Mendiskusikan Jalaluddin Rumi sebagai penyair mistik terbesar Persia adalah pekerjaan yang tidak saja membutuhkan ijtihad intelektual, tetapi juga kesabaran batin yang tekun. Hal ini disebabkan buah pena Rumi bukan semata-mata karya teoretis yang mudah dilacak melalui pendekatan intelektual, tetapi juga merupakan ekspresi batin yang sangat simbolis.
Kedalaman pengalaman mistiknya, yang sungguhpun sudah tertekstualisasikan, tetap saja mengandung misteri dan tak tersentuh oleh kekuatan nalar. Rumi sendiri menyadari bahwa pengalaman batinnya tidak dapat dipahami dengan mudah.
“Setiap orang adalah sahabat bagiku dalam hal pendapat. Namun siapapun tidak akan mampu menyelami rahasia-rahasiaku.”
Penulis The Great Comentator of Rumi, William C. Chittick, di dalam tulisan-tulisannya membiarkan Rumi berbicara sendiri. Sebab menurut pengakuannya, jika orang berusaha untuk menyusunnya hingga tertata, hal itu dikhawatirkan akan menyebabkan ketersesatan. Pengagum Rumi lain seperti Annimarie Schimmel bahkan memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk bisa menyelami mistik Rumi.
***
Memasuki larik-larik puisi Rumi seakan memasuki dunia yang indah, penuh kejutan, yang terkadang berseberangan dengan logika umum. Tetapi justru keunikan dan keaslian imajinasi Rumi inilah yang membawa keutuhan puisi-puisinya ke dalam penjiwaan pembaca.
Rumi menjadi simbol kepiawaian kata. Ketangkasannya menyelipkan ayat al-Quran dan Hadis ke dalam puisinya, keahliannya menyisipkan perkataan-perkataan kaum sufi ke dalam kidung-kidung indahnya, sulit dicari tandingannya.
Sebagaimana tradisi mistik yang ditekuni para sufi sebelumnya, Rumi juga melakukan jihad spiritual dengan banyak mengungkapkan tema-tema sufistik. Sekali waktu ia berbicara tentang kesatuan bersama Tuhan (Unity of God, Wahdah al-Wujud), ia berbicara juga tentang hati sebagai cermin manusia. Selain itu, ia berbicara terutama tentang cinta.
Dari sekian banyak ajaran-ajarannya, Rumi tidak pernah menyusunnya secara sistematis sebagaimana para sufi sebelumnya atau sesudahnya. Sebagai perbandingan, Ibn Arabi, sufi yang mendahuluinya sekaligus gurunya, menyusun karya seperti Fushus al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyah yang monumental dan sistematis. Misalnya juga, sufi dan filsuf Mulla Shadra dengan karyanya yang terkenal, al-Hikmah al-Muta’aliyah, juga disusun secara sistematis.
Sungguhpun tidak sesistematis karya-karya tasawuf lainnya, karya-karya Rumi tidak kalah kedalaman kualitas isinya. Hampir seluruh tema tasawuf yang pernah dibicarakan oleh tokoh sebelumnya, juga ia bicarakan. Tiga tema besar seperti Tuhan, manusia dan alam sebagai trilogi metafisika, tidak luput dari perenungannya.
Dalam membicarakan tiga tema tersebut yang juga telah dimaklumi dalam diskursus kalam dan filsafat, Rumi mengacu pada sumber-sumber inti, yaitu al-Quran, Sunnah dan ajaran-ajaran para sufi sebelumnya dengan menjadikan tauhid dan cinta sebagai basis dari seluruh ajarannya.
Di antara karya-karya Rumi yang popular adalah: Pertama, Diwan-I Syams-I Tabrizi yang memuat lebih dari 40.000 syair.
Kedua, Matsnawi (untaian sajak dua baris), terdiri atas enam buku sajak yang bersifat didaktis yang memuat antara 3810 hingga 4915 syair.
Menurut Willian C. Chittick, Matsnawi mempresentasikan rasa spiritual yang dalam tentang berbagai dimensi kehidupan dan latihan-latihan rohani. Lebih dari itu, ia mampu mengantarkan orang untuk duduk dan merenung tentang makna kehidupan.
Ketiga, Fihi Ma Fihi, yang disunting oleh Badi’uzzaman Furuzanfar dan diterjemahkan oleh Arthur J Abrerry menjadi Discours of Rumi (1961).
Di samping ketiga karyanya itu, ada beberapa karya lainnya seperti Majlis-I Sab’ah (tujuh pertemuan), Makatib (surat-surat).
***
Dari sisi sumber ajaran tasawufnya, Rumi tidaklah berbeda dengan para pemikir Islam pada umumnya. Hanya saja ia memiliki keunikan sendiri yang jarang ditemukan pada sufi sebelumnya. Rumi menjadikan al-Quran, Sunnah, dan ajaran sufi sebelumnya sebagai sumber inspirasinya. Sedangkan alat yang ia pakai untuk memahami realitas adalah intuisi.
Pendekatan intuitif ini tidaklah asing bagi seorang sufi. Pendekatan rasional dan empiris bagi Rumi tidak akan pernah mampu menembus realitas yang tidak tampak. Justru yang tak tampaklah yang merupakan sumber dari segala sumber.
Menurut Rumi, upaya para filsuf pengagum empirisme dalam menemukan realitas boleh dibilang sia-sia. Nada sinis Rumi, misalnya:
“Para filsuf boleh bangga dengan seribu satu macam ilmu pengetahuan, tetapi tentang dirinya sendiri, mereka tidak tahu apa-apa.”
“Bagi mereka yang tidak dapat melihat unta di atas menara, bagaimana mereka dapat melihat jarum di mulut unta.”
Nada sinisme Rumi terhadap para filsuf pengagum empirisme tidaklah dalam konteks penggagalan dua kredibilitas; akal dan indera, tetapi justru ia sedang menunjukkan kekuatan masing-masing dalam memahami realitas.
Tentu saja Rumi mengakui keberadaan akal sebagai alat pencari kebenaran. Hanya saja ia membagi akal kepada dua kategori; akal parsial dan akal universal.
Akal parsial adalah akal yang harus dicari melalui belajar. Sedangkan akal universal adalah akal pemberian, dan ini hanya dimiliki oleh Nabi dan orang-orang suci.
Dengan demikian, dari segi sumber dan metodologi, Rumi mengajak para pembaca untuk menyelami realitas dengan sumber yang valid dan meyakinkan.
Di samping sumber dan metodologi, Rumi juga menjadikan cinta sebagai tema sentral hampir di seluruh karyanya. Tema cinta inilah yang kemudian menjadi ciri paling menonjol dalam tasawufnya.
Tasawuf Jalaluddin Rumi
Bagaimana memahami Rumi dan sistem tasawufnya? Inilah problem besar yang hampir dirasakan setiap pengkaji Rumi. Bahkan pemikir sekelas William C. Chittick, tidak berani membuat komentar berlebihan terhadapnya. Tetapi tidaklah mungkin kita dapat memenuhi renungan mistik Rumi tanpa sentuhan seni tafsir. Sebagaimana juga kita tidak mungkin memahami al-Quran yang jauh lebih misteri kecuali dengan tafsirnya.
Sebelum memasuki dunia Rumi yang lebih spesifik, ada sesuatu yang lebih general untuk melihat jalan pikir seorang sufi. Jalan sufi adalah jalan ke empat (sesudah jalan indera, jalan rasional, dan jalan filsafat). Jalan yang mampu membawa manusia ke dalam suatu dunia hidup yang bebas dari segala batas internal indrawi.
Jalan sufi dapat dipahami dengan membedakan dua pendekatan memahami Tuhan, yaitu melalui jalan syari’at dan jalan sufi.
Jika jalan syari’at lebih fokus pada prosedur, dan jalan sufi lebih fokus pada kesadaran batin tentang kehendak kuat mengabdikan diri hanya bagi Tuhan. Walaupun demikian, jalan sufi bukan berarti mengabaikan prosedur formal. Karena itu, jalan sufi seringkali tampak lebih lentur dan subjektif tanpa aturan baku yang berlaku secara umum.
Sungguhpun tasawuf lebih menekankan pada aspek hakikat, tetapi dua dimensi lainnya; syari’at dan thariqat (ilmu dan amal) menjadi sangat penting sebagai entery point menuju kesadaran spiritual (hakikat). Dalam ajaran Rumi, ketiganya memiliki wilayah kerja dan fungsinya masing-masing:
“Syari’at ibarat pelita, ia menerangi jalan. Tanpa pelita, kalian tidak dapat berjalan. Ketika sedang menapaki jalan, kalian sedang menempuh thariqat, dan ketika telah sampai pada tujuan, itulah hakikat.”
“Syari’at ibarat ilmu tentang obat. Thariqat adalah pengobatan. Dan hakikat adalah kesehatan yang tak lagi memerlukan keduanya.”
“Manakala seseorang telah melepaskan diri dari kehidupan dunia ini, terlepaslah ia dari thariqat, dan hanya hakikat. Syari’at adalah ilmu, thariqat adalah amal, dan hakikat adalah mencapai Tuhan.”
Dari penjelasan Rumi tentang integritas dimensi tasawuf, sesungguhnya Rumi sedang menegaskan pentingnya ilmu (syari’at), amal (thariqat), dan kesadaran spiritual (hakikat).
Untuk keluar dari kesulitan memahami Rumi, William C. Chittick mengatakan:
“Untuk dapat mengapresiasi Rumi secara utuh, orang harus membaca Rumi itu sendiri, bukan berbagai ulasan tentangnya.”
***
Editor: Ghufroni An’ars