Ali Sadikin (1926-2008) adalah legenda. Reputasi itu, yang telah diperolehnya sejak masih hidup, sebagian besar disumbang oleh karakter dan kepemimpinannya yang kharismatik. Sebagai pemimpin, Bang Ali memang bukan hanya tegas, tetapi juga berani memikul tanggung jawab atas seluruh keputusan yang diambilnya, meskipun hal itu akan merugikan namanya.
Ketika pemerintah pusat angkat tangan saat dimintai anggaran untuk menata ibukota, misalnya, sementara di sisi lain banyak uang berseliweran di tengah masyarakat, Ali Sadikin dengan berani memutuskan untuk melegalisasi judi dan memajakinya. Ia mengatur bahwa judi boleh dilakukan oleh kalangan tertentu secara terbatas.
Sebagai orang beragama, Bang Ali tentu saja tahu judi itu haram. Bahkan, ia mengakui tidak ada satupun agama yang membenarkannya. Namun, sebagai pemimpin ia melihat di satu sisi banyak orang Jakarta yang rutin menghambur-hamburkan uangnya di Makau, padahal di sisi yang lain pemerintah daerah sedang kesulitan anggaran untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas, pasar, dan lain-lain yang jadi kebutuhan masyarakat. Sebagai pejabat publik, ia berkepentingan agar kebutuhan-kebutuhan rakyat tadi bisa terpenuhi.
Ketika keputusan itu diambil, Bang Ali mengaku tidak berkonsultasi terlebih dulu kepada DPRD. Sebab, jika itu dilakukannya, lalu izin itu diperoleh, lembaga itu pastilah akan dicaci maki masyarakat. Ali Sadikin tidak menginginkan itu terjadi. Ia memilih untuk memikul tanggung jawab itu sendirian, meskipun orang kemudian mencapnya sebagai “gubernur judi”, bahkan “gubernur maksiat”. Kepada orang-orang yang tidak menyetujui keputusannya, Bang Ali juga tak pernah menyalahkan, atau berkonfrontasi dengan mereka. Secara berkelakar ia hanya menyarankan agar mereka membeli helikopter. Sebab, jalan-jalan di DKI ketika itu dibangun oleh pajak judi. Jawaban kocak semacam itu telah membuat kebijakan kontroversialnya kemudian tidak berkembang menjadi sumber konflik yang lebih tajam di tengah masyarakat.
Kini terus terang sangat sukar menemukan karakter semacam itu. Para pemimpin hari ini kebanyakan lebih suka menyalahkan atau melemparkan tanggung jawab kepada anak buahnya daripada mengambil risiko tampil tidak populer.
Menolak Presiden 3 Periode
Ketika saya datang ke kantor Bang Ali di Balaikota, kurang lebih sebulan sebelum ia lengser sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 11 Juli 1977, untuk memberitahukan rencana aksi pencalonan dirinya sebagai presiden, latar belakang yang telah mendorong saya untuk mencalonkannya juga tak lain soal leadership.
Ia adalah pemimpin yang bersih. Tidak ada kakak, adik, atau anggota keluarganya yang jadi pengusaha besar karena fasilitas darinya. Padahal, ia adalah gubernur ibukota, sebuah posisi yang sangat tinggi dan strategis. Sebelumnya, di era Demokrasi Terpimpin, ia juga pernah menjabat Menteri Perhubungan Laut dalam Kabinet Kerja IV, lalu menjadi Menteri Koordinator Kompartemen Maritim di Kabinet Dwikora. Namun, ia tidak pernah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
Menurut saya, salah satu alasan kenapa Ali Sadikin tidak pernah dicampakkan masyarakat sesudah tidak lagi menjabat posisi apapun di pemerintahan adalah karena sikap lurusnya itu.
Pada bulan Juni 1977, saya bersama dengan Bambang Sulistomo, memang melakukan aksi pencalonan Ali Sadikin menjadi presiden. Secara bergantian kami berorasi di jalan masuk menuju Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM). Benar-benar hanya kami berdua.
Namun, meskipun hanya dilakukan berdua, aksi tersebut kemudian mendapat publisitas luas, terutama dari media internasional. Sebelum melakukan aksi, saya memang sengaja memberitahu media-media asing, terutama Asahi Shimbun. Salah satu koran terbesar di Jepang itu diundang bukan tanpa alasan. Jepang saat itu adalah negara investor terbesar di Indonesia.
Jadi, tanpa perlu aksi besar-besaran sebagaimana halnya peristiwa Malari 1974, saya ingin agar aksi itu mendapat publisitas di Jepang. Dan sejauh yang bisa saya pantau belakangan, maksud itu cukup berhasil.
Di kalangan aktivis mahasiswa ketika itu, Presiden Soeharto dinilai sedang mengkonsolidasikan kekuasaannya. Dengan keberhasilannya mengatasi persoalan-persoalan ekonomi, termasuk keberhasilannya menyederhanakan jumlah partai politik—yang tak pernah berhasil dilakukan oleh Bung Karno, ia dipastikan akan terpilih kembali pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1978. Namun, meskipun katakanlah Pak Harto terpilih melalui proses yang “demokratis”, banyak orang telah mempertanyakan, sampai kapan ia akan terus-menerus dipilih kembali?
Saya sendiri menilai bahwa Pak Harto sebaiknya cukup berkuasa maksimal selama dua periode saja. Selanjutnya, sesuai dengan lazimnya praktik di negara-negara maju, ia harus digantikan oleh orang lain. Pemikiran itulah yang telah melatarbelakangi aksi pencalonan Ali Sadikin menjadi presiden pada tahun 1977.
Saat Bang Ali menyampaikan kesediaannya untuk dicalonkan ketika itu, kesediaan itu sebenarnya lebih didasari oleh penghargaannya kepada gagasan anak muda yang ingin memecah kebekuan politik. Ia sama sekali tidak ingin mencari nama atau jabatan.
Terbukti, saat ditanya oleh para wartawan terkait pencalonan dirinya menjadi presiden, Bang Ali kemudian menjawabnya dengan seloroh. “Pak Harto itu punya Diponegoro, sementara Ali Sadikin hanya punya Dipo Alam, tidak mungkin saya jadi presiden,” ujarnya.
Jalan Bang Ali
Baru-baru ini Pemprov DKI Jakarta, melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 565 Tahun 2022, telah mengganti nama 22 ruas jalan di DKI dengan nama para tokoh Betawi yang punya banyak jasa, baik bagi Jakarta maupun terhadap Indonesia. Pergantian semacam itu, menurut saya, bukanlah sesuatu yang baru. Jalan di depan rumah orang tua saya dulu bahkan pernah tiga kali ganti nama. Sebelum Proklamasi, jalan itu bernama Nieuwe Tamarindestraat. Saat Brigjen TNI (Purn) Daan Jahja menjadi Gubernur DKI (1948-1950), nama jalan itu diubah menjadi Jalan Asem Baru. Bersamaan dengan itu, ada lebih dari 120 nama jalan dan daerah lainnya yang juga ikut diubah. Misalnya, kawasan Meester Cornelis diubah namanya menjadi Jatinegara, lalu Waltevreden diubah menjadi Gambir.
Ketika Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 1961, nama jalan di depan rumah orang tua kami berubah menjadi Jalan Dr. G.S.S.J. Sam Ratulangi. Perubahan nama itu terjadi karena dorongan dari komunitas masyarakat Sulawesi, khususnya Minahasa, yang tinggal di Jakarta.
Kembali ke soal perubahan nama jalan, selain mengangkat tokoh-tokoh Betawi, saya kira sudah saatnya Jakarta memiliki Jalan Ali Sadikin. Bagaimanapun, Ali Sadikin adalah tokoh besar dalam sejarah modern kota Jakarta. Bahkan, ia bisa disebut sebagai pemimpin ibukota paling legendaris. Selain karakter dan kepemimpinan yang kuat, Bang Ali juga pantas diabadikan namanya karena jasanya yang besar dalam membela rakyat kecil dan memajukan kegiatan kesenian dan kebudayaan di ibukota.
Melalui Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) yang dicetuskan pada 1969, misalnya, Bang Ali menjadi pelopor penataan kampung-kampung kumuh dan miskin di kota besar. Proyek penataan kampung ini kemudian dianggap sukses oleh Bank Dunia, sehingga kemudian direproduksi di kota-kota lain di berbagai negara. Atau, jika hari ini masyarakat Jakarta bangga memiliki Taman Ismail Marzuki. Gelanggang Mahasiswa, Gelanggang Remaja, atau Jakarta Fair, di balik semua itu sebenarnya ada nama Ali Sadikin.
Itu sebabnya, nama Ali Sadikin saya kira pantas untuk segera diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan di Jakarta. Karena Bang Ali adalah seorang Letnan Jenderal KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut), namanya mungkin bisa digunakan untuk mengganti nama Jalan Cilandak KKO, di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Alternatif lain, ruas Jalan T.B. Simatupang yang sangat panjang di Jakarta Selatan mungkin sudah waktunya untuk dipikirkan dibagi ke dalam beberapa nama ruas jalan, di mana nama Ali Sadikin sangat pantas menjadi salah satunya.
Jika diskusi politik hari ini banyak menyebut term oligarki, sebenarnya oligarki bukanlah realitas baru, melainkan sudah lama ada di Indonesia. Bedanya, dulu para pemimpin kita masih bisa mengontrol oligarki, dan bukannya dikontrol oleh oligarki. Dengan keberanian dan ketegasannya, Ali Sadikin adalah salah satu pemimpin yang bisa mengontrol oligarki. Dengan menghadirkan Jalan Ali Sadikin di Jakarta, kita berharap agar jejak kepemimpinannya itu bisa diingat kembali.
Jika masih hidup, hari Kamis, 7 Juli 2022 ini, Bang Ali merayakan ulang tahunnya yang ke-96. Semoga, sebelum peringatan satu abad kelahirannya, pemerintah sudah mengabadikan namanya sebagai jalan di Jakarta. Saya yakin, warga Jakarta pasti senang punya Jalan Ali Sadikin.
Jakarta, 7 Juli 2022
Dipo Alam adalah pengamat politik dan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia (2010-2014).