Dunia kesejarahan memiliki dua pakem kearsipan. Keduanya berkembang dan dipengaruhi oleh analisis Michel Foucault terhadap arsip dan sistem kearsipan, lalu pandangan Jacques Derrida tentang urgensi kearsipan.
Dalam buku The Archaeology of Knowledge (1969), Foucault membentangkan makna kearsipan secara luas dan dinamis. Segala sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa atau sebuah rangkaian peristiwa yang berkelindan akan menggunakan kuasa kolektif intelektual dalam penggunaannya. Sementara itu, Derrida dalam Archive Fever: A Freudian Impression (1995) menggunakan metode penyusuran filologis untuk menunjukkan bahwa kata “archive” berasal dari kata bahasa Latin “arkheion” yang berarti kediaman hakim agung, lalu bercabang menjadi kata “archon” yang berarti pengatur hukum. Archon jugalah merupakan penjaga pintu dokumen. Selain menjaga, archon juga memiliki hak untuk menginterpretasikan dokumen secara hermeneutis.
Pandangan dua tokoh itu tentang arsip membuat dunia arsip tidak lagi eksklusif bagi sejarawan. Pemaknaan akan arsiparis yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut menjadikan arsip sebagai sebuah aset penting untuk menginterpretasikan bagaimana suatu hal berjalan. Arsip bukan hanya sebagai pengingat, tapi juga berperan membentuk rangka yang menuntun masa depan.
Baca juga:
Di Indonesia saat ini, yang terjadi justru kebalikannya. Bangsa kita tak acuh dan cenderung malas menindaklanjuti urgensi kearsipan dan sejarah. Sejalan dengan itu, kondisi arsiparis nasional, perpustakaan, dan museum pun membikin miris. Terbatasnya peminat arsip dan sejarah adalah bentuk nyata dari sifat pemerintah yang malas menggiatkan budaya kearsipan dan kesejarahan.
Dalam Jurnal Kesejarahan terbitan Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan, Zacky Khairul Umam mengusulkan bentuk pelesetan kata “archipelago”, yakni “archivelago” atau “arsipelago”. Menurutnya, arsip memiliki sifat yang beragam atau tidak tunggal. Layaknya kepulauan yang berlandaskan beragam kontur geografi, arsip juga memiliki landasan yang beragam terkait sudut pandang dalam melihat sebuah permasalahan.
Namun, arsip selama ini berkembang dengan kesan otoriter dalam penulisannya. Arsip yang saat ini banyak tersimpan jauh dari kata keberagaman dan terkesan monoton. Dengan kata lain, arsip bersifat satu arah dan merujuk sumber yang sangat “pemerintah”. Peristiwa terekam hanya dalam sudut pandang pemerintah yang jarang melibatkan masyarakat untuk membagikan pandangan umum terhadap suatu peristiwa. Sifatnya yang cenderung tunggal dan monoton menjadikan arsip yang beredar dan terawat saat ini memiliki kebenaran yang parsial dan bersifat pemerintah-sentris.
Zacky mencoba memperlihatkan alternatif bahwa ada kearsipan yang memiliki karakteristik beragam berikut ciri khasnya masing-masing seperti budaya dalam sebuah pulau. Sebuah arsip memiliki keberagaman sudut pandang dan cara penulisan, tetapi tetap bermuara pada satu ujung yang sama dalam melihat suatu peristiwa.
Sejarah dan arsip saling berkaitan dalam mengisi ruang kosong pengetahuan. Untuk itu, penting untuk keduanya memiliki kontraargumen dan sudut pandang akan suatu peristiwa. Kontraargumen membuahkan kesan sejarah yang terlihat adil dan tanpa celah.
Sebelumnya, Foucault pun menekankan pentingnya keragaman dalam memandang formasi sosial, politik, dan budaya yang saling berkelindan satu sama lain dalam arsip dan sejarah. Kompleksitas ini memunculkan dimensi kepenulisan baru yang mengambil titik tengah tanpa adanya ambisi untuk menang sendiri ataupun menggunakan peristiwa sejarah secara egosentris.
Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia butuh menghidupkan arsip yang terhubung dengan nadi kehidupan warga negaranya. Keterhubungan itu perlu agar antar satu sama lain tidak ada sinisme, bahkan larangan membaca dan membedah sebuah arsip. Fleksibilitas arsip merupakan sebuah keharusan demi terciptanya keberagaman sudut pandang dan luasnya pokok pembahasan sejarah.
Baca juga:
Pokok ide keberagaman arsiparis ini sejatinya pernah dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram ingin menyusun ensiklopedia “gigantik” Indonesia sebagai bentuk perlawanan menolak lupa. Kegagalan Pram inisiatif Pram ini seolah menjadi bukti matinya sistem arsip di Indonesia.
Sistem arsip yang ada di Indonesia seolah menjadi isyarat kepemerintahan yang berputar dalam roda masalah tanpa adanya solusi yang konkret. Padahal, pengkajian sejarah dan arsip yang cenderung dinomorduakan dan sering kali dianggap sebagai solusi terakhir semakin memperparah penanganan permasalahan sosial dan politik.
Editor: Emma Amelia