Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Melawan adalah Wujud Cinta Paling Serius kepada Negara

Izam Komaruzaman

2 min read

Jargon-jargon nasionalisme mulai disebarkan para pendengung. “NKRI Harga Mati” atau “Jaga Keutuhan Bangsa” tak ubahnya seperti nyanyian fasis untuk melegitimasi kerusakan yang telah terjadi.

UU TNI yang telah diketok palu sejak 20 Maret 2025 telah menciptakan gerakan rakyat besar-besaran di seluruh Indonesia. Data per 28 Maret, terdapat 69 titik aksi di pelbagai penjuru, meski begitu tidak ada itikad baik dari legislatif maupun eksekutif untuk mencabut revisi atas UU Nomor 34 tahun 2004 tersebut.

Alih-alih mendengarkan suara rakyat, negara justru menggembosi gerakan dengan narasi nasionalisme semu. Jargon-jargon bernada nasionalisme terus digelorakan pendengung, seolah mereka yang protes adalah ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara, seperti Deddy Corbuzier yang menyematkan label anarkis kepada aktivis KontraS.

Nyanyian nasionalisme palsu tersebut bukan yang pertama kali kita dengar. Sejak masa pemerintahan Jokowi, nada-nada sumbang soal HTI dan hantu PKI kerap didengungkan untuk membungkam suara oposisi.

Hal demikian direplika plek-ketiplek oleh pemerintahan Prabowo. Namun, narasinya bukan khilafah maupun hantu merah, sekarang “antek asing” lebih sering dipakai untuk melabeli gerakan mahasiswa, LSM, maupun kelompok kritis. Hal ini disokong dengan wacana audit ketat LSM yang dikatakan Luhut serta pengawasan terhadap aktivitas WNA di Indonesia.

Penyebaran ketakutan semacam itu merupakan ciri khas dari rezim konservatif kanan di berbagai belahan bumi. Presiden AS, Donald Trump selalu menggaungkan narasi miring soal imigran dan Cina sebagai langkah memajukan bangsanya. Di Eropa, muslim selalu dijadikan kambing hitam dalam setiap masalah yang melanda Benua Biru. Sementara dalam lembar sejarah hitam kita, Rezim Soeharto menabur stigma kepada lawan politiknya sebagai anti-Pancasila dan/atau komunis.

Baca juga:

Dalam kasus-kasus tersebut kita menemukan pola, penyebaran stigma terhadap sekelompok orang maupun ras nyatanya hanya pepesan kosong untuk menutupi kebobrokan dan kekosongan gagasan dari pemimpinnya. Nasionalisme di tangan kepentingan-kepentingan elite tak ubahnya seperti candu bagi masyarakat. Melupakan bahwa lawan kita bukan buruh, bukan mahasiswa, bukan pula ras minoritas, melainkan para kapitalis dan seluruh elite politik yang melindunginya.

Negara Kapitalis yang Zalim

“Kenapa kalian menyanyikan lagu kebangsaan kepada mereka yang dibunuh tentara? Kenapa kalian menyelimuti peti mati dengan bendera negara? Seperti bukan negara saja yang membunuh mereka.”

Pertanyaan tersebut muncul dalam bab pertama buku Human Acts karya Han Kang yang banyak menceritakan kesaksian para korban kekerasan negara pada Tragedi Gwangju 1980. Bagaimana bisa negara di satu sisi menggaungkan persatuan, di sisi lain membantai rakyatnya sendiri?

Untuk menjawab itu, kita harus melihat terdapat anomali dari kalangan atas hingga bawah memandang arti negara. Dalam perumpamaan yang mudah, kita akan gampang tersulut bila negara asing coba mencaplok tanah dan air Indonesia (Pulau dan Laut Natuna), namun sikap kita akan kabur bila yang mencaplok adalah negara itu sendiri (perampasan lahan).

Hal-hal seperti itu sangat sering terjadi, mungkin menjadi makanan sehari-hari bagi warga Papua dan masyarakat adat. Pemerintah memandang kekayaan di dalam dan di atas tanah Indonesia itu terlepas dari masyarakatnya, sehingga semuanya diterabas “demi kepentingan negara”, diartikan melawan perampasan lahan adalah melawan negara.

Ini tidak lepas dari kepentingan kelas atas (para kapitalis) dalam mengakumulasi keuntungan. Mereka memanfaatkan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Termasuk mobilisasi tentara, polisi, media, dan sebagainya untuk melawan rakyat sendiri. Dalam bahasa bayi, mainan-mainan telah dikuasai sekelompok kecil rombongan belajar, sehingga membuat kebanyakan anak tidak mendapatkan haknya.

Baca juga:

Mencintai Negara, Memperjuangkan Rakyatnya

Mungkin karakter fiksi semacam Thor dalam film Ragnarok lebih mengerti konsep bernegara dibanding kebanyakan elite kita, “Asgard bukan soal tempat, tapi soal rakyatnya.” atau apa yang dikatakan alien San-Ti dalam serial Three Body Problem, “Bukan planet kami yang harus diselamatkan, tapi rakyat kami.”

Subjek utama dari negara ini adalah rakyatnya, maka kepentingan rakyat di atas segalanya. Namun, sebab kepentingan kelas elite, hal tersebut dipisahkan dari pembangunan maupun perumusan kebijakan negara.

Lalu, siapakah yang tidak mencintai negara ini? Kami (rakyat), yang coba menghentikan kerusakan yang kalian buat, atau kalian, yang teriak “NKRI Harga Mati” tapi merampas lahan kami?

Pikirkanlah baik-baik, wahai penguasa. Kerusakan di halaman depan gedung wakil rakyat dan beberapa fasilitas publik tidak seberapa dibanding perampasan lahan, deforestasi serta penggusuran yang telah kalian lakukan. Tidak seberapa dengan kerugian akibat kroni-kroni kalian. Tidak juga membuat seorang ibu kehilangan anaknya!

Kami cinta negara ini. Wujud cinta kami adalah melawan segala bentuk potensi kerusakan yang akan kalian lakukan terhadap kami. Ini adalah wujud cinta paling serius.

 

 

Editor: Prihandini N

Izam Komaruzaman
Izam Komaruzaman Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email