Penantian Nunik

Munawir Mandjo

4 min read

Wanita itu berdiri di depan jendela, di hadapannya terhampar laut dengan awan putih berarak. Desir debur ombak mengusap daratan dan angin beraroma asin mengelus wajahnya yang terlihat murung meski hari ini harusnya jadi hari bahagia untuknya. Hari ini Nunik akan menikah.

***

Sudah hampir tujuh tahun Nunik menunggu kepulangan Bahar. Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana Bahar ngotot ikut jadi Sawi di kapal milik Haji Liwang, salah seorang Pinggawa, pemodal di kampung. Bahar sudah menyerah dengan perahu kecil dan jaring-jaring sederhana miliknya.

“Sudah tak ada lagi ikan yang tersisa di tempat ini, kapal pengeruk sialan itu telah melenyapkan sumber mata pencarian kita,” Bahar menerangkan kepada istrinya.

Sejumlah kapal pengeruk melakukan aktivitas penambangan pasir di laut. Pasir itu akan digunakan untuk proyek reklamasi di ibu kota. Para aktivis dan masyarakat setempat ikut protes, sebab selain menimbulkan masalah lingkungan, aktivitas itu tentu akan berdampak buruk bagi mata pencarian nelayan. Namun aksi penolakan itu gagal, dan penambangan berlanjut. Beberapa waktu berselang dan sesuai dugaan, para nelayan mulai kesulitan menangkap ikan, tak terkecuali Bahar.

“Kamu bisa mencari pekerjaan lain. Kamu bisa menjadi tukang batu, atau menjadi supir angkot, atau menjadi buruh tani di Takalar. Sebentar lagi musim panen, dan aku punya kerabat dekat di sana,” pinta Nunik.

“Aku tidak punya keahlian-keahlian semacam itu. Inilah jalan satu-satunya yang bisa kutempuh,” kata Bahar.

“Tapi aku belum siap berada jauh darimu,” timpal Nunik dengan nada lirih dan sejurus bahunya tampak berguncang.

“Hanya untuk beberapa bulan, dan aku akan membawa uang untuk membayar utang-utang kita, juga biaya sekolah untuk Syarif,” Bahar meyakinkan, lantas menarik Nunik ke peluknya.

***

Hari itu Saleh, seorang Papalele, pemimpin perjalanan telah mempersiapkan segalanya sebelum hari keberangkatan. Saleh juga telah menyampaikan kepada Haji Liwang agar memberikan sejumlah uang muka kepada para Sawi untuk mereka pergunakan sebagai bekal bagi keluarga yang ditinggalkan. Uang itu terhitung sebagai pinjaman, nantinya akan dipotong dari upah keuntungan hasil penjualan telur ikan terbang.

Saat hari keberangkatan tiba, Nunik melepas suaminya dengan perasaan sedih dan khawatir. Sesaat setelah itu, firasatnya mengatakan jika keputusan melepas suaminya adalah sebuah kekeliruan. Takdir membenarkan itu. Enam bulan berselang, kapal yang membawa pergi Bahar tak kunjung pulang.

Menurut desas-desus, kapal mereka terjebak badai luar biasa dan tenggelam ke dasar laut. Peristiwa itu menjadi pukulan berat bagi Nunik. Kian hari tubuhnya menyusut, dan ia lebih banyak menghabiskan waktu melamun dan menyalahkan diri sendiri.

***

Tujuh tahun berselang. Emak Nunik masuk ke kamar, berdiri di belakang Nunik dengan pakaian kebaya merah kusam. Ia lantas berujar, “sudah waktunya, Nak. Pengantin lelaki sudah hampir tiba,” kata wanita tua itu.

“Iya, Mak, sebentar lagi.”

Emak Nunik pergi dan menghilang di balik pintu.

Nunik kembali melemparkan pandangan ke laut, di kejauhan terlihat perahu-perahu nelayan. Burung-burung yang sibuk mencari makan, dan tidak jauh dari tempatnya terlihat sebuah pohon mangga macan yang rimbun daunnya digoyang terpaan angin laut.

Nunik masih ingat bagaimana ia bersama Bahar menanam pohon itu. Bersusah payah memboyong bibitnya dari rumah kerabat di Makassar menggunakan sepeda motor tua pinjaman milik tetangga.

Nunik sebenarnya tak terlalu tertarik memiliki mangga jenis itu. Masih banyak pohon yang lebih cocok untuk ditanam di area yang berada beberapa meter di belakang rumahnya, tapi Bahar lebih memilih pohon mangga macan daripada semua jenis pohon manapun dengan alasan belum ada mangga jenis itu di kampungnya. Rasa manis buahnya akan selalu teringat, dengan aroma sangat menyengat.

Bersusah payah Nunik merawatnya, terutama menjauhkannya dari ancaman kambing-kambing rakus milik tetangga yang suka berkeliaran di sekitar situ. Kendati pohon itu tumbuh di atas tanah milik kerabat dekatnya, tidak jadi masalah buat mereka. Semua orang merawat pohon itu bersama. Beberapa tahun berselang sampai akhirnya mereka bisa menikmati hasilnya.

Di bawah pohon mangga yang rantingnya rimbun serupa ubur-ubur itu, Bahar juga membuat balai-balai yang sering ia gunakan untuk beristirahat. Memanfaatkan balai-balai itu untuk menikmati hasil tangkapan laut, atau menggunakan waktu senggangnya untuk memandangi laut dan menikmati senja keemasan dengan terpaan angin sore. Kenangan-kenangan itu menyeruak dari dalam dada Nunik.

Sesuatu yang berkilau mulai mendesak keluar dari sudut matanya. Ia buru-buru menghapus agar tidak merusak rias di wajahnya. Di luar sana, percakapan-percakapan dan langkah kaki ramai merambat ke telinganya. Emak Nunik masuk kembali ke kamar dan menyampaikan jika pengantin lelaki sudah tiba bersama rombongan. Nunik mengambil napas panjang, mencoba mengendalikan diri dan membulatkan tekat seperti seorang peserta kejuaraan dunia angkat besi yang mengambil ancang-ancang setelah menerima aba-aba mulai. Ia melangkah dengan keyakinan mantap.

Di luar, Nunik mendapati sekitar tujuh orang di situ. Ia melirik Nasaruddin, lelaki yang akan menjadi suaminya sembari memasang senyum basa-basi sebagai tanda kesopanan. Nasaruddin pernah menyatakan niat untuk menikahi Nunik, namun Nunik menolak. Di suatu kesempatan lain, dengan pertimbangan masa depan Syarif anaknya, Nunik memutuskan menerima lamaran Nasaruddin yang datang menyatakan niatnya kembali.

Sebelum memutuskan menikah kembali, Nunik dilanda badai kecemasan tiada henti. Jauh di dasar hati, ia masih menunggu Bahar. Ia tahu keyakinannya mungkin memang tak nyata. Tapi bagaimanapun Nunik yakin Bahar masih hidup di luar sana. Namun di sisi lain, Nunik juga tak boleh mengabaikan anaknya. Selama Bahar menghilang, Nunik hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh upahan. Hasil yang tak menentu kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setidaknya kehadiran Nasaruddin akan bisa membantu perekonomian Nunik, dan masa depan pendidikan anaknya, paling tidak Syarif bisa menyelesaikan SMA. Syukur jika bisa masuk ke perguruan tinggi. Sebab Itulah cita-cita Bahar selama ini. Lagi pula, Nasaruddin lelaki baik dan pekerja keras.

***

Nunik berjalan menuju dekat Nasaruddin di hadapan penghulu yang wajahnya berkilau karena keringat. Udara menjelang siang itu agak pengap dan panas. Satu dua orang sibuk mengipasi diri agar keringat tidak merusak riasan di wajah mereka. Beberapa waktu berlalu dalam suasana khidmat, hingga akhirnya penghulu menuntaskan tugasnya. Saat itu Nunik resmi menjadi istri Nasaruddin, dan semua yang menyaksikan larut dalam kebahagiaan.

Di tengah momen itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara ribut-ribut. Orang-orang menyebut-nyebut nama yang tak asing di telinga Nunik dengan penekanan terkejut. Seperti seorang yang tiba-tiba mendapati seekor binatang langka lompat di hadapannya.

Nunik ikut bergegas keluar dari rumah, di belakangnya Nasaruddin dan beberapa orang mengekor. Seperti petir di siang bolong, Nunik mendapati lelaki yang dikerubungi itu adalah Saleh, Papalele yang memimpin pelayaran ke laut tujuh tahun lalu. Jelas itu dia. Dan ia masih hidup.

Seketika itu, hati Nunik diaduk rasa bahagia, penasaran, sekaligus ketakutan. Ia roboh, kedua tangannya berusaha menopang bobot tubuhnya. Ia mencoba meyakinkan diri jika yang ia saksikan bukan kepalsuan. Bahunya berguncang dan air mengalir dari sudut dalam matanya. Kejadian itu menyedot perhatian orang-orang. Sebagian menunjukkan air muka iba, beberapa sibuk bisik-bisik. Ada banyak kemungkinan yang dapat diperbincangkan orang-orang dari kehidupan tragis Nunik. Nasaruddin dan Emak Nunik mencoba menenangkannya.

Sesegera mungkin Nunik ingin tahu kepastian tentang suaminya, namun kakinya serasa terpasung. Seperti setrum yang tiba-tiba menyengat dan membekukan badannya di tempat itu.

Kebahagiaan dan ketakutan semakin bercampur aduk di hati Nunik. Akan menjadi akhir ataukah awal dari penantiannya selama ini.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email