Obsesi Cinta Tragis dalam Sinema Asia

Giofanny Sasmita

2 min read

Salah satu film Korea terbaik tahun 2022 adalah Decision to Leave yang disutradarai oleh Park Chan Wook. Kisahnya tidak begitu rumit dengan alur yang lambat dan bisa dibagi menjadi dua bagian; bagian pertama adalah kisah detektif dan pencarian, sedangkan bagian kedua merupakan manifestasi kisah cinta detektif Hae Jun dan Seo Rae yang merupakan seorang ekspatriat dari Cina.

Film Korea Selatan satu ini dapat membuat penonton mempertanyakan ulang makna romantisme dan bagaimana cinta yang pantas seharusnya ditampilkan. Dalam wawancaranya dengan Polygon, Park Chan Wook mengatakan bahwa karya-karyanya juga termasuk film romantis, tetapi orang-orang tidak bisa melihatnya seperti itu sebab ketelanjangan dan kekerasan yang ditampilkan eksplisit. Ia juga mengatakan, meskipun filmnya dimaksudkan sebagai film romantis, orang-orang akan lebih melihat sisi erotisnya.

Di bagian ini saya menjadi bertanya, apakah kekerasan merupakan salah satu bentuk cinta? Setidaknya saya pernah menonton film yang mana ada tokohnya sampai membunuh pasangannya agar tidak ada orang lain yang bisa merenggut hubungan mereka. Contohnya ada di film In the Realm of the Senses.

In the Realm of the Senses adalah film drama percintaan produksi Jepang-Prancis tahun 1976. Film ini disutradarai oleh Nagisa Oshima. Film ini diangkat dari cerita fiksi yang diilhami kisah nyata yang terjadi pada tahun 1930-an di Jepang yang melibatkan Sada Abe. Film ini menyebabkan kontroversi besar-besaran setelah diedarkan.

Dalam film Garapan Nagisa Ōshima yang sampai dilarang tayang di negaranya sendiri ini, cinta itu lahir dari gairah seksual. Saya berpikir bahwa Ishida lebih ingin menunjukkan perasaan cintanya, sedangkan Sada hanya punya nafsu yang membabi buta. Mereka tidak menahan diri seperti umumnya budaya Jepang, melainkan melakukan aktivitas seks terus menerus demi kesenangan. Film ini menyimbolkan semacam pembangkangan terhadap budaya Jepang yang restraint. Mereka berdua menyerukan apa yang mau mereka lakukan tanpa malu dan sepenuhnya telanjang, memperlihatkan dan mempertaruhkan kerapuhan manusia.

Kebalikannya di Decision to Leave, melansir dari The Guardian, Park Chan Wook berkata bahwa kedua tokoh protagonisnya itu buruk dalam hal kejujuran emosi. Mereka lebih memilih untuk berbohong; mengatakan sesuatu yang berbeda dari yang dirasakan yang mana merupakan bentuk dari restraint culture.

Kedua film yang memiliki rentang waktu sangat jauh dan tidak ada keterhubungannya itu memiliki satu kesamaan, yakni tokoh perempuan yang pasrah terhadap nafsu. Bedanya Seo Rae pasrah akan nafsu untuk mencinta dan Sada Abe pasrah akan nafsu seksual.

Kisah kedua karakter perempuan itu begitu menarik seperti alasan mengapa Sada bisa menjadi hyper yang ternyata ia merupakan sosok asli dan memiliki masa lalu kelam, sedangkan Seo Rae yang sepertinya memiliki penyesalan tersendiri atas kematian ibunya.

Dua film ini membuat saya duduk anteng menontonnya. Sebenarnya, bukan karena untuk mengetahui siapa pembunuh aslinya, tapi secara tidak sadar, kedua film ini mampu menghisap kesadaran penonton untuk lanjut menonton dan menebak kegilaan apa lagi yang akan dilakuin oleh para tokoh perempuan ini.

Menariknya, semua tokoh utama di kedua film ini tidak menyatakan cinta secara verbal. Mereka tidak berkata, melainkan menunjukkan ungkapan cinta yang sesungguhnya melalui pikiran dan tindakan. Sada senang karena nafsunya tersalurkan dan ketika itu ia bisa merasakan cinta dari laki-laki yang benar-benar mau menerimanya. Di filmnya memang tidak diceritakan kisah asli Sada Abe. Intinya, ketika kecil, Sada Abe dijual ayahnya untuk menjadi geisha sebab perilakunya yang tidak terkontrol.

Sementara itu Hae Jun mengorbankan segala yang ia miliki karena cintanya pada Seo Rae. Ketika ia menyuruh perempuan itu untuk membuang gawainya jauh ke dalam dasar laut, sebenarnya itu merupakan caranya mengungkapan cinta. Di lain sisi, Ishida menyerahkan tubuh dan jiwanya secara sukarela untuk kepada Sada agar ia senang dan puas. Hal itu juga merupakan bentuk cinta versi lain yang mungkin ingin ditampilkan sang empunya cerita.

Kedua laki-laki itu saling menyerahkan sesuatu yang sangat berharga yang mereka punya demi pasangannya. Hubungan mereka semua menjadi seperti lingkaran yang tidak akan putus karena hasrat untuk saling mengunyah kewarasan satu sama lain.

Cinta memang kadang tak ada logika dan tidak bisa dijelaskan. Hanya bisa dilakukan.

Keputusan Seo Rae untuk bunuh diri merupakan bentuk pembebasan diri yang personal. Meninggalkan Hae Jun dengan obsesinya. Sedangkan, penyerahan kematian Ishida kepada Sada merupakan bentuk cinta tragis lainnya.

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat kematian atas nama cinta? Terlalu sakit, terlalu gila.

***

Editor: Ghufroni An’ars

 

Giofanny Sasmita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email