Mengenang–Merayakan

Peraduan dan Puisi Lainnya

Ikhsan Noer Fauzi

1 min read

KELAK

selalu ada sunyi yang merapal namamu
di setiap perayaan paling biru,
dan cita melarungkan seluruhnya waktu
yang gugur di tubuh kembara itu.

_

MEMORIAL

malam meninggi,
waktu mencatat kita serupa cendera mata
sua pertama.
aku datang, memenuhi setiap pertanyaan
yang diendapkan jarak di jantung-jantung ruang.

gugup mengelindan
tatap-senyum seorang perempuan
luruh dalam kesangsian.

di seberang jalan: 34.175.21
di sudut pasar kerdil itu,
asap rokomu dalam penantian
merengkuh semua keluh
dari raut congkak kemasygulan.

aku datang, memeluk semua
takdirmu yang tak biasa,
kendati pelik memesan damai
dari dua orang saling bercermin
dibiarkan sepasang.

_

PERADUAN

kau yang terbaring di pangkuan api,
air mata berguguran
menyemai kembali hasratnya
di atas kematian
yang menyusun dirinya kembali.

di tubuh-tubuh terbakar ini
rumah hanyalah reruntuhan tragedi,
deru kereta mengantar kita pergi.

dan tak ada yang dijanjikan pagi
selain tubuhmu dan tubuhku
kala itu,
menjengkal kebaktian suaramu
akan cinta yang terlepas
dari keabadian masa kecil
yang mengubur ribuan trauma
—luruh seluruh-luruhnya
ke dasar fitrah
sejauh kau mengembara.

_

SEKALI LAGI

ingin aku berbaring di sisimu sekali lagi
pada sunyi september dengan segala kebaktiannya
mengulang seluruh malam ke sembilan,
mengenang pelik pelukanmu dalam lika-liku luka
dan segala yang meniada.

ingatlah sepasang mataku yang tenggelam
bersama matamu
ketika napas kita saling mengudara,
merajai langit hasratmu dan hasratku yang dahaga.

di lembah kasih itu telah aku titipkan
dua puluh keping kenangan dalam sembilan belas tubuh puisi
yang menasbihkan cintanya di rimba raya.

_

LAUT DAN PERAYAAN

mereka akan datang padamu sebagai tamu paling lugu yang dihadiahkan waktu kepada jantung lautan,
menebar sisa-sisa aku di puncak perayaan yang tak pernah bisa kau kendalikan.

kerinduan ialah elegi paling lantang merawat ketiadaan.

Syair-syair keabadian yang kau nyanyikan menjadi hutang yang mesti kau bayar setiap malam.

Limbung jarum jam dan segala yang tak terbahasa,
sebab kaulah satu-satunya purnama di tubuh mereka.

Riuh mengundang segala aku menjadi debur ombak yang memecah setiap kantukmu.

Mereka akan terus menemani sepi tubuhmu,
membimbing lautan, menjadi gelombang pasang-surut di terang dan gelap cahayamu.

Sampai kau berhenti merayakan aku,
menjadi syair abadi di tengah lautan yang kau biarkan pasang dan menenggelamkanmu dalam kenestapaan.

*****
Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Noer Fauzi
Ikhsan Noer Fauzi Mengenang–Merayakan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email