Memandang Ulang Standar dalam Hidup dan Normalitas

Wahid Kurniawan

4 min read

Suatu hari, teman saya mengeluh soal tuntutan orangtuanya yang meminta ia langsung kerja saja di perusahaan teman papanya, alih-alih meneruskan pendidikan S2 dan merangkak menapaki jalur politik yang keras. Dia, kita panggil saja Sekar, merasa mutung lantaran perjuangannya selama kuliah S1 bakal sia-sia kalau ujung-ujungnya kerja di perusahaan itu. “Hanya menjadi seorang admin, lagi! Gimana nggak diketawain senior-senior gua?!” Repetnya panjang dan penuh emosi. 

Protes Sekar tentu bukan lantaran memandang rendah pekerjaan seorang admin perusahaan, melainkan karena ia memiliki idealisme dan standar masa depannya sendiri. Perlu diketahui, Sekar aktif betul di ranah organisasi, sebab ia anggota GMNI sebagai Sarinah di sebuah kampus swasta di Yogyakarta, dan berjanji bakal menapaki jalan perpolitikan sampai titik darah penghabisan. Serius, saya tak mengada-ngada. Dan dengan idealismenya itu, ia sudah memikirkan secara matang berbagai hal, dari keluasan ilmu politik, kepekaan terhadap isu sekitar, sampai menjalin koneksi serta relasi politik yang luas. 

Sialnya, idealisme itu berbenturan dengan standar yang dimiliki orangtuanya. Standar itu berkaitan dengan kesuksesan, tentu saja. Dan keberadaan standar itu tidak terlepas dari konsep normalitas atau “manusia rata-rata” yang dikonstruksi oleh masyarakat terhadap pencapaian kesuksesan, pendidikan, dan status seseorang. Kita mudah saja menemukan contohnya di sekitar kita. Misalnya orangtua Sekar yang percaya bahwa menjadi admin di perusahaan temannya bakal lebih aman dan stabil ketimbang membiarkan putrinya terjun bebas memperjuangkan masa depannya dengan jalan yang berbeda, tak pasti, dan tak biasa. Konsep ini berlaku pula manakala kita mendengar anggapan pekerjaan yang stabil, menjanjikan, dan sukses hanya bisa dicapai dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dokter, polisi, atau karyawan perusahaan BUMN. 

Baca juga:

Konsep Normalitas

Bagaimana konsep normalitas dan manusia rata-rata ini hadir di masyarakat? Kiranya kita perlu merunut hal ini dari awal. Mulanya, konsep “manusia rata-rata” dicetuskan oleh ilmuwan Belgia bernama Adolphe Quetelet pada awal abad ke-19. Konsep ini berkaitan erat dengan konstruksi sosial, bahwa ada standar rata-rata—yang tertulis atau tidak—terpacak di kepala manusia terkait jenjang pendidikan, prestasi, jenis pekerjaan, kinerja pekerjaan, status, pasangan, dan lain sebagainya. Dan saat seseorang berada di situasi atau merasa di luar “rata-rata” sekitarnya, hal itu bisa membuatnya merasa tak percaya diri, bahkan merasa abnormal.

Konsep ini lantas disebut pula oleh Sophie Freud (1999) dalam istilah normalitas. Ia bahkan membaginya lebih luas lagi. Pertama, soal normal sebagai nilai rata-rata yang dibayangkan, misalnya kita akrab dengan ungkapan, “Duh, dia nggak punya kehidupan yang normal sebagai anak kecil.” Atau, “Tau nggak, begini-begini, aku punya kehidupan seks yang normal, lho.” Kedua, soal normal untuk mencapai kualitas diri, baik fisik atau psikis, yang tinggi. Misalnya, seseorang merasa normal untuk punya keinginan berumur panjang, atau mencapai kebahagiaan diri. Pada pengertian kedua ini, kesan ideal berlaku, sebab berhubungan dengan suatu pencapaian tubuh, pikiran, dan mentalitas. Adapun yang terakhir, normal sebagai perilaku dan norma yang diciptakan oleh kelompok masyarakat tertentu. Oposisi normal, yaitu abnormal, sangat mungkin bekerja di konsep yang ketiga ini. Sebab, mereka yang dipandang eksentrik, aneh, atau punya cara tersendiri dalam melakukan atau menggapai sesuatu, bisa dipandang abnormal. 

Misalnya normalitas terkait konstruksi gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kita biasa saja mendapati perempuan berjalan mepet atau sambil bergandengan tangan. Tapi, hal itu tidak selalu berlaku sebaliknya. Bagi laki-laki yang saling bergandengan tangan kendati mereka berkerabat, masih dipandang tabu dan tak normal di beberapa tempat di dunia. Namun, bagi masyarakat di daerah Kinshaa, Kongo, kebiasaan menggandeng tangan sesama lelaki, baik mereka bersaudara atau berteman, adalah hal yang lumrah.

Cerita soal perbedaan pandangan ini bisa kita lihat di buku JJ Bola, Mask Off: Masculinity Redefined (Pluto Press, 2019). Bola lahir di Kinshaa, kemudian pindah di London, dan di sanalah karier menulis Bola berkembang. Kendati begitu, ia mengalami sejumlah perlakuan rasial dari masyarakat sekitarnya, seperti cerita ketika pada masa remajanya dia berjalan menggandeng tangan pamannya dan orang-orang sekitar (di London) memandang mereka dengan tatapan aneh. Bagi Bola dan pamannya, itu hal yang lumrah saja, tapi anggapan yang berbeda datang dari masyarakat lain. Di sinilah kita melihat bahwa normalitas, sebagai bagian dari konstruksi sosial, dalam hal konstruksi gender, mengada dalam bentuk yang berbeda-beda.

Saya tertarik mendalami ini dalam skripsi saya kemarin, kemudian melakukan penelitian terhadap dua hal, pertama, mengenai gambaran konstruksi sosial atas normalitas dalam novel Convenience Store Woman (versi Gramedia pustaka Utama diterjemahkan menjadi “Gadis Minimarket”); dan dua, respons pembaca terhadap isu normalitas tersebut. 

Konstruksi Sosial Normalitas dalam Karya Sastra

Saya berhasil menghimpun sebanyak 14 responden. Mereka semua anggota grup Facebook “Japanese Literature” yang bersedia mengisi kuesioner berisi tujuh pertanyaan terkait konstruksi sosial atas normalitas. Soal isu ini, saya menyertakan penjelasan di bagian atas kuesioner bahwa konstruksi sosial atas normalitas termanifestasi dalam kisah karakter utama yang menghadapi normalitas sebagai anak yang baik, orang dengan kesuksesan karier, dan orang yang mesti menikah di usia tiga puluh. Perlu saya jelaskan, karakter utama ini, Keiko Furukura, secara gamblang tampil menjadi oposisi atas standar normalitas tadi, sebab masa kecilnya penuh perilaku yang tak biasa. Bayangkan, kalian menemukan burung mati, tapi alih-alih menguburnya, kalian justru menyarankan buat memasaknya saja; itulah yang disarankan Keiko, ditambah lagi, ia belum menikah sekali pun usianya sudah tiga puluh enam tahun, dan ia hanya bekerja sebagai pegawai minimarket paruh waktu selama delapan belas tahun, sehingga anggapan abnormal melekat di dalam dirinya.    

Baca juga:

Bagaimana keempat belas pembaca merespons isu tersebut? Dengan tujuh instrumen respons pembaca dari Beach and Marshall (1991) mulai dari menjelaskan (describing) sampai menilai (judging), saya mendapati ada sejumlah kecenderungan respons dari pembaca yang datang dari latar belakang berbeda itu. Tidak. Saya tak menjelaskan respons mereka berdasarkan instrumen itu satu per satu, sebab itu bakal memakan banyak halaman dan rasanya seperti menulis ulang hasil skripsi saya. Oleh karena itu, saya hanya akan menarik garis besarnya saja, dan menggunakannya sesuai porsi kebutuhan dalam artikel ini.

Sebagaimana yang sudah disinggung, konstruksi sosial atas normalitas bisa mewujud secara berbeda-beda. Hal ini membuat mayoritas pembaca Western (Amerika Serikat, Kanada, sampai Australia) menganggap kalau tekanan dari masyarakat untuk menikah sebelum berusia tiga puluh dan mendapat karier yang baik, tidak terlalu menjadi masalah. Mereka bahkan tak menghadapi itu. Masyarakat menerima saja berapa pun usia mereka saat tiba waktunya menikah, dan tekanan pekerjaan yang dihadapi untuk mendapat label kesuksesan tak seperti yang ditunjukkan masyarakat Jepang dalam novel Sayaka Murata ini. Stabilnya pekerjaan dan posisi pekerjaan bagi masyarakat Jepang, menjadi penanda kesuksesan dan hal itulah yang selalu mereka kejar.

Sementara itu, terkait status Keiko Furukura yang merasa “lebih menjadi manusia” saat bekerja di minimarket, sekalipun itu di luar standar masyarakat sekitar yang melabelinya abnormal, hampir semua pembaca meresponsnya dengan anggukan kepala bahwa rebellion atau tindakan mengambil jalur yang berbeda di tengah arus utama, diperlukan dalam hidup. Mereka bahkan menggarisbawahi kalau inilah pesan utama dari cerita ini, bahwa kebebasan menentukan jalan hidup, pilihan hidup, dan berbagai keputusan lain ada di tangan kita, dan itu layak diperjuangkan. Sepahit apa pun konsekuensinya. Bagi mereka, mengejarnya seperti memberi makna dalam kehidupan yang tengah dijalani. Gambaran kehidupan Keiko Furukura, berikut persetujuan pembaca atas pilihan hidup itu, seolah mengamini kata-kata Virginia Woolf yang pernah menulis: “Pandangan orang bisa menjadi penjara bagi kita; dan pendapat mereka bisa menjelma sangkar untuk kita.” 

Memang, pandangan dan pendapat orang lain bukannya sama sekali mesti ditolak. Kendati begitu, dalam kasus terkait konstruksi sosial atas normalitas tadi, hal itu sangat bisa dipahami apabila seseorang tak selalu mengikutinya. Seperti yang dilakukan teman saya si Sekar itu. Kita memang tak bisa menafikan kalau konsep “manusia rata-rata” sudah menjadi kenormalan, diikuti sejumlah stereotip yang ada di masyarakat. Tak heran apabila timbul kekhawatiran di diri para orangtua yang mendapati anaknya mengambil jalur karier yang berbeda, yang menyimpang terlampau jauh dari rata-rata. Namun, bukankah hal itu menjadi salah satu cara untuk mencari makna hidup? Lagipula, untuk apa hidup yang biasa-biasa saja atau merasa aman dengan jalur rata-rata yang diambil orang-orang? 

 

Editor: Prihandini N

Wahid Kurniawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email