“Bukankah wajar, Rul, kalau orang tuamu terus mendesakmu agar cepat-cepat mendapat pekerjaan?” aku rasa pertanyaan itu cocok dan tidak akan menyinggung perasaan Sahrul, lelaki yang delapan tahun setelah mendapatkan gelar strata satu masih tetap menganggur. Namun sayang, nampaknya Sahrul tidak mendengar pertanyaan yang kuajukan padanya.
Aku terus menikmati percakapan yang ramai dan hangat dari mulut empat lelaki di meja makan. Empat lelaki yang saling menemukan karena kemiskinan itu telah menjalin hubungan—yang entah apa sebutannya—selama lebih dari satu dekade. Keempat lelaki itu, selama lebih dari satu dekade terus-menerus tinggal di atap yang sama, Rumah Kos Bunda Emi.
Tersebut Sahrul, lelaki pengangguran yang selalu membicarakan kembali keluhan yang ia dapat dari kedua orang tuanya jika ia ada di rumah. Lalu ada Pian Erpian, pegawai pabrik yang tahun lalu baru menyandang status duda karena istrinya merasa diselingkuhi oleh ketiga kawan indekosnya—menurutmu, istri mana yang tidak akan marah jika suaminya tidak pernah tidur di rumah, dan malah tidur di rumah kos yang ditempati sejak kuliah? Tentu semua istri akan marah. Ada pula Majid, si pecinta mesin, dan kini sudah memiliki bengkelnya sendiri—meski sebenarnya lebih cocok disebut sebagai tempat isi angin ban, karena seumur bengkel empat kali empat meter itu didirikan, yang mampir hanyalah motor atau sepeda yang bannya kehabisan angin. Dan lelaki terakhir adalah, Tambang, yang kadar keuangannya paling tinggi di antara ketiga nama sebelumnya, bisa dibilang begitu karena Tambanglah satu-satunya lelaki yang masih bertahan menjadi mahasiswa untuk gelar doktor dengan beasiswa dari pemerintah.
Berhenti menceritakan tentang jati diri dari masing-masing lelaki yang masih sibuk dengan percakapannya di meja makan. Ini sedikit janggal. Agaknya aku melihat hal berbeda dari raut muka Tambang. Matanya tak seberingas biasanya kala menyantap sajian di meja makan bersama tiga kawan lelakinya yang terus berbincang itu. Matanya menyiratkan gelisah dan ketakutan.
“Membunuh orangkah kau, Tambang?” rupa-rupanya Sahrul, si pengangguran itu memiliki tanya yang sama denganku terkait kejanggalan mimik Tambang. Yang ditanya hanya mengelakkan pandang mata, tanda tak terjadi apa-apa. Percakapan yang entah sudah sampai mana pun berlanjut. Namun, raut gelisah pada wajah Tambang tetap tak berubah.
Suasana yang sempat hening karena pertanyaan nyeleneh milik Sahrul sempat kembali ramai dan hangat. Meski begitu, hal itu tak bertahan lama. Ketiga lelaki yang sedetik tadi masih berbincang, kini diam melihat bagaimana jari telunjuk Tambang yang diketuk-ketukkan di atas meja makan dengan ritme yang kencang, hingga menimbulkan suara dan getaran yang mengganggu pembicaraan syahdu mereka di meja makan.
“Sejak kapan kau bisa menyimpan kegelisahanmu sendiri, Tambang? Kami sedang menikmati hidangan di meja makan. Segala percakapan alangkah baiknya dituangkan di atas sini!” si pemilik bengkel menyuarakan ketidaknyamanan yang sudah dirasa sejak Sahrul menanyakan kegelisahan pada raut wajah Tambang, “Bahkan tak ada yang perlu dirahasiakan di antara kita. Baik buruk kita, sudah tertumpah rata di atas meja makan ini!” lanjut Majid sambil menunjuk ke arah meja makan di hadapannya.
Pian mengangguk dengan gamblang, “Bahkan, mantan istriku saja tidak mendapatkan kejujuran dariku seperti yang tertuang di atas meja makan ini, Tambang! Apalagi yang menghalangimu untuk menuangkan kegelisahanmu di sini?”
Tambang berdiri. Langkahnya ia bawa ke belakang. Sambil mengamati ketiga kawannya yang selalu asyik berbincang di meja makan. Kali ini kakinya ia bawa mondar-mandir. Raut muka gelisahnya makin menjadi. Baik Sahrul, Pian, dan Majid, ketiganya hanya diam melihat bagaimana Tambang tak mampu menguasai kegelisahan yang dialaminya.
“Kau ini kenapa, Tambang? Macam orang tak waras saja!” Sahrul memaki, tak tertinggal, tangannya ia gebrakkan hingga piring di atas meja sedikit bergeser. Dari keempat lelaki di ruangan tersebut, nampak wajar bila yang paling tidak sabaran adalah yang pengangguran—beban hidupnya lebih berat ketimbang yang lainnya. Mendengar Sahrul yang kepalang penasaran dengan keadaannya, ia memutuskan untuk kembali duduk di kursi di depan meja makan.
Meski sudah kembali duduk, Tambang tak langsung membuka mulutnya. Ia nampaknya masih menimbang-nimbang. Aku dan ketiga lelaki lainnya yang menyaksikan kegelisahan milik Tambang, tak bisa menebak apa yang ingin ia ungkapkan. Mungkinkah beasiswanya dicabut hingga ia tak tahu harus berbuat apa? Atau, mungkinkah ia mendapatkan beasiswa lagi? Studi ke luar negeri, misalnya?
Pertanyaan di kepalaku terhenti tatkala Tambang membenarkan posisi duduknya dan mengangguk mantap—upaya meyakinkan dirinya sendiri untuk mulai berbicara.
“Sebenarnya …” Tambang kembali menarik napas sedikit panjang dan menyimpannya di ujung paru-paru, “ … kapan kalian akan meninggalkan tempat ini?” Aku, dan ketiga kawannya kaget dengan pertanyaan yang diutarakan oleh Tambang.
“Tidakkah kalian kasihan padaku?” matanya berair. Kenapa kau menangis, Tambang?—tanyaku yang tak terdengar oleh telinganya. Aku menatap satu per satu mata dari ketiga lelaki yang diberi pertanyaan tersebut oleh Tambang. Sahrul, si pengangguran, mengalihkan pandangan matanya ke arah langit-langit ruangan. Pian, si duda, hanya menunduk dan merapatkan kedua telapak tangannya ke atas paha. Sementara, Majid, matanya tetap menatap mata kepunyaan Tambang. Kulihat, keempat pasang mata milik keempat lelaki tersebut sama- sama penuh dengan air. Ada apa sebenarnya? Apa di sini hanya aku yang tak mengerti situasinya?
“Pergilah! Pulang ke tempat kalian!” dengan suara yang parau, Tambang mengeluarkan perintah. “Aku tidak lagi menginginkan kalian di sini. Pergilah ke tempat kalian!” Tambang mengetuk-ngetukkan kepalanya di atas meja makan. Pelan, pelan, sedikit kencang, hingga sangat kencang. Aku khawatir melihat hal yang dilakukan oleh Tambang. Sampai akhirnya …,
“Nak, tolonglah. Jangan seperti ini …” seorang perempuan yang terlihat sangat cocok jika menjadi seorang ibu berlarian dari ruang tamu ke ruang makan. Ia ambil paksa seluruh badan—terutama kepala—milik Tambang. Ia taruh seluruhnya ke dalam pelukannya, “Bunda di sini. Ada Bunda, nak! Tenang, nak!”
Setelah Tambang lebih tenang, perempuan yang menjuluki dirinya sebagai bunda itu membawa Tambang pergi ke suatu tempat yang terlihat menenangkan di mataku—entah jika di mata Tambang. Di tempat itu, aku tidak tahu betul apa yang dilakukan oleh Tambang dan seorang perempuan dengan wajah teduh yang selalu bertanya dan tersenyum pada Tambang. Mungkinkah ia kekasih Tambang?
Namun, tiba-tiba, percakapan mereka berdua terdengar olehku. “Jadi, bagaimana, Tambang? Kamu sudah meminta ketiga kawanmu untuk pulang ke tempatnya?” Tambang mengangguk. “Kamu sudah lega?” masih mengangguk. Perempuan yang bertanya itu tersenyum dan kembali berkata, “Bagus, Tambang. Ini sebuah kemajuan yang sangat luar biasa. Ingat, ya, jangan lupa untuk meminta ketiga kawanmu untuk pulang jika mereka mengajakmu berbincang?” Tambang mengangguk lagi. “Jika ketiga kawanmu tetap tidak pergi, kamu boleh meminum ini!” ia memberikan satu botol kapsul yang entah apa itu. Perempuan itu nampak cantik, siapakah dia hingga memberikan semacam obat untuk Tambang?
“Silakan, Tambang. Bundamu sudah menunggu di depan. Pulang dan beri senyuman pada bundamu, ya. Bunda Emi, jika saja kau lupa dengan namanya!” Tambang lagi-lagi mengangguk, dengan penuh usaha ia mencoba untuk tidak memasang wajah gelisah, takut, dan sedih seperti sebelumnya. Tambang masuk ke dalam mobil bersama perempuan yang ternyata adalah Bunda Emi, dengan sedikit senyuman.
Aneh sekali, di tengah kejadian itu, tiba-tiba semua gelap. “Apa-apaan ini?” aku mencoba meraba segala yang bisa menjadi pegangan tanganku di tengah kegelapan. Dan tak lama, semua kembali terang. Namun, sudah tak kutemukan lagi diri Tambang dan Bunda Emi yang sebelumnya masih di hadapan mataku.
“Sepertinya tadi ada korsleting listrik,” aku menengok ke arah suara lelaki tersebut. Syukurlah, aku menemukannya lagi. Kuhampiri ia dengan senyuman dan pelukan erat. “Kamu hebat, sangat hebat!” dada lelaki itu basah oleh air mataku.
“Kamu menonton film itu lagi?” masih dalam pelukannya, aku mengangguk. “Sudah kubilang, jangan ditonton, aku malu jika kisah hidupku disaksikan terus-menerus. Apalagi dalam bentuk film seperti itu!” aku semakin erat memeluk tubuh dan jiwanya yang pernah begitu terpuruk karena ditinggal ketiga sahabat karibnya ke pangkuan Tuhan akibat kecelakaan belasan tahun lalu. Aku sangat menyayangi kekasihku, Tambang, yang dengan sekuat tenaga mampu menghilangkan bayang-bayang palsu ketiga sahabatnya yang sudah tiada.
Pelukanku ia lepas pelan, “Mari makan, Bunda sudah menyiapkan makanan kesukaanmu di meja makan.”
Digenggamnya tanganku, diajaknya aku melangkah, duduk, makan, dan berbincang di meja makan. Menggantikan kebiasaan yang dilakukan olehnya dan ketiga kawannya. Abadilah Sahrul, Pian, dan Majid di alam sana. Tak perlu lagi khawatir, kini, aku yang menjadi kawannya untuk berbincang di meja makan. Yang kita—aku, Tambang, dan Bunda—bicarakan di meja makan, tak lain, adalah kebahagiaan saat Tambang bersama kalian.
Di tengah syahdunya kami menikmati sajian dan perbincangan di meja makan, Bunda Emi tiba-tiba bertanya, “Bunda tidak pernah tahu, sejak kapan kamu dan Tambang menjadi pasangan kekasih?” aku dan Tambang hanya tersenyum, karena selama ini, yang Bunda Emi tahu, hubunganku dan Tambang hanya sebatas dokter dan pasien.
*****
Editor: Moch Aldy MA