Dalam beberapa waktu terakhir, istilah healthy food, superfood, wholesome food, good food, dan berbagai label serupa yang disematkan pada pangan sehat semakin marak di Indonesia. Teknologi digital, media sosial, dan peran influencer yang mengkampanyekan gaya hidup sehat berkontribusi besar dalam memperluas kesadaran masyarakat tentang pangan yang dianggap ‘lebih sehat’. Produk-produk superfood yang diklaim lebih kaya nutrisi kini tersedia luas di platform daring dan dipasarkan untuk berbagai kalangan, mulai dari bayi hingga lansia.
Perbincangan tentang makanan sehat semakin populer dengan adanya program kuliner seperti Ala Chef yang tayang di Trans TV pada 2008. Program ini menampilkan chef ternama Farah Quinn, yang membagikan resep makanan sehat dengan gaya bercerita khas dan memadukan penggunaan istilah asing. Sukses menggaet atensi masyarakat, Farah meluncurkan buku berjudul Healthy Happy Family di tahun 2013.
Farah menekankan pentingnya menginvestasikan biaya tambahan untuk makanan sehat karena makan sembarangan dapat berisiko membawa penyakit. Dia menyebut sering menggunakan serbuk wheat germ dan ground flaxseed dalam menu sehari-hari, termasuk nasi goreng, karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Meski istilah superfood belum marak digunakan saat itu, kedua bahan yang disebut Farah kini termasuk kategori superfood yang populer di kalangan pegiat gaya hidup sehat. Contoh superfood lainnya yang viral adalah muesli, oat, chia seeds, kacang almon, quinoa, hemp, dan kale.
Baca juga:
Dari Empat Sehat Lima Sempurna hingga Clean Eating
Sejak lama, masyarakat Indonesia telah mengenal konsep pangan sehat melalui Empat Sehat Lima Sempurna yang diperkenalkan oleh Prof. Poerwo Soedarmo pada tahun 1952. Konsep ini menekankan konsumsi lima kelompok makanan utama, yaitu nasi sebagai sumber karbohidrat, lauk-pauk sebagai sumber protein, sayur, buah, dan susu sebagai pelengkap gizi. Pada masanya, konsep ini menjadi panduan utama untuk mendukung kesehatan masyarakat dan mengurangi malnutrisi. Poster 4 sehat 5 sempurna dahulu lazim ditemui di posyandu, rumah sakit, hingga dinding sekolah.
Namun, seiring berjalannya waktu, konsep Empat Sehat Lima Sempurna dianggap kurang relevan karena tidak sepenuhnya mencakup kebutuhan gizi yang lebih kompleks di masa kini. Oleh karena itu, konsep ini diperbarui menjadi Pedoman Gizi Seimbang (PGS). PGS menekankan pentingnya kesesuaian asupan makanan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan kondisi kesehatan. Selain itu, PGS juga mendorong masyarakat untuk menerapkan gaya hidup sehat melalui aktivitas fisik, konsumsi beragam jenis makanan, serta pemantauan berat badan secara rutin.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat, kini masyarakat juga mulai mengenal tren clean eating. Pola makan ini muncul sebagai reaksi terhadap maraknya konsumsi makanan cepat saji atau junk food yang tinggi kalori, lemak, gula, dan garam, tetapi rendah nutrisi. Clean eating menitikberatkan pada penggunaan bahan-bahan segar, alami, dan minim pengolahan. Konsep ini mengedepankan konsumsi whole food atau makanan yang tetap mempertahankan bentuk aslinya sebelum diolah, serta sebisa mungkin menggunakan superfood sebagai bahan utama. Chia seeds, kale, dan quinoa kerap digunakan dalam menu populer seperti smoothie bowl, salad, atau makanan ringan berbasis biji-bijian.
Apakah Superfood Sekadar Gimmick Marketing?
Istilah superfood hingga kini masih menjadi topik perdebatan dalam dunia medis, gizi, dan teknik pangan karena tidak ada definisi universal yang telah disepakati untuk kategori pangan ini. Associate Professor Jayashree Arcot dari UNSW menjelaskan bahwa istilah ini sering digunakan secara bebas oleh para lifestyle gurus atau influencer dan kerap dianggap sebagai ‘healthy halo’ atau sekadar jargon pemasaran. Di negara-negara Barat, penelitian yang dilakukan oleh Tina Sikka pada tahun 2019 bahkan menunjukkan bahwa fenomena superfood semakin berkembang menjadi subkultur yang menciptakan standar ‘sehat’ baru yang melampaui definisi sehat pada umumnya.
Dalam penelitian berjudul The Contradictions of a Superfood Consumerism in a Postfeminist, Neoliberal World, Sikka berpendapat bahwa konsumsi superfood menciptakan dikotomi antara makanan ‘jahat’ versus makanan ‘baik’, juga ‘kotor’ versus ‘bersih’. Lebih dari sekadar alasan kesehatan, konsumsi superfood digunakan sebagai cara untuk menunjukkan citra diri yang berkelindan dengan nilai konsumsi kelas menengah atas. Terlebih, tren ini juga acap kali menekankan pembatasan pola makan yang ketat dan berpotensi menimbulkan tekanan psikologis bagi individu tertentu.
Di mata warga global, superfood sering dianggap sebagai makanan eksotis, ajaib, atau hidden gem yang berasal dari negara-negara di Global South, termasuk Indonesia. Namun, di balik konsumsi besar-besaran superfood, negara-negara Barat justru menjadi pihak yang lebih banyak diuntungkan dibandingkan negara pemasok. Contohnya, jika di Indonesia tempe (yang belakangan mulai digaungkan sebagai superfood) dijual dengan harga beberapa ribu rupiah saja, di Amerika Serikat harganya bisa mencapai Rp400.000. Kondisi ini mencerminkan ketimpangan dalam rantai nilai superfood yang menguntungkan pasar negara maju.
Baca juga:
Superfood dan Kesadaran akan Konsumsi Berkelanjutan
Meski demikian, tren superfood tidak sepenuhnya buruk. Banyak orang memilih superfood sebagai bagian dari gaya hidup yang mengedepankan konsumsi etis dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan. Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan ini patut diapresiasi karena mampu mendorong diskusi tentang pentingnya pola makan yang lebih ramah lingkungan. Namun, masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai situasi ini. Penelitian pada tahun 2023 berjudul Superfoods: A Super Impact on Health and the Environment? mengungkap bahwa emisi karbon dari produksi superfood ternyata juga tidak jauh berbeda dengan pangan agrikultur pada umumnya, terutama ketika mempertimbangkan jarak distribusi antar wilayah atau negara.
Pada dasarnya, kita tidak perlu silau oleh berbagai citra yang disematkan pada pemasaran produk superfood yang sering kali dibandrol dengan harga mahal dan ditargetkan untuk kalangan tertentu. Menjadi sehat tidak harus berarti mengonsumsi produk yang dianggap eksklusif. Banyak bahan pangan lokal yang juga sama kaya nutrisi dan mudah ditemui di pasar atau swalayan dengan harga terjangkau. Konsumsi lokal justru bisa menjadi salah satu opsi yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi siapa saja sekaligus memberdayakan petani.
Editor: Prihandini N
