Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Menyelami Siklus Kemiskinan di Paris dan London

Kukuh Basuki

3 min read

Dalam benak kita, Paris dan London pastilah kota penuh gemerlap dan keindahan. Dua kota besar tersebut merupakan ikon kemajuan peradaban manusia dengan segala pencapaiannya. Namun, tidak semua yang kita bayangkan benar seluruhnya. Melalui novel Down and Out in Paris and London, George Orwell mengajak kita menelusuri sisi lain dua kota metropolitan yang juga penuh dengan kekumuhan dan kemiskinan.

Novel yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Orwell yang jatuh miskin di kedua kota tersebut seperti memperlihatkan dengan jelas bahwa kota-kota besar bukanlah surga semua orang. Kota seperti mempunyai dua sisi yang saling berseberangan; sisi yang penuh kenyamanan dan sisi yang berlumur penderitaan. Sering kali, media massa dan buku-buku pariwisata hanya memotret sisi terang kota tanpa peduli dengan apa yang dialami masyarakat “bawah tanah” penopang hidup elit masyarakat tersebut.

Alih-alih menceritakan kemiskinan dengan penuh ratapan, kesedihan, atau kemarahan seperti kebanyakan cerita-cerita tentang kemiskinan, Orwell justru bercerita penuh kejenakaan dan hal-hal absurd lainnya yang tak terpikirkan oleh pembaca. Ini merupakan cara Orwell memberikan pesan tersirat kepada pembaca bahwa orang-orang miskin tak akan menyerah dengan keadaan. Mereka akan selalu menemukan cara untuk menaklukkan kemiskinan yang dideritanya.

Baca juga:

Paris

Di Paris, tokoh utama (tak bernama) merupakan pendatang dari Inggris yang bekerja sebagai guru les bahasa Inggris dan sesekali menulis artikel di koran. Karena gajinya tidak seberapa, ia harus rela bertempat tinggal di penginapan kumuh yang dihuni oleh kalangan miskin seperti buruh kasar, kuli, mahasiswa, pelacur, dan gelandangan.

Tokoh utama berteman dengan seorang juru masak asal Rusia bernama Boris. Mereka sering bertemu untuk berbincang-bincang dan bermain catur. Kondisinya yang sesama pendatang membuat mereka tidak banyak pilihan untuk bergaul dengan orang lain. Mereka juga sering berbagi makanan dan saling meminjamkan uang ketika salah satu di antara mereka kelaparan.

Permasalahan timbul ketika tokoh utama mulai menunggak pembayaran sewa tempat penginapan lantaran pekerjaannya sebagai guru les sudah mulai tidak pasti dan Boris juga baru berhenti dari tempat kerjanya. Bahkan, untuk makan mereka harus menggadaikan pakaian. Kedua orang ini harus memutar otak dan mencari jalan alternatif untuk mendapat uang.

Tak punya banyak pilihan, si tokoh utama mengambil saran-saran pekerjaan yang ditawarkan Boris kepadanya. Mulai dari penulis berita propaganda komunis hingga tukang cuci piring (plongeur) di restoran hotel. Namun, bukannya memperbaiki taraf hidup, pekerjaan-pekerjaan si tokoh utama justru membuatnya tambah miskin dan tertekan.

London

Kondisi kerja yang melelahkan fisik dan psikis di Prancis membuat tokoh utama tidak betah sehingga memilih untuk pulang ke London. Ia sudah dijanjikan temannya untuk bekerja di tempat perawatan gangguan jiwa. Sebuah pekerjaan yang baru, tapi setidaknya menghindarkan tokoh utama dari kerja berat di tempat kumuh dalam waktu yang lama.

Kesialan sekali lagi menimpa tokoh utama. Setelah kehilangan hampir semua pakaiannya yang digadaikan untuk makan, kini ia harus menerima kenyataan bahwa pekerjaan yang dijanjikan temannya masih berhenti beroperasi. Dengan meminjam beberapa uang dari temannya, tokoh utama mencari tempat penginapan murah di London. Uang yang dipinjamnya ternyata hanya cukup untuk makan.

Sementara belum dapat pekerjaan, tokoh utama harus rela tidur di rumah penampungan yang kondisinya hampir mirip sel tahanan. Ia harus berpindah dari penampungan satu ke penampungan lainnya karena ia tidak diizinkan bermalam lebih dari satu hari dan tidak boleh kembali ke tempat semula dalam jangka waktu satu bulan.

Di penampungan, tokoh utama berteman dengan Paddy, gelandangan yang sudah dua tahun kehilangan pekerjaan setelah dipecat dari pabrik pelapis logam. Suatu hari, Paddy mengajak tokoh utama untuk mencari penginapan lain yang lebih layak. Paddy mengajak tokoh utama ke Bozo, tamannya seorang seniman jalanan yang sehari-hari melukis di jalanan. Akhirnya, kedua orang itu menyewa penginapan di tempat Bozo tinggal; sebuah penginapan yang tak jauh beda dengan tempat tinggalnya yang kumuh di Prancis.

Tulisan lain oleh Kukuh Basuki:

Siklus Kemiskinan

Orwell memang tidak memberikan titik terang bagaimana nasib tokoh utama ini di akhir cerita. Orwell seakan menceritakan siklus kemiskinan abadi yang dialami oleh tokoh utama dari kota ke kota. Dengan mengikuti perjalanan tokoh utama, Orwell mengajak pembaca lebih dekat mengenal lingkungan kemiskinan di dua kota besar Eropa.

Orwell juga menyelipkan sebuah pemikiran kritis dan filosofis tentang gelandangan miskin di perkotaan. Secara tajam, Orwell menganalisis fenomena munculnya orang-orang nomaden kumal yang berkeliaran di kota-kota besar.

Kalau dipikir lebih jauh, gelandangan itu suatu produk aneh dan harus lebih diteliti. Sungguh aneh bahwa ada segolongan besar orang, yang jumlahnya puluhan ribu, sehingga mirip suku tersendiri, berjalan mondar-mandir di Inggris seperti bangsa Yahudi dulu berkelana.”

Menurut Orwell, gelandangan bukanlah diturunkan dari sifat nomadik zaman purba. Sama seperti pedagang, gelandangan adalah produk suatu peradaban. Gelandangan ada bukan karena mereka menyukai kondisi seperti itu, tapi mereka dipaksa oleh sistem dari hirarki masyarakat yang berlaku di Inggris. Jika tidak ada seorang pun di sekitarnya yang membantu, maka gelandangan hanya bergantung bantuan dari negara dan tinggal di rumah penampungan sementara untuk dapat makan dan tempat tidur. Karena penampungan hanya bisa memberikan izin tinggal satu malam, gelandangan ini berpindah dari penampungan satu ke penampungan lainnya setiap hari.

Orwell juga memberi analisis singkat mengapa ada pekerjaan berat dengan gaji yang tidak layak, tapi menghabiskan waktu yang panjang tanpa hari libur. Bagi Orwell, ini juga tidak alami.

Seperti penarik kereta di India yang muncul karena sebagian orang kaya mulai berpikir ada jalan yang lebih mewah dari jalan kaki, maka pelayan restoran itu juga ada karena ada sebagian kelas masyarakat yang berpikir ada cara yang lebih mewah daripada sekadar makan untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya. Sebuah cara hidup estetik yang harus ditopang dengan orang-orang miskin yang hanya punya dua pilihan: bekerja keras atau mati kelaparan.

 

Editor: Emma Amelia

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email