Apa kau punya kaki? Pernahkah kau membayangkan jika kau tak punya?
Aku pernah.
Kala itu umurku masih sepuluh. Aku yang masih seorang gadis kecil duduk di tangga beranda rumah, memandang ke pekarangan kepada kakak perempuanku dan teman-temannya. Suara tawa menguar dari bibir mereka dengan tubuh yang melompat-lompat riang seiring tali lompat berputar-putar. Ke atas, ke bawah, ke atas, ke bawah. Kaki mereka yang berlapis sandal warna-warni memijak tanah kemudian mengambang di udara sejenak. Turun, naik, turun, naik. Mataku menatap dengan fokus dan benakku mulai berandai-andai.
Bagaimana jika aku punya kaki?
Pikiran itu tidak pernah kuteruskan. Semakin bertambah umur semakin banyak hal lain yang lebih perlu dipikirkan. Aku pun pelan-pelan berhenti dengan terus mengingatkan diri: apa pentingnya? Seperti jika kau terus-terusan membayangkan kemungkinan tak punya kaki dan sadar: apa pentingnya? Seperti itulah aku. Apa pentingnya membayangkan yang tak mungkin?
Tapi, baru-baru ini pikiran itu datang kembali. Mengusikku. Dan tanpa mampu kutahan, ia mengonsumsi dan turun lebih dalam. Semakin dalam.
Siang itu berjalan seperti biasa. Awalnya.
Aku berkeliling di antara meja-meja restoran memungut pesanan. Tentu tidak dengan kakiku, namun dengan kursi roda. Menangkap tatapan-tatapan prihatin atau jijik atau ngeri dari kambing-kambing yang duduk di balik meja. Untuk tiap tatapan itu, aku lempar kembali apa yang terlempar di mata mereka. Dengan kilat mata yang sama yang mereka pakai.
Hal itu dimulai ketika aku merasa begitu muak. Muak kepada berbagai orang yang menatapku seperti alien atau makhluk aneh—tentu tidak semua yang begitu, namun hampir seluruhnya. Mata-mata yang menguarkan aroma kejijikan, kebingungan, atau ketakutan. Karena itu, di dunia yang semakin tua ini, tidak banyak manusia yang berbeda sepertiku yang mampu bertahan hidup. Mereka tidak mampu menahan tatapan dan pendapat orang lain yang menuntut kesempurnaan dan keseragaman. Yang merusak dan menghancurkan diri mereka pelan-pelan, hingga akhirnya mereka terpaksa menutup mata selamanya.
Mata dibalas mata. Aku membalas tatapan orang-orang seperti mereka menatapku. Awalnya tak mudah. Aku merasakan gelombang ketakutan menyergapku ketika pertama mencoba. Kuingatkan diri untuk terus berusaha. Perlahan. Dan begitulah kemudian aku berhasil. Dengan menatap mereka sebagai kambing. Kambing-kambing tersesat yang cela.
“Kami pesan dua mangkuk salad artifisial dan dua gelas jus jambu buatan,” aku menahan tawa mendengar suaranya. Bayangkan betapa konyolnya seekor kambing dengan bibir monyongnya berbicara dalam bahasamu!
Aku bersuara usai berhasil menahan tawa. “Baik, silakan menunggu,”
Padahal, hidup di dunia berteknologi canggih seperti sekarang sangat memudahkan orang-orang sepertiku. Ada saja sesuatu yang bisa mengisi kekurangan itu, kecacatan itu. Dengan teknologi yang semakin hari semakin tinggi. Tapi teknologi bukan sesuatu yang menjadi ketertarikanku. Aku lebih suka sesuatu berbau kuno, seperti kursi roda yang kugunakan ini. Karena itulah pengetahuanku akan teknologi semakin hari semakin tertinggal.
Tapi aku tetap tak peduli. Aku tidak ingin menjadi bagian dari kambing-kambing budak teknologi. Teknologi yang memakan mereka. Teknologi persetan.
Aku kembali ke meja dua kambing tadi dengan nampan berisi dua mangkuk salad artifisial dan jus jambu buatan. Silakan, ucapku. Aku akan berlalu ketika suara salah satu kambing itu memanggilku. Kalau tadi yang bersuara saat memesan adalah perempuan, kali ini yang lelaki.
“Apa kau sudah melihatnya?” dia bertanya.
“Melihat apa?”
Lelaki kambing itu menyerahkan ponselnya yang tipis seperti kertas. Ponsel itu menampilkan berita. Seorang lelaki berjaket putih berdiri di balik mikrofon. Aku mendengarkan dengan saksama yang disampaikan lelaki itu hingga usai. Lagi-lagi tentang teknologi. Kali ini berkaitan dengan sesuatu yang bisa mengisi kekurangan seperti yang kukatakan tadi. Teknologi untuk orang cacat sepertiku.
Teknologi yang berhasil membuat organ-organ manusia. Apa pun itu, termasuk kaki.
Malamnya, saat ingin tidur, aku kembali teringat pada kejadian tadi siang. Berita itu.
Aku bangkit dan menyandarkan punggung pada dinding. Kusibak selimut yang menutupi tubuh dan tampaklah kakiku yang tidak sempurna. Terulur hingga sedikit di atas mata kaki yang buntung tanpa telapak kaki. Di mana sisanya? Sirna. Sejak kapan? Entahlah.
Aku menatapnya lama dan sesuatu sekonyong-konyong mengisi benakku : Lompat tali, aku di beranda, kakakku dan teman-temannya, suara tawa, lompatan demi lompatan.
Seketika air mata itu tumpah. Membasuh pipiku yang kering kerontang. Kapan terakhir kali aku menangis karena kakiku? Entahlah. Aku berusaha menghentikan tangisan itu namun sia-sia. Pipiku telah banjir sepenuhnya.
Aku menghalau banjir di pipi. Meraih ponsel untuk mencari tentang pembuatan organ. Menelusuri kembali informasi yang tadi siang kudengar. Menonton berulang kali video pidato dokter itu. Dokter yang dimataku bukan seekor kambing. Kalau begitu, apa aku bisa percaya?
Apa dia menggoyahkan kepercayaanku?
Benar. Sebab pagi ketika aku terbangun dari tidur, pikiranku berteriak: aku membutuhkannya! Pikiran yang mengonsumsi. Namun, kutemukan sedikit cahaya darinya. Yang membuat sedikit senyum tersungging di wajahku saat kutatap cermin setelah bangkit dari tempat tidur. Yang membuat kepercayaan bahwa aku akan baik-baik saja tanpa kaki untuk berpijak, sirna entah kemana.
Hari itu aku meminta cuti dari restoran. Melintasi kota dengan kursi roda keramatku. Kota yang semakin asing. Kursi roda mengantarkanku ke rumah sakit. Rumah sakit yang juga semakin asing. Di dalam rumah sakit aku minta diarahkan kepada bagian pembuatan organ. Tak lama aku menunggu sebab antrian pada bagian itu cukup sepi. Aku memasuki ruangan untuk menghadap seorang perempuan. Yang setelah kudengar suaranya, merupakan salah satu kambing. Perempuan kambing itu bercakap-cakap mengenai teknis pembuatan organ dan detailnya. Aku yang bosan tergeragap ketika dia bertanya.
“Apa kau mampu membayar biayanya?”
“Berapa biayanya?”
Tubuhku menjadi lesu ketika mendengar jawabannya. Aku menatap ke kakiku dan seketika merasa tak mungkin. Aku… aku miskin.
Untuk itu, aku harus menemui jalan keluarnya. Dan satu-satunya jalan adalah dengan kerja. Kerja sangat keras.
Aku sadar bahwa kerja di restoran selama delapan jam sehari tak akan membantu mengumpulkan uang banyak dengan lekas. Maka aku meminta tambahan jam kepada manajer restoran sekaligus pekerjaan di akhir pekan. Aku tidak bisa memikirkan pekerjaan lain karena kesibukan dan sedikitnya pilihan pekerjaan untuk wanita akhir tiga puluhan sepertiku. Wanita akhir tiga puluhan tanpa telapak kaki sepertiku.
Pagi-pagi aku sudah siap dengan kursi roda. Kukayuh dia dengan antusias menuju restoran. Dari sana pekerjaan dimulai. Pagi hingga larut malam. Melayani kambing-kambing yang kelaparan dengan makanan artifisal mereka. Melayani tatapan cela dan bisik-bisik mereka. Hal ini terus berulang. Menjadi rutinitas. Rutinitas yang kunikmati.
Sebelum tidur, aku akan menatap gambar kaki yang kutempel di dinding sebelah ranjang. Bersama dengan ingatan akan tali lompat yang selalu berhasil menerbitkan senyum di bibir. Senyum yang kemudian selalu kubawa mimpi.
Satu bulan pertama aku berhasil mengumpulkan sepersebelas dari jumlah keseluruhan, hasil dari penghematan dalam makanan dan pengeluaran. Masih cukup jauh. Tapi aku tak gentar sedikit pun. Jalan terbuka di depanku dan tak ada putar balik.
Bulan demi bulan terlewat. Pekerjaan di restoran menjadikanku begitu sibuk. Mencatat, mengantar, hingga membereskan pesanan. Karena itu, tidak banyak waktu yang dapat kuhabiskan untuk berpikir, apalagi merenung. Dan semakin hari aku semakin terlarut dalam pekerjaanku. Aku sungguh-sungguh menikmati kesibukan yang membuat waktuku cepat berlalu ini.
Bersamaan dengan kenikmatan bekerja dan waktu yang cepat berlalu, sesuatu muncul dan menggangguku. Sesuatu berupa perasaan aneh yang pelan-pelan mengganggu benakku. Yang tersembunyi di dasar pikiranku. Dan semakin hari, kudapati dia semakin lekat padaku. Memaksaku untuk berpikir.
Namun, sekuat tenaga aku berpikir sesuatu itu tak kunjung muncul.
Pagi itu aku terbangun dan langsung disergap oleh sesuatu. Perasaan aneh itu. Aku bangkit dan menjalankan kursi roda menghadap cermin. Suara teriakan sekonyong-konyong keluar dari bibirku. Dadaku bergemuruh begitu hebat. Kuangkat tangan untuk merasakan wajahku. Wajah yang kini berganti menjadi kambing!
Wajah orang-orang yang setiap hari kujumpai di restoran atau jalan terlintas dalam benakku. Wajah itu… sekarang wajahku. Aku mengalihkan pandangan dengan menatap ke bawah dan seketika benakku menemukan apa sebenarnya perasaan aneh itu.
Dia adalah kakiku sendiri. Kaki yang tak sempurna yang menyertaiku hidup hingga saat ini. Yang menolak untuk menjadi sempurna dengan pelan-pelan mengganggu kemudian bergulat dengan benakku. Menyentak kesadaran bahwa aku sebenarnya tak membutuhkan telapak kaki itu, atau kemampuan berdiri seperti kambing-kambing itu, atau lompat tali dan lompatannya itu! Kamu masih hidup dan akan tetap hidup tanpanya! Ucap kakiku.
Kakiku (atau diriku yang sesungguhnya) telah menang!
Maka, kukayuh kursi rodaku menuju dapur. Kuraih pisau pemotong daging yang jarang kusentuh dan kubawa dia menuju kamar. Di hadapan cermin, kutatap diriku yang secara mengejutkan tak lagi berwajah kambing. Sebuah senyum lebar terukir di bibirku. Bersama dengan itu, kuturunkan celana piama. Tumitku kini tampak seluruhnya.
Pisau kuayunkan dengan cepat dan penuh tenaga. Merah memuncrat mewarnai wajahku. Tak ada rasa sakit yang menyergap. Pisau yang menancap kutarik dan kuayunkan sekali lagi. Merah kembali menyembur. Kali ini mewarnai mataku.
“Lebih pendek, lebih pendek,” ucapku lirih.
Padang, 19 Juli 2022