Setiap kali membaca sejarah pemilu pertama pada tahun 1955, rasanya sangat menarik, karena masing-masing partai memiliki ideologi terkait apa yang dicita-citakan. Partai-partai ini dengan tegas memegang prinsip yang mereka anut; partai yang berhaluan Islam, pertai yang berhaluan nasionalis, pertai yang berhaluan komunis, dan partai berhaluan sosialis. Setiap partai memiliki pendukung yang setia serta organisasi dan pendukungnya, baik organisasi pemuda, organisasi tani, organisasi buruh, bahkan media yang mereka miliki. Pada tahun itu terdapat empat partai yang memiliki kedudukan teratas dalam pemilu, Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai NU, Partai Masyumi, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Masuknya perwakilan masing-masing partai di parlemen, membawa perdebatan yang alot terkait negara dan ideologi, masing-masing partai memiliki dasar argumen terkait ideologi negara.
Membandingkan pemilu tahun 1955 dengan pemilu sekarang rasanya sangat jauh berbeda. Sejak runtuhnya Orde Baru, memang partai tumbuh bak jamur, namun tak memiliki idelogi yang jelas. Meski dibilang ada Partai Islam dan Partai Nasionalis secara garis besar, namun batas-batasnya amat kabur, tidak jauh berbeda dan gampang berkoalisi satu sama lain. Partai Islam pun tidak pernah mendapatkan suara terbanyak, namun partai Nasionalis pun berusaha menggait pemilih Muslim karena mayoritas masyarakat Indonesia. Cara-cara yang digunakan partai untuk meraup suara sebanyak-banyaknya adalah menggunakan artis tersohor, maka tak heran setiap pemilu selalu muncul wajah artis baik muda maupun tua masuk politik bahkan ikut dalam pilkada.
Hilangnya Ideologi
Memasuki era Reformasi, puluhan partai yang ada tidak pernah jelas arahnya kemana, apakah mau memperjuangkan Islam seperti Partai Masyumi, atau memperjuangkan nasionalis seperti PNI. Semuat tampak tak jelas, yang jelas partai-partai melahirkan kader yang korup, menyengsarakan rakyat, hingga partai tak lebih untuk kepentingan partai, rakyat hanya dipedulikan menjelang pemilu tiba.
Maka tak heran penyanyi Iksan Skuter membawakan lagu Partai Anjing, ya memang begitulah perilaku partai sekarang. Tidak ada satupun partai yang bisa dipercaya, yang ada hanya bagi-bagi jabatan, demi kepentingan partai, lalu melahirkan kader yang korup, siklus yang terus menerus berulang-ulang.
Kenapa partai yang berideologi tak ada lagi? Hal ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan Pemerintah Orde Baru yang membonsai partai-partai, membabat habis Partai Komunis Indonesia, melarang Partai Masyumi, menyingkirkan Partai Sosialis, mengontrol Partai Nasionalis Indonesia, menyabotase Partai NU. Bagi Soeharto, ideologi hanya penghambat, yang terpenting adalah pembangunan. Maka apa pun partai yang memiliki pandangan berbeda maka dianggap menentang Pancasila, semua partai dan ormas diwajibkan berasas Pancasila, hingga tidak diperbolehkan adanya ideologi lain. Bahkan pada Orde Baru hanya tiga partai yang diperbolehkan , yaitu Partai Demokrasi Indonesia yang menampung partai nasionalis dan partai Kristen, Partai Persatuan Pembangunan yang menampung partai Islam, dan Partai Golkar yang menjadi alat bagi Suharto dalam setiap pemilu.
Setelah 32 tahun dalam rezim Orde Baru, memasuki reformasi, partai-partai tumbuh namun dibayang-bayangi kroni Orde Baru. Di awal memang terasa meyakinkan adanya harapan partai-partai yang memiliki ideologi, namun seiring waktu, partai-partai semakin kelihatan tak memiliki ideologi, semuanya melakukan manuver pragmatis, bergabung dengan siapa pun yang memenangkan pemilu untuk mendapatkan jabatan. Barangkali hanya era Gus Dur yang berani terang-terangan menentang keinginan partai, hingga ia pun dilengserkan. Setelahnya, pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024, semua partai melakukan manuver pragmatis menjadikan artis sebagai caleg dan ketika kalah dalam pemilu ikut bergabung dengan pemenang pemilu.
Manuver-manuver ini terpampang nyata saat pemilu 2024, partai-partai yang mendukung Anies Baswedan (PKS, Partai Nasdem, dan PKB), ketika kalah pemilu dalam sekejap berpindah haluan mengikut pemenang pemilu.
Partai-partai yang tidak memiliki ideologi bagai meludah dan menjilat ludahnya sendiri. Partai-partai ini tidak tahu malu dan hanya keuntungan yang ada di pikirannya. Tak ada partai yang benar-benar berani menjadi oposisi, karena tak tahan dengan kerugian yang didapatkan, susah untuk menjalankan bisnis.
Terbaru, kisah partai ini bisa dilihat dari pengusungan terhadap Ridwan Kamil dan Suswono di Pilkada Jakarta, ada banyak partai yang mengusung Ridwan Kamil dan tentunya ingin mendapat jatah ketika RK menang. Tidak tanggung-tanggung partai-partai ini menyebuat diri Koalisi Indonesia Maju Plus yang disingkat KIM Plus. Masalahnya KIM Plus ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga sejumlah daerah, yang sampai kemudian memaksakan calon tunggal yang terhitung ada di 41 daerah. Hal ini mempertontonkan betapa hancurnya demokrasi tanpa ideologi, setiap partai sedia bekerja sama asal dapat keuntungan demi partainya sendiri.
Ideologi Partai adalah arah yang ingin dicapai dan dicita-citakan. Ketika partai tidak memiliki ideologi dan hanya mengikuti keinginan penguasa, partai tak lebih jadi alat penguasa.