Getir
Petani itu berpagi-pagi pergi
Menuju ladang
Menanam harapan, menuai keputusasaan
Menggemburkan dada, menyuburkan lara
Garis hidupnya terperangkap di dua masa
Pertama masa paceklik
Satunya lagi masa tagihan utang
Langit jingga adalah alarm
Tangan kasarnya pulang dengan gontai
Siap menyeka air mata anaknya
Yang kini kelaparan lagi
Jenaka
Lahan sengketa terpingkal-pingkal
Mendengarkan gurauan pejabat tua
Memotivasi petani-petani muda
Alih-alih sejahtera
Keluarga petani memilih siaga
Ucapan manis hasilnya sama saja
Jeritan suara berhadapan dengan moncong senjata
Rasa takut pada maut telah lama sirna
Pengusiran dari sumber penghidupan jauh lebih mencekam
Atas nama aliran dana, status mereka bertambah
Penghambat pembangunan
Hutan belantara terbahak-bahak
Mendengar celotehan pejabat
Mengobral kata ‘manfaat’ dan ‘optimal’
Rencana berbuah bencana
Masyarakat adat takluk lagi
Di hadapan modernisasi
Ekstrapolasi
Kek, siang ini aku mengunjungimu dari masa depan
Seusai sarapan sepiring daging rekayasa
Kata nenek, buah asli itu nikmat
Lebih menyegarkan
Kata nenek, moyangku sangat hebat
Bisa menghilangkan dahaga dengan air sungai
Kata nenek, kampungnya telah tiada
Tersapu kenaikan air laut
Kata nenek, semua kerabatnya telah mendahului
Menyisakan dirinya di hadapan zaman
Bersama warisan limbah polimer
Rahasia
Hiruk-pikuk kota berbisik padaku
Hidup kita tidak mengalir seperti air
Hidup kita mengalir seperti pangan
Diatur mekanisme pasar
Ada Sajak di Makananmu
Aku ingin menempelkan sajak
Di sepanjang rantai pasok makanan
Dari hulu ke hilir
Dari tangan petani hingga suapan konsumen
Kata-kata tersebar untuk memastikan
Tak ada lagi bencana kelaparan
Sajakku akan berkeliaran
Memenuhi undangan pernikahan
Menyemangati keranjang sampah restoran
Mengetuk hunian sempit metropolitan
Mematuk kantuk pejabat yang kekenyangan
Ia akan terus bergerilya
Hingga menjadi
Menu favorit semua manusia
Petani selalu menanam walau ia terus dilanda kegagalan