Matinya Jam Dinding

Faris Maulana Akbar

4 min read

Jam dinding itu mati. Enam bulan lalu sebelum kutinggal pergi, ia sempat sekarat. Gerakan jarumnya sudah tidak normal. Kukira hanya masalah baterai, jadi kubelikan yang baru. Saat itu, ia sempat sehat kembali dan mulai beraktivitas normal. Namun, siapa sangka beberapa minggu kemudian ia mati lagi. Benar-benar mati dan tak mau hidup lagi. Jarum detik mendekati angka sepuluh, jarum pendek pas di angka sebelas, dan jarum panjangnya hampir tiba di angka satu. Begitulah kondisinya kala aku tiba di rumah, dini hari akhir bulan kemarin.

Matinya jam dinding itu entah mengapa membuatku tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang bahkan aku sendiri susah mengungkapkannya. Mungkin, bahasa paling mudah yang bisa kukatakan adalah aku merasa kehilangan. Namun, pernyataan itu tidak tepat betul. Karena selain jam itu masih ada di tempatnya, ia sama sekali tidak berubah kecuali berhenti bergerak. Masalahnya, kulihat sikap Bapak, Mamak, dan Mas Uwong tampak biasa-biasa saja saat menanggapi pertanyaanku tentang matinya jam dinding berwarna cokelat itu.

“Itu sudah rusak,” kata Mas Uwong.

“Sudah waktunya,” ujar Bapak menimpali.

“Sudah saatnya diganti,” pungkas Mamak kemudian.

Aku ingin menelan ludah, tapi tidak jadi. Hanya sorot mataku yang tak bisa beranjak dari jam dinding itu. Sungguh, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku yang anehnya hingga kini selalu terasa setiap kali memandangnya.

Jam dinding itu bukan sembarang jam dinding. Semasa hidupnya, ia setia menemani keluargaku dan bekerja sepanjang waktu. Ia selalu mengingatkan Bapak waktu salat malam, subuh, pergi ke kebun belakang rumah, berangkat mengajar ke sekolah, tidur siang, itikaf di masjid, jamaah magrib dan isya, nonton televisi, hingga istirahat malam. Ia juga selalu mengingatkan Mamak salat malam, subuh, pergi ke dapur, berangkat mengajar ke madrasah, tidur siang, pergi ke dapur lagi, mengerjakan tugas-tugas sekolah, jamaah magrib dan isya, nonton televisi sampai saatnya tidur. Khusus bagiku dan Mas Uwong, jam dinding itu menjadi pengingat kapan harus menyapu rumah dan halaman, mandi, sekolah, main bersama anak-anak kampung, pergi ke madrasah sore, ngaji ke langgar, nonton Mr. Bean atau bola, belajar, dan istirahat.

Dibandingkan jam lain, bagiku jam dinding itu sangat spesial dan luar biasa. Umurnya lebih tua dari umurku bahkan juga dari umur kakakku. Bapak membelinya ketika masih bujangan sebelum bertemu Mamak. Kata mamak, jam itu sudah ada ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah kontrakan dulu. Hingga kini,  hanya tersisa lemari jati di ruang santai dan ranjang besi di kamar Bapak yang kira-kira seusia dengannya. Mungkin karena itu jam dinding itu dibiarkan bersemayam di tempatnya walau sudah mati.

Hari ini aku berumur hampir 26 tahun dan Mas Uwong 27 tahun. Artinya, jam dinding itu bisa jadi sudah berumur 29 atau 30 tahun sebelum kematiannya. Suatu umur yang panjang bagi sebuah jam dinding. Bila kuhitung, kira-kira ia telah melakukan perjalanan selama 10.950 hari. Jika sehari ada 24 jam, maka ia telah menempuh waktu 262.800 jam, atau 15.768.000 menit, alias 946.080.000 detik. Sementara itu, jarum detik jam itu melangkah satu sentimeter setiap detiknya. Berarti ia telah melakukan perjalanan sejauh 946.080.000 sentimeter, atau 9.460.800 meter, alias 9.460,8 kilometer. Tanpa disadari, ia telah mengarungi tiga perempat diameter bumi. Betapa hebatnya jam dinding itu!

Sebagai sesepuh barang-barang di rumah, semasa hidupnya yang cukup panjang, jam dinding cokelat itu tidak pernah rewel. Ia tidak sakit-sakitan seperti jam dinding biru baru di musala yang hanya bertahan beberapa bulan. Ia juga tidak selambat jam dinding dapur yang sering membuat Mamak kesal. Dalam usia senjanya pun ia tampak sehat bugar penuh semangat. Jarum detiknya melangkah dengan tegap nan gagah penuh kepastian sehingga membuat urusan keluarga kami lancar sesuai rencana.

Mungkin atas kinerja baiknya itu posisinya tidak pernah tergantikan di ruang tamu walau berkali-kali Bapak mendapatkan jam dinding baru. Bapak selalu mempercayakan waktu di ruang tamu dikawal olehnya.

Namun, tidak ada yang menyangka kepercayaan selama bertahun-tahun itu rupanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Jam dinding itu memang sudah mati. Sejak kematiannya, tak ada yang mengawal waktu di ruang tamu lagi. Padahal, ruang tamu adalah bagian sentral rumah kami, tempat berlalu lalang, tempat pulang dan pergi. Bisa dibayangkan, ketika selama puluhan tahun jam dinding itu memandu batas aktivitas, lalu tiba-tiba waktu dibiarkan bebas sebebas-bebasnya, segala rencana yang ada menjadi semrawut tak terkendali.

Masalahnya, dulu, jam dinding cokelat di ruang tamu itu selalu menjadi acuan bagi jam dinding lain. Ia memegang komando. Bila jam dinding kamar lain, terutama dapur, melakukan keterlambatan, maka akan segera disesuaikan dengan waktu di ruang tamu. Pada kasus lain juga sering terjadi jam dinding kamar Mas Uwong bergerak lebih cepat. Tanpa kompromi, Bapak menyuruh Mas Uwong untuk mencocokkannya dengan waktu di ruang tamu. Semuanya dilakukan agar waktu kami seirama. Tetapi kini mereka bebas bergerak semaunya. Jam dinding dapur terlalu lamban, jam dinding kamar Mas Uwong terlalu cepat. Jam dinding-jam dinding di kamar lainnya kurang lebih sama. Tak ada acuan. Waktu kontrol mati. Akibatnya, kami mempunyai versi waktu sendiri-sendiri. Kekacauan demi kekacauan pun terjadi.

Suatu saat Mamak pernah mengomeli mas Uwong gara-gara terlalu cepat mematikan kompor. Akibatnya masakan Mamak kurang matang dan gara-gara itu Bapak tidak jadi makan. Masalahnya sepele, Mas Uwong lupa kalau waktu di kamarnya lebih cepat 10 menit dibanding waktu di dapur.

Di lain kesempatan, Mamak pernah hampir telat masuk sekolah karena terlalu lama di dapur. Aku pun pernah terlambat masuk kuliah daring gara-gara melihat jam dinding ruang tamu masih menunjukkan pukul 11.05 padahal sudah pukul 01.00 siang. Aku lupa jam itu telah mati. Benar-benar lupa. Kebiasaan belasan tahun menengok jam dinding itu masih belum bisa kuhentikan. Akhirnya, setelah berkali-kali masalah terjadi, aku memberanikan diri untuk bicara pada Bapak.

“Jam dinding ruang tamu apa tidak mau diganti, Pak?” tanyaku pada Bapak saat kami berdua duduk di atas lencak di samping rumah sambil menikmati panorama langit malam yang sedang cerah-cerahnya.

“Ganti saja tidak apa-apa,” jawab Bapak dengan ekspresi biasa-biasa saja. Wajahnya terkena tempias cahaya lampu petromaks rumah tetangga.

Aku mengangguk lalu iseng bertanya, “itu sudah berapa tahun umurnya, ya, Pak?”

Bapak diam sebentar. “Berapa ya? Sudah sangat lama. Jam dinding itu sudah ada jauh sebelum kamu ada. Kalau tidak salah Bapak beli saat gajian pertama.”

Aku manggut-manggut. Bapak lalu bercerita perjuangannya mendapatkan pekerjaan dulu. Mulai dari menjadi relawan politik Orde Baru hingga harus merantau jauh dari kampung halaman demi mensterilkan identitasnya. Aku diam dan menyimaknya baik-baik. Di ujung pembicaraan, Bapak bertanya, “mau diganti dengan jam dinding apa?”

“Belum tahu, Pak. Besok aku cari di toko dulu yang bagus seperti apa,” jawabku.

Bapak tercenung sejenak. “Kalau bisa cari yang kualitasnya sama dengan jam itu ya. Kalau ada cari yang sama persis. Kalau ada,” ujarnya lantas beranjak masuk ke dalam rumah.

Aku mengangguk mengiyakan. Tetapi, entah mengapa saat tadi pagi menyapu di ruang tamu dan kulihat jam dinding yang mati itu, lagi-lagi ada yang mengganjal hatiku. Ganjalan itu membuatku berpikir berulang kali untuk menggantinya. Ganjalan itu semakin terasa ketika tiba-tiba kuingat kisah perjuangan Bapak yang ia ceritakan semalam. Ganjalan itu kemudian terasa menyesakkan ketika memori masa kecilku ikut meramaikan pikiran.

Entah mengapa, jam dinding itu seolah menjadi kaset yang merekam segala kejadian yang pernah kualami di rumah ini, di keluarga ini. Tak hanya aku, tetapi mungkin juga yang dialami seluruh keluarga kami. Dalam kematiannya, jam dinding itu seolah-olah mampu menceritakan segala yang disaksikannya selama ini. Setiap detiknya. Setiap menitnya. Setiap jamnya.

Aku tertegun dan hanya bisa memandangnya dengan penuh tanda tanya. Apakah kau benar-benar telah merekam segalanya? Setiap jamnya? Setiap menitnya? Setiap detiknya? Jam dinding itu diam tak menjawab dan memang seperti itulah keadaannya. Namun, memori masa laluku tetap saja berkelebat saat memandangnya.

Akhirnya, aku urung menggantinya. Kubiarkan ia bersemayam di sana seperti apa adanya selama ini. Bukan sebagai pajangan, tetapi mungkin lebih sebagai kenangan.

Mlajah, 19 Maret 2021

***

Editor: Ghufroni An’ars

Faris Maulana Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email