“Impian terbesar saya hingga hari ini adalah meninggalkan kedudukan saya dan membuka kuttab (TPQ) untuk mengajari para murid mengaji dan menghafal Al-Qur’an. Saya berharap Allah mewujudkan impian saya ini sebelum ajal menjemput. Saya rela menanggalkan jabatan (Grand Syekh) agar bisa duduk di tikar mengajari para murid membaca dan menghafalkan Al-Qur’an.”
Kurang lebih demikian Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib, mengungkapkan keinginan terbesarnya di salah satu forum dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Sebagian besar dari kita bisa jadi dibuat heran mendengarnya. Bagaimana mungkin salah satu ulama muslim paling berpengaruh abad ini yang juga merupakan pimpinan tertinggi salah satu institusi Islam terbesar dan tertua di dunia memiliki cita-cita yang bagi kebanyakan orang terlampau sederhana atau bahkan sering dianggap remeh?
Hal itu membuat saya teringat akan kedudukan guru ngaji dalam lingkup masyarakat Madura serta bagaimana mereka memandang dan menghormatinya. Namun sebelum itu, izinkan saya terlebih dahulu melempar ingatan ke memori beberapa tahun silam.
Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh dalam kultur dan tradisi Madura—meski tidak tinggal di Pulau Garam, atau kini biasa disebut ‘Madura Swasta’—tentu nilai-nilai keberagamaan saya rasakan betul sejak kecil. Sebagaimana sudah jamak diketahui, Madura bisa dibilang merupakan etnis yang religius. Bagi masyarakat Madura, agama adalah jantung bagi kehidupan. Agama tidak hanya bisa ditemukan di musala ataupun masjid, tapi juga di rumah, sekolah, ladang, warung, dan di manapun.
Baca juga:
Saya ingat bagaimana dulu setap kali matahari mulai terbenam, ketika langit menjelang gelap dan dari pucuk surau serta masjid mulai tedengar puji-pujian menyambut maghrib, saya mesti bergegas sambil mendekap mushaf pergi ke musala untuk mengaji.
Sudah barang tentu, saya yang saat itu untuk bersarung saja belum bisa melakukannya secara mandiri, belum pernah mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an”. Seperti anak-anak pada umumnya, motivasi saya adalah karena takut sanksi dari guru dan orang tua.
Pengajian Al-Qur’an sejak usia dini memang menjadi prioritas masyarakat Madura. Seakan ada harga diri seorang anak sekaligus orang tuanya yang dipertaruhkan di sana. Karena itu jangan heran ketika banyak anak-anak Madura yang sudah fasih dan lancar mengaji sejak kecil, sebab keterbelakangan dalam hal ini akan dianggap sebagai sebuah aib.
Mungkin karena itulah, di tengah masyarakat Madura dikenal istilah ghuru tolang. Frasa yang bila diterjemahkan secara harfiah berarti “guru tulang” ini merupakan bentuk penghormatan yang dilekatkan kepada mereka yang pertama kali membimbing anak-anak usia dini untuk mengeja a-ba-ta-tsa; mengenal huruf-huruf hijaiyah.
Dalam perspektif masyarakat Madura, ghuru tolang bukan sekadar guru, tapi juga sumber keberkahan ilmu, karenanya sangat layak dijunjung tinggi. Sengaja abai atau tidak menghormati ghuru tolang berarti siap menerima konsekuensi besar berupa ketidakmaanfaatan ilmu di masa depan.
Namun tidak banyak orang yang bermimpi menjadi ghuru tolang. Selain membutuhkan ketelatenan lebih, menjadi ghuru tolang memerlukan ketulusan yang tinggi. Sebab mereka merupakan satu contoh entitas yang memiliki peran besar namun seringkali terpinggirkan. Padahal merekalah tangga pertama untuk menapaki berbagai macam keilmuan Islam yang lebih luas lagi di kemudian hari. Kepada murid-muridnya, mereka tidak hanya mentransmisikan ilmu semata, tapi juga menanamkan hal ihwal terkait etika.
Baca juga:
Mengingat jasanya yang sangat besar dan penting dalam dunia pendidikan khususnya dasar-dasar keislaman, namun di sisi lain kerap terlupakan, sudah selayaknya nasib para ghuru tolang, di mana pun, semakin diperhatikan. Kesejahteraan mereka lebih diprioritaskan. Dalam hal ini, peran pemangku kebijakan tentu sangat diharapkan. Dan yang patut disyukuri adalah adanya beberapa pemerintah daerah di berbagai tempat yang sudah mulai mengambil langkah ke arah itu.
Dari itu semua kita bisa menyimpulkan bahwa ghuru tolang bukanlah profesi, ia murni panggilan rohani. Ketika umumnya manusia modern sibuk mencari tepuk tangan dan pengakuan, saat orang-orang haus akan legitimasi dan apresiasi, mereka memilih mengabdi dalam kesenyapan, menjauh dari hingar bingar dan sorotan. Mereka lebih memilih sembunyi di sudut-sudut masjid dan pojok-pojok surau, membimbing a-ba-ta-tsa santrinya dengan suara yang terkadang parau.
Terakhir, teruntuk para ghuru tolang yang masih setia membimbing murid-muridnya hingga saat ini, semoga Allah selalu menganugerahi kekuatan dan ketulusan. Dan bagi mereka yang sudah berpulang, semoga Allah senantiasa mengaruniai rahmat dan segala kenikmatan. Amin. (*)
Editor: Kukuh Basuki