Mempertimbangkan Sumpah (Pemuda)

Purnawan Andra

2 min read

Setiap bulan Oktober kita selalu mengingat kembali peristiwa penting Sumpah Pemuda. Di hari itu para pemuda dengan penuh gelora mengikrarkan ide besar dan niatan penting tentang kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa.

Sumpah Pemuda merefleksikan niat, maksud, tekad dan semangat para pemuda Indonesia sebagai kesadaran bersama akan arti penting persatuan dan kesatuan untuk menghadapi kolonialisme. Dengan visi dan perspektif tentang masa depan Indonesia, bukan demi satu kepentingan, satu golongan atau satu kekuatan politik semata, tapi demi masa depan bersama.

Sumpah

Sumpah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya); pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu)”.

Seseorang bersumpah ketika mempunyai suatu harapan atau agenda besar yang hendak diwujudkan, masa depan yang dibayangkan. Di dalam sumpah terkandung cita-cita dan perjuangan untuk menciptakan perubahan lebih baik secara personal maupun sosial. Sumpah didorong keinginan yang begitu kuat untuk melampaui kenyataan.

Sumpah telah menjadi bagian kehidupan masyarakat kita sejak lama. Kita kerap mendengar sumpah pocong (dengan tidur membujur ke utara menghadap kiblat didalam masjid dan dipocong seperti mayat). Hal ini dilakukan sebagai pembuktian kesungguhan dan keyakinan.

Dalam ranah peradilan (modern maupun tradisi-adat), sumpah menjadi jalan etik/moral yang berdimensi spiritual-sosial sebagai peneguhan kebenaran, kejujuran, dan keadilan demi keputusan adil soal salah dan benar, yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan/transcendental (Tranggono, 2012).

Dalam sejarah Indonesia, sumpah kerap menjadi bukti imajinasi, keyakinan dan tonggak untuk memulai peristiwa besar. Contohnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Patih Gadjah Mada di tahun 1334. Darinya, Nusantara mewujud melalui pengorbanan tenaga, pikiran, dan nyawa selama lebih dari dua dekade (1336-1357).

Sumpah Pemuda menjadi contoh sumpah kesetiaan sosial yang inspiratif dan monumental karena visioner dan kontekstual sekaligus. Para pemuda ingin menyatukan tanah air, bangsa dan bahasa menjadi aktualisasi ide persatuan yang tak mengabaikan keragaman, namun justru memberi mozaik multikultural yang berpadu secara bijak. Hal ini mewujud dalam semboyan bhinneka tunggal ika, sebagai usaha untuk mewujudkan ide persatuan sekaligus juga niatan untuk menemukan jatidiri bangsa.

Negatif

Namun KBBI juga mengartikan sumpah sebagai “kata-kata yang buruk (makian dan sebagainya); kutuk; tulah”. Jika sebelumnya sumpah berarti positif, sumpah dalam arti ini menyimpan makna negatif. Ia mengesankan amarah, nada tinggi dan penuh emosi. Tidak hanya terucap di pergaulan keseharian, sumpah tertuliskan di tembok, spanduk, baliho, leaflet hingga teriakan dan makian.

Di masa kini, sumpah juga diunggah-sebarkan melalui media sosial sebagai ujaran yang ditujukan ke pihak lain yang dianggap sebagai “lawan”. Sumpah dalam arti ini menjadi senjata ampuh untuk menuduh, mengadili maupun memutuskan (sepihak).

Sumpah model ini bahkan telah menjadi tren yang sulit dibendung. Dan ironisnya, sebagian dari kita bahkan mulai menganggapnya sebagai kewajaran untuk menghakimi dan mencaci orang lain. Padahal orang-orang yang menyumpah seperti ini sesungguhnya memiliki problem psikologi sosial yang sama: terjebak ke dalam semacam ”kultur kawanan” yang bermental serba penakluk, penghancur, oportunistik, dan perebut apa saja atas nama kebebasan dan hasrat diri.

Tranggono (2012) bahkan menyebut tidak adanya lagi sumpah sejati di bangsa ini. Setelah Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda, sumpah-sumpah yang kita dengar hanya jadi elemen birokratis atau bahasa politis yang kerap kali jauh dari kesungguhan apalagi kebenaran. Semisal, para pejabat publik dari berbagai level mengucapkan sumpah jabatan sebagai niat untuk mengabdi bangsa-negara. Tapi banyak dari mereka yang kemudian terbukti secara hukum mengkhianati negara dengan berbagai penyelewengan dan pelanggaran, baik secara material maupun konstitusional. Sumpah hanya dibutuhkan ketika seseorang ingin dianggap bermartabat, berintegritas, dan berkomitmen, tetapi tidak dalam substansi tindakan.

Sumpah hanya jadi hawa mulut yang gampang menguap. Sumpah hanya menjadi (meminjam istilah Mohamad Sobary) sampah kebudayaan yang membikin erosi integritas moral dan politik bangsa kita. Berpuluh tahun lalu para pemuda membangun ide keindonesiaan, tetapi kini generasi yang lebih “modern” justru menggunakannya untuk kepentingan yang bertentangan dengan tekad awal. Berpuluh tahun lalu para pendahulu bangsa berusaha menjangkau kesadaran kebangsaan kita, tetapi kini para penerusnya justru menghancurkannya.

Sumpah Pemuda harus dimaknai sebagai momentum inspiratif sekaligus alarm pengingat bagi tata kelola negara yang lebih baik. Sumpah Pemuda tidak semata upacara peringatan atau ritual politis untuk mengenang sejarah dengan hikmah-makna tekstual, seremonial dan tidak kontekstual. Ia menjadi tonggak untuk menata dan membenahi kompleksitas masalah bangsa, mulai dari korupsi, ketidakadilan hukum, kesenjangan ekonomi hingga problem disidentitas. Peringatan Sumpah Pemuda adalah perumusan kembali kerja nyata demi perubahan konstruktif dan positif untuk kemaslahatan bangsa.

Apa kita perlu bersumpah lagi untuk menuntaskan berbagai masalah sosio-kultural saat ini, supaya kita tidak disumpahi generasi masa depan karena mewariskan segudang masalah yang tak terselesaikan?

Purnawan Andra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email