Penulis Ulung

Mengemis dalam Balutan Religi

Syamsul Alam

3 min read

Di tengah dinamika kehidupan kota yang serba cepat, fenomena pengemis telah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di ruang publik. Namun, praktik pengemis tampaknya mengalami transformasi yaitu sejumlah individu yang memilih membalut aktivitas mengemis ke dalam simbolisme religius.

Mereka (pengemis) tidak hanya memanfaatkan ruang-ruang fisik, tetapi juga memainkan ruang simbolik yang berkaitan erat dengan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Atas dasar tersebut, kerap kali memanfaatkan kedalaman emosional yang ditawarkan oleh simbol-simbol keagamaan, kemudian dimodifikasi demi mendapatkan simpati atau bahkan rasa kewajiban moral dari para pemberi.

Masyarakat pada umumnya, kerap kali memandang mengemis sebagai suatu pekerjaan yang hina-miskin. Namun, dalam parsepsi para pengemis itu sendiri, mengemis adalah “pilihan hidup”, karena dengan melalui cara ini mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Asumsi tersebut kini mulai berubah seiring perkembangan zaman. Meski masih ada persepsi bahwa pengemis adalah orang miskin, kenyataannya tidak selalu demikian. Perilaku mengemis telah bergeser orientasinya. Mengemis tidak lagi sekadar menjadi jalan keluar dari keterpurukan ekonomi, melainkan menjadi pilihan ‘profesi’ yang dianggap menguntungkan. Dengan modal yang relatif sedikit, pengemis bisa menghasilkan pendapatan yang cukup memuaskan.

Tidak heran ketika kita menemukan seorang pengemis di jalan yang berpura-pura cacat fisik, melipat kaki lalu membalutnya dengan kain, pura-pura tidak melihat. Tidak hanya mengandalkan penampilan fisik, pengemis juga menggunakan agama untuk menarik perhatian dan empati dari orang-orang yang ada disekitarnya seperti membaca sholawat, melantunkan ayat-ayat pilihan atau surah-surah pendek ataukah “seolah-olah” sedang berdoa di tengah kesulitan untuk membangkitkan rasa belas kasih dari masyarakat.

Baca juga:

Dalam konteks ini, pengemis tersebut menggunakan strategi masking identity, di mana ia menyembunyikan aspek-aspek kehidupan yang sebenarnya dengan membangun citra yang berbeda. Melalui penampilan yang sengaja dibentuk, ia berusaha menutupi identitas yang sesungguhnya. Dengan cara ini, ia menciptakan ruang untuk memperoleh empati dan dukungan dari orang lain.

Pengaburan Antara Kebutuhan dan Manipulasi

Sebagai seorang perantau yang jauh dari keluarga dan kampung halaman, saya merasakan betapa kerasnya hidup di kota besar. Uang yang seharusnya cukup untuk satu minggu habis hanya dalam dua hari. Bagaimana tidak, hampir semua kebutuhan dasar membutuhkan biaya. Mulai dari makan, minum, hingga sekadar parkir motor. Kota dengan segala kesibukannya menuntut saya untuk berhati-hati dalam mengatur pengeluaran, tetapi kenyataannya, uang terasa begitu cepat menguap.

Sejak kecil, saya selalu diajarkan untuk menjadi pribadi yang mandiri, menjaga nilai bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Selain itu, saya juga diajarkan tentang pentingnya bersedekah. Bukan sekadar memberi, namun saya percaya bahwa sedekah adalah bagian dari ibadah yang tidak akan mengurangi harta, melainkan akan dibalas Tuhan berkali lipat. Prinsip ini selalu saya pegang, hingga terbawa dalam setiap keputusan kecil untuk berbagi, terutama kepada mereka yang saya yakini membutuhkan.

Namun, tinggal di kota besar sering kali membuat saya berada dalam situasi dilema, terutama ketika berhadapan dengan pengemis. Ada berbagai jenis pengemis yang saya temui. Banyak di antaranya membawa nuansa religius dalam penampilan dan tindakannya. Pernah suatu kali, seorang ibu mendatangi saya dengan anaknya yang masih kecil. Anak itu membacakan ayat-ayat suci Al-Quran dengan suara lirih dan penuh harap. Saya tergerak, merasa bahwa anak tersebut dibimbing oleh ibunya untuk berbuat baik, namun saya juga tidak bisa menampik rasa curiga.

Di waktu yang berbeda ketika saya hanya memiliki sisa Rp20.000 di saku, dan uang itu adalah bekal terakhir saya untuk makan. Saat itulah seorang anak kecil menghampiri saya, mengenakan pakaian muslimah yang rapi, dan mulai membacakan surah-surah pendek yang dihafalnya. Saya pun terkesima dengan kelancarannya membaca ayat sucinya. Di sisi lain, saya merasa bahwa anak ini jauh lebih membutuhkan uang tersebut daripada saya. Tanpa pikir panjang, saya memberikan uang terakhir saya dengan hati yang ikhlas, berharap bisa sedikit meringankan bebannya.

Tak lama kemudian, saya melihat anak tersebut menghampiri seorang wanita yang tampaknya itu adalah ibunya. Ia menyerahkan uang yang saya berikan, dan saya terpaku menyaksikan ibu tersebut ketika mengeluarkan handphone, yang bagi saya tampak cukup bagus dan mewah untuk ukuran seorang pengemis. Pada saat itu, perasaan saya bercampur aduk. Seolah-olah kepedulian yang saya berikan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak benar-benar membutuhkan. Saya yang sesungguhnya masih lapar dan kesulitan keuangan, justru memberikan uang terakhir saya kepada mereka yang mungkin memiliki kemampuan ekonomi lebih baik dari yang awalnya saya bayangkan.

Pengalaman ini membawa saya pada pemahaman tentang fenomena mengemis, di mana batas antara kebutuhan dan manipulasi semakin kabur seperti kabut. Menghadapi situasi semacam ini justru menghadirkan konflik moral bagi banyak orang: kita diajarkan untuk bersedekah sebagai bagian dari iman, namun kenyataan memaksa kita untuk berpikir dua kali. Pengemis yang memanfaatkan anak-anak atau menggunakan simbol-simbol keagamaan berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap makna sedekah itu sendiri.

Mengemis dalam Perspektif Agama

Dalam perspektif agama, khususnya Islam, tindakan mengemis dipandang sebagai sesuatu yang boleh dilakukan hanya dalam keadaan darurat atau keterpaksaan, bukan sebagai pilihan hidup atau ‘profesi’. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi pribadi yang mandiri, menghargai kerja keras, dan hanya meminta bantuan ketika benar-benar membutuhkan. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Seseorang di antara kalian yang pergi mengambil seutas tali, lalu mengumpulkan kayu bakar dan memikulnya di punggungnya adalah lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik orang itu memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, di sisi lain, agama juga menekankan pentingnya memberikan bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Islam tidak hanya mengatur cara mencari rezeki, tetapi juga menekankan keutamaan bersedekah dan membantu sesama. Bagi orang yang dalam keadaan darurat atau tanpa kemampuan untuk bekerja, mengemis bisa menjadi jalan terakhir untuk bertahan hidup, dan agama membuka pintu untuk masyarakat memberikan bantuan dengan ikhlas.

Islam mengajarkan bahwa kemiskinan tidak selalu berarti kekurangan yang mutlak. Sebaliknya, Islam justru mendorong umatnya untuk memiliki sikap qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Seseorang yang memiliki sifat ini tidak akan mudah tergoda untuk mengemis, karena mereka berusaha untuk hidup sesuai kemampuan dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Jika seseorang tetap mengemis tanpa kebutuhan yang mendesak, maka mereka seakan-akan mengabaikan nilai kecukupan yang sangat ditekankan dalam ajaran agama.

Baca juga:

Fenomena pengemis yang kita saksikan hari ini, terutama mereka yang menggunakan atribut religius atau anak-anak untuk menarik simpati, menimbulkan dilema bagi masyarakat yang ingin menunaikan kewajiban bersedekah. Penggunaan simbol-simbol agama sebagai alat untuk meraih belas kasih dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap makna sedekah itu sendiri.

Pada akhirnya, tindakan ini dapat merusak keikhlasan dalam membantu. Masyarakat yang berniat baik kerap kali merasa skeptis apakah bantuan yang mereka berikan benar-benar untuk memenuhi kebutuhan atau justru sedang dimanfaatkan untuk kepentingan lain.

Wallahu A’lam Bissawab. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Syamsul Alam
Syamsul Alam Penulis Ulung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email