak lama. Aku tidak bisa menceritakan hal ini kepada teman-temanku di Jakarta. Berita tentang Ayahku dengan cepat tersebar di sekolahku saat itu. Mimpi buruk masih terus menggumpal dan aku tidak pernah siap dengan keadaan yang selanjutnya. Murid-murid perempuan yang awalnya aku anggap sahabat, mereka semua langsung menjauhiku. Murid laki-laki semakin gemar merundung aku. Mereka memanggilku dengan sebutan ‘gay junior’. Mereka mencengkeram tangan dan kakiku di kamar mandi, dan memaksa aku menonton film porno antara laki-laki dengan laki-laki. Setiap kali aku hendak masuk ke toilet, mereka langsung menendangku dan memaksaku buang air di toilet perempuan.

Keadaan semakin pelik ketika warga kampung dan sekelompok orang berjubah mendesak kami angkat kaki dari kampung. Mereka berteriak bahwa kampung ini tidak menerima orang-orang najis. Untuk pertama kalinya aku menaruh rasa kasihan pada Ayah. Aku memang selalu merasa najis karena hidup bersama mereka. Tapi aku tidak pernah menyangka kebencian yang ditunjukkan orang-orang ternyata lebih bengis. Mereka tidak hanya memaki sepertiku. Selain memaki, mereka melempari rumah kami dengan batu dan plastik berisi tinja. Ayah dipecat dari pekerjaannya atas dasar kantor tidak ingin mempekerjakan seseorang yang bermasalah. Ia juga tidak boleh datang ke warung tempatnya biasa membeli lauk. Semua orang menolak Ayah. Setiap hari Ayah harus mengepel area teras rumah yang terkena cipratan tinja. Ayah juga harus membereskan batu dan pecahan kaca yang mengotori rumah kami. Kepala Yoris sempat terkena lemparan batu hingga berdarah. Meski aku tidak merawat lukanya, untuk kali pertama juga aku merasa kasihan dengan si-pengganti-Ibu. Semuanya terasa melegakan ketika Ayah mengajak aku dan Yoris pindah ke kota ini, kampung halaman Ayah. Mereka berdua kemudian menemukan pekerjaan masing-masing, dan aku bisa melanjutkan sekolah. Itulah sebabnya aku sangat berhati-hati ketika di sekolah. Aku tidak ingin kejadian di Jakarta terulang. Aku tidak ingin kehilangan teman lagi.

Benarkah begitu? Kamu tidak akan meninggalkanku, Sandra? Benarkah kamu tidak masalah dengan keadaanku yang seperti ini? Senangnya! Terima kasih, Sandra. Boleh aku memelukmu? Aku merasa sangat tenang berada di pelukanmu. Ah, sangat menenangkan. Terima kasih, Sandra.

Oh iya, apakah kamu membawa peralatan rias milikmu, Sandra? Benarkah? Asyik! Tunjukkan Sandra! Tunjukkan! Wah! Cantik sekali! Dari mana kamu mendapatkan semua ini? Tunggu sebentar, ada satu hal lagi yang ingin aku tunjukkan kepadamu. Tapi, maaf, tolong pastikan pintu sudah terkunci. Sudah terkunci? Baiklah. Aku harus memastikan pintu terkunci karena Ayah selalu memarahiku setiap kali aku melakukan ini. Kamu tunggu di sini. Hanya sebentar. Bagaimana, Sandra? Alasanku memintamu membawa alat rias? Tunggu saja, Sandra! Sedikit lagi. Tapi kamu harus janji tidak menceritakan ini kepada Ayah ya? Janji? Terima kasih, Sandra! Kamu memang sahabatku.

Nah! Lihat! Bagaimana penampilanku, Sandra?

Halo? Kenapa bengong? Apakah aku terlihat cantik?

Sandra? Hei, kamu kenapa?

Dari mana aku membelinya? Tentu saja toko belanja online. Aku harus membelinya diam-diam. Ayah pernah memergokiku sekali ketika aku sedang swafoto di cermin memakai lingerie. Bodohnya aku saat itu lupa mengunci pintu. Ia merampas dan membakar semua koleksi lingerie yang sudah aku beli. Sejak saat itu aku selalu membelinya diam-diam. Aku harus memastikan agar kurir tidak datang ketika Ayah sedang di rumah. Aku menyimpan lingerie koleksiku di kotak ini. Lihatlah, Sandra! Ada yang berwarna merah muda, biru langit, merah muda, hitam, dan putih. Dan lihat, aku juga membeli alat-alat rias. Aku menyimpannya di sini bersama dengan koleksi lingerieku. Tapi sepertinya alat rias milikku tidak bagus seperti alat riasmu, Sandra. Kapan-kapan kamu harus menemaniku ke mal untuk membeli alat rias yang sama seperti miliikmu. Hei, Sandra, lihat! Aku juga punya heels ini. Lihat! Apakah cocok ketika aku memakainya? Tingginya 12 sentimeter. Menurutmu apakah aku tampak lebih tinggi dengan heels ini? Awalnya kakiku lecet bahkan sampai kram. Tapi sekarang, lihat! Aku sangat lincah berjalan menggunakan heels ini.

Hei, hei, hei! Lihat ini, Sandra! Aku juga sudah membeli parfum yang sama dengan parfum milikmu! Sejak awal aku duduk bersebelahan denganmu, aku sangat senang dengan aroma parfum milikmu. Langsung saja aku beli agar tubuh dan bajuku juga harum seperti kamu. Kamu tidak masalah bukan kalau parfum kita sama? Oh iya, aduh maaf, kenapa aku malah jadi pamer begini? Nah, Sandra, lihat ini! Aku sudah membeli semua ini. Setelah aku cari tahu lewat internet, aku sudah hafal nama-namanya. Mulai dari primer, foundation, bedak, concealer, lalu blush on. Ini lipstik, eye shadow, beauty blender, eyeliner, maskara, pensil alis. Lalu ini setting spray, eyebrow comb, dan ini eyelash. Hore! Hebat bukan? Aku sudah hafal semua nama alat-alat ini.

Tahukah kamu, Sandra, Ayah sangat marah ketika mengetahui aku seperti ini. Dia berteriak di depan wajahku. Ia mengatakan aku adalah anak tidak waras dan menyalahi kodrat. Dan tebak, apa yang aku katakan kepadanya? Aku berkata kepadanya, jika cinta lebih luas dari laki-laki dan perempuan maka manusia terlalu sempit jika hanya laki-laki dan perempuan. Jika sebuah keluarga bisa memiliki dua ayah, bukankah seorang perempuan juga bisa tinggal di tubuh laki-laki?

Bagaimana Sandra? Kata-kataku keren bukan? Aku mengembalikan perkataannya. Ayah terlihat semakin marah. Ekspresi yang sama seperti ia sedang cekcok dengan Ibu sebelum Ibu berangkat ke Belanda. Tinju Ayah saat itu pasti mendarat di wajahku jika Yoris tidak menahannya. Ada gunanya juga laki-laki jahanam itu. Yoris memintaku untuk masuk ke kamar dan mengunci pintu. Sejak itu aku menyimpan ini semua dengan cermat. Bukan karena takut Ayah akan memarahiku. Aku hanya takut jika dia akan membuang dan membakar lagi semua barang-barang ini. Dia tidak pernah tahu berapa uang yang sudah aku keluarkan untuk membeli ini semua.

Sandra, aku memintamu datang dengan membawa alat rias karena aku ingin kamu mengajariku berdandan. Tolong, Sandra. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Aku ingin bisa berdandan sama sepertimu. Aku ingin menjadi cantik sepertimu. Aku ingin kamu membantuku. Jika sudah bisa berdandan, aku merasa lebih percaya diri. Bantulah aku, sahabatku. Hanya kamu satu-satunya yang bisa membantu aku. Aku tinggal belajar berdandan. Setelah itu, aku tinggal memanjangkan rambut dan kamu harus menemaniku ke salon untuk creambath. Ah, senang sekali rasanya!

Sandra? Mengapa kamu menatapku dengan wajah seperti itu?***

Madiun, 03 Maret 2022

Kristophorus Divinanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email